Grakk..grekk..gruduk.
" Kakak cari apa?" Tanya Aivy saat melihat Binar membuka dan menutup semua laci nakas.
" Catok rambut, mana?" Ucap Binar masih membuka-buka lemari.
Aivy mengernyitkan dahinya.
Catok rambut?.
Biasanya kalau kakaknya meluruskan rambut di pagi hari, berarti akan berakhir dengan luka-luka disekujur tubuh kakaknya di malam hari.
Aivy sudah sangat hafal drama ini, dan itu sudah sangat sering kali terjadi.
Aivypun sudah sangat paham alasan kak Binarnya menyembunyikan wajahnya dibalik masker. Dan juga apa tujuan kakaknya bolak balik meluruskan dan mengikal kan rambutnya.
Ya, semua itu untuk melindunginya dari mereka yang mengejar kak Binarnya.
" Kakak mau lurusin rambut ?, berarti kakak mau berantem lagi?, kan kakak udah janji sama papa nggak akan ikut tawuran lagi..." Aivy berteriak marah.
" Kenapa kakak terus-terusan mengingkari janji...hiks..hiks...hiks..." Tangis Aivy pecah.
Binar diam saja tak menyahuti, dia sendiri heran dengan dirinya sendiri.
Dia begitu membenci ketidak adilan. Sudut hatinya begitu gatal tiap kali ada angkara murka di sekitarnya.
Sepulang dari markas siang tadi Binar dan Zeldo meluncur ke rumah sakit dimana kedua anggota mereka terkapar. Hanya karena hal sepele, senggolan di jalan saja berakhir petaka.
Begitulah kehidupan remaja saat ini. Siapa saja yang melintasi daerah kekuasaan mereka, maka harus siap pulang membawa luka-luka.
" Ini yang terakhir, kakak janji..." Ucap Binar masih tanpa menoleh, kepalanya menunduk dalam tak mampu menatap mata Aivy yang bercucuran air mata.
" Ck..terserah lah..." Aivy merapikan tempat tidurnya dan langsung berbaring, memunggungi kakaknya itu.
...***...
Binar seperti biasa melakukan seluruh tugasnya dirumah sampai pukul sembilan pagi.
Hari ini rencananya mereka akan pergi mengunjungi papanya.
🎶 Babby sharks...du..du... 🎶
Suara dering ponsel di ransel Aivy mengagetkan keduanya.
Gadis itu buru-buru berdiri dari duduknya.
Binar yang terkejut akan hal itu dengan cepat menyambar ransel Aivy dan menuang semua isinya dengan tergesa.
" Ponsel siapa ini?, ponsel siapa yang kau curi!!" Bentaknya penuh amarah.
Dia sudah menyangka adiknya tertarik dengan benda sejuta umat ini, mengingat tidak satupun anak dikelasnya yang tidak miliki ponsel, kecuali Aivy sendiri.
" Bu..bukan...i...itu...itu..." Aivy yang takut akan bentakan Binar semakin tak bisa berkata-kata.
" Kamu mencurinya dari rumah keluarga Maureen!! Betul begitu? kan tahu keadaan kita bagaimana Aivy!!, kakak sering bilang jangan menginginkan apa yang tidak bakalan bisa kita miliki!"
" Kita ini tidak sama seperti mereka!!, kita ini kere!!"
" Kakak sudah merasa kamu akan menjadi seperti ini dari awal bertemu mereka, kau memimpikan hidup mewah seperti mereka"
" Sudah cukup semua!!, tidak ada lagi Maureen atau yang lainya. CUKUP! mereka sudah sangat baik pada kita, tapi kau bahkan berani-beraninya mencuri barang mereka Aivy....." Binar meremas rambutnya frustasi, kecewa atas perbuatan Aivy.
Walaupun sudut hatinya menyesal karena belum bisa membahagiakan Aivy sepenuhnya.
" Cepat masuk, kerjakan PRmu!!!" Binar menyambar ponsel itu dan memasukkan dalam jaketnya, pemuda itu berlarian menuju parkiran dan menyambar motornya.
Brummm..brummm..
Sepanjang jalan ponsel itu terus berdering, membuat dada Binar semakin ngilu.
Pasti mereka sedang sibuk mencari ponsel ini.
Ya Tuhan Aivy.., bagaimana aku harus berbicara pada mereka?
Aku harus ngomong apa?,
Ponselnya terbawa oleh Aivy?
Apa mereka percaya?
Akkhhhh....
Binar terus pusing dengan pemikirannya, harus bagaimana menghadapi orang-orang baik itu.
Apa pandangan mereka jika mereka mengetahuinya anak-anak kere yang diangkatnya jadi saudara ini adalah pencuri.
Binar saat ini tengah kalut dan kesal dengan apa yang diperbuat Aivy. Malu, bingung dan tidak tahu harus bicara apa saat menghadapi keluarga Shanum.
Ciitttt.
Motor berhenti di depan gerbang rumah papa Vino. Maureen yang mengenali suara motor Binar langsung berlarian keluar.
" Aivy...Aivy...., yeayyy...Aivy datang.." Teriaknya.
Tapi langkahnya terhenti dan senyumnya lenyap saat tak mendapati Aivy bersama Binar.
" Aivy mana kak?" Tanyanya pada Binar yang telah melangkah ke arah kursi teras. Dan duduk dengan nyaman disana.
" Nggak ikut, banyak PR yang harus dikerjain.." Ucapanya pada Maureen.
" Kan bisa dikerjain di sini bro.." Sahut Shine dari ambang pintu. Sedangkan Shanum berjalan di belakangnya.
Tak lama Almeerpun keluar, matanya celingukan mencari Aivy.
" Loh, Aivy mana?" Tanyanya.
" Dia nggak ikut, dan ini..." Binar menyodorkan ponsel berchasing motif hiu itu pada Shine.
" Gue nggak tau ini punya siapa, tapi itu ada di ransel adek gue. Gue kesini mau ngembaliin ini..." Ucap Binar tegas.
" Maaf jika karena ponsel ini kalian telah menjadi repot" Lanjutnya.
" Itu ponsel Almeer kak.., tapi udah Almeer berikan ke Aivy.... " Jawab Almeer cepat.
" Maksudnya? Berikan?" Tanya Binar.
" Ponsel itu pemberian om Nox saat Almeer naik kelas tiga, trus saat Almeer naik kelas enam kemarin, om Nox memberikan hadiah ponsel seri terbaru, ini dia...." Almeer menunjukkan ponselnya pada Binar.
Ponsel seri terbaru yang bahkan dia sendiri tidak akan bisa memilikinya, walau harus mencuci piring setahun penuh.
" Jadi daripada ponsel itu nggak lagi berguna, Almeer berikan ke Aivy saja biar kami bisa berkomunikasi terus..." Lanjut Almeer.
" Iya kak, apalagi tiga hari lagi kami balik ke Jakarta..." Sahut Maureen.
" Tapi ini terlalu mah---"
" Tidak mahal kok Bin, tepatnya itu gratis dari second daddynya si Almeer..." Sambung Shanum.
" Sha...no!!" Seru mama Ara melototkan matanya pada Shanum.
Shanum nyengir sambil menggaruk tengkuknya malu.
" He...he...he..sorry my..."
" Binar masuk sayang, kenapa di teras?. Loh Aivy nya mana?" Tanya mama Vera yang baru datang dari pasar bersama papa Vino.
Binar gelagapan sendiri, sedih dan menyesal. Dadanya sesak dan begitu sakit karena sudah menuduh adiknya yang tidak-tidak. Lihatlah orang-orang baik di rumah ini, tidak mungkin mereka memberi pengaruh buruk pada adiknya.
Tetapi dari merekalah justru Aivy mendapatkan kasih sayang, kebahagian, dan kepercayaan diri, yang tidak pernah bisa dia dapatkah dirumahnya.
Binar menghembuskan nafasnya, berusaha menguras rasa sesak yang begitu menghimpitnya.
Dia sendiripun menyadari, bahwa dia bisa merasakan rasa nyaman dan bahagianya memiliki keluarga adalah saat bersama mereka.
Dan diapun menyadari, saat bersama mereka, dirinya benar-benar merasakan yang namanya hidup! dan dihargai.
" Sa..saya..a..ada kegiatan di luar. Ja..jadi---"
" Oh kalau gitu biar gue aja yang jemput dan antar Aivy pulang nanti, lo nggak usah bingung begitu.." Sahut Shine.
" Iya Bin, mereka cuma tiga hari lagi disini. Maureen sayang banget sama Aivy, lagaknya aja udah besty-bestyan..ha..ha..." Goda Shanum pada Maureen.
" Dari pada kakak!, bestynya orang yang udah mati!!" Sahut Maureen kesal.
" MAUREEN!!" bentak Almeer dan mommy Ara. Sementara Shanum dan Shine?
Mereka menunduk dalam. Secara hukum tertulis Sunny memang sudah mati. Bahkan namanyapun telah dibuang dari kartu keluarga Marvel.
Tapi hanya kedua orang inilah yang selalu mengotot kalau Sunny masih ada.
Binar melihat kesenduan dimata Shanum, air mata yang menetes tak ada henti.
Gadis itu tetap diam dan menunduk, begitu pula pemuda di samping.
Mati?
Jadi?
Sunny itu sudah mati..
Berarti kata-kata pergi itu....
" Maureen..Minta maaf sama kak Sha.." Bisik daddy Rangga yang datang menghampiri mereka saat mendengar bentakan mommy Ara yang sangat jarang terjadi.
" Nggak mau!!, kak Sha harus sadar, kalau brothy Sunny itu sudah mati" Sahut Maureen tegas, gadis itu berlari ke arah Binar dan menggenggamnya tangannya erat.
" Maureen mau main kerumah Aivy boleh?" Tanya Maureen pada Binar dengan mendongakkan kepalanya.
" Tap..tapi, ka..kami mau ke RS jenguk papa.." Jawab Binar lembut.
" Maureen pokoknya mau ikut..." Rengek Maureen. Sebenarnya gadis ini menyesalkan ucapannya yang terlalu impulsive tadi. Makanya dia ingin segera pergi.
Yang dipikirkannya jelas bukan perasaan kakak Sha nya, tapi Maureen tidak bisa melihat Shine bersedih.
Matanya melirik Shine yang masih menundukkan sedih, ingin rasanya Maureen berlari memeluknya dan meminta maaf, tapi rasanya begitu berat.
Maureen menggoyang-goyangkan tangan Binar mengharapkan jawaban dari pemuda itu.
Binar menatap mata daddy Rangga dan mommy Ara, tapi gelengan kepala keduanya adalah jawabannya.
" Tapi mommy, daddy...Maureen cu---"
" Ya, bawa saja kak nggak papa, paling-paling anak nakal itu akan terus merepotkan kakak nanti..." Sahut Almeer.
" Nggak usah dipulangin juga nggak papa..." Lanjutnya lagi.
Pria kecil itu dengan santai meninggalkan teras, dengan kedua tangan yang masuk kedalam kantung celananya. Benar-benar putra seorang Rangga Bayu Wijaya.
Daddy Rangga menggelengkan kepalanya heran bukan main, kenapa putranya itu begitu jutek seperti dirinya waktu kecil.
" Kenapa?, nggak usah heran begitu Bi..... Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonya.." Goda mommy Ara dengan senyum imut khasnya.
" Betul Ra, dan putramu itu benar-benar duplikat Rangga, kalau orang Jawa bilang ' ketulah'...." Sahut papa Vino.
" Ck..kalian ini, Maureen ayo ikut daddy..." daddy Rangga merangkul putri bungsunya itu masuk kedalam.
" Kalau begitu Binar permisi, om, tante.." Pamit Binar.
" Gue ikut lo Bin..." Sambar Shanum.
Shine meliriknya, dan Shanum tahu itu.
" Gue mau menenangkan fikiran gue...., bolehkan?" Bisiknya pada Shine. Kedua mata basah itu saling menatap sendu.
" Of course, do whether you want..." Shine menepuk kedua pundak Shanum, lalu dengan pelan mengecup pucuk kepala gadis itu lembut.
Binar meremat genggaman tangannya geram. Entah rasa apa ini. Yang jelas dia tidak rela Shanum disentuh-sentuh oleh orang lain. Dia juga tidak mau bagian tubuh Shanum dilihat oleh orang lain.
Sejak kemarin Binar sendiri bingung dengan apa yang terjadi pada hatinya saat ini.
" Ayo...." Binar melangkah keluar, diikuti oleh Shanum dibelakangnya. Setelah berterima kasih pada mama Ara untuk ponsel Almeer yang diberikan pada Aivy.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments