Setahun telah berlalu, dan dunia Lilis menapaki babak baru. Uang gaji dari warung Mbak Ratih, telah terkumpul. Setiap gajian, Lilis hanya meminta separo dan dikirimkan kepada ibunya dikampung. Selebihnya, uang dititipkan pada Mbak Ratih.
Setahun, waktu yang teramat lama bagi Lilis sejak berpisah dengan Naina dan ibunya. Hampir setiap malam menjelang tidur, Lilis akan teringat dengan Naina. Putri kecil yang baru berusia sebulan, yang harus dia tinggalkan demi mencari sesuap nasi untuk tetap bertahan hidup.
Naina, kini usianya sudah lebih dari setahun.
Pastinya sekarang, Naina sudah berlatih berjalan, berlatih mengucap sepatah kata. Saat itu harusnya dia ada disampingnya.
Naina, semoga setelah setahun berpisah, ibu bisa menyewa tempat tinggal untuk bisa membawamu.
Setiap kali rindu itu datang tak terbendung, Lilis akan menghubungi Wendi untuk meminjamkan ponsel pada ibunya. Karena ibunya tidak memiliki ponsel sendiri. Video Call menjadi alternatif bagi Lilis untuk melepas kerinduannya pada Naina dan ibunya.
Meski belum bisa bicara, Naina sudah mengenal wajah ibunya lewat VC yang hampir 2 Minggu sekali Lilis lakukan. Yang penting, Naina dan ibunya sehat, itu sudah cukup bagi Lilis untuk tetap gigih berjuang.
Ketika Naina sakit, hati Lilis teriris dan ingin rasanya dia terbang kembali ke kampung. Untunglah, ada Wendi yang selalu siap sedia setiap saat menjadi tumpuan Naina dan ibunya. Kebaikan Wendi, semakin membuat Lilis merasa bersalah. Bersalah telah melibatkan dia dalam kerumitan kehidupannya setelah berpisah dengan Desta. Mengurus anak dan ibunya dikampung.
Lilis tidak bisa membalas kebaikan Wendi, namun dia akan selalu berdoa yang terbaik untuknya. Mendapatkan seorang istri yang Sholehah. Walaupun Lilis tahu jika Wendi masih terus mengharapkan dirinya. Mungkin seiring berjalannya waktu, Wendi akan melupakan Lilis dan mampu mencintai wanita lain.
"Lis, Mbak sudah menyewa sebuah warung untuk kamu yang sekaligus bisa menjadi tempat tinggal kamu untuk sementara. Jika nanti kamu ada uang lagi, kamu bisa mencari rumah kontrakan yang dekat dengan tempat usahamu."
"Terimakasih banyak, Mbak Ratih. Tapi, Lilis masih harus belajar dari Mbak Ratih."
"Nanti aku bantu kamu pindahan pas hari Minggu siang. Mbak akan tutup warung lebih awal. Maafkan Mbak Ratih, baru sekarang bisa membiarkan kamu tinggal sendiri. Harusnya dari dulu, kamu tidak tinggal disini."
Mbak Ratih tiba-tiba memeluk Lilis sambil menangis. Lilis masih belum mengerti kemana arah pembicaraan Mbak Ratih.
"Ada apa, kenapa Mbak Ratih menangis," tanya Lilis cemas.
"Lilis, mbak tahu apa yang terjadi padamu 5 bulan yang lalu. Mbak sebenarnya malu padamu. Terimakasih, karena kamu menolak keinginan mas Reza. Kamu juga telah membuat mas Reza berubah."
Lilis termenung, mengingat kejadian 5 bulan lalu.
Flashback on.
Malam itu, Mbak Ratih, Dava dan mas Reza pergi menghadiri hajatan dirumah tetangga yang tempatnya tidak begitu jauh. Waktu itu sehabis sholat, Lilis lupa mengunci pintu. Dalam hatinya, kalau hanya tikus, Lilis tidak pernah takut.
Dia tertidur lelap dalam posisi miring ke kanan, menghadap ke dinding. Dia terbangun setelah merasa ada tangan yang meraba bagian kakinya yang terbuka. Lilis merasa itu seperti mimpi tapi juga begitu nyata.
Dalam hati dia merasa takut dan merinding. Mungkinkah ada hantu di rumah ini?
Lilis membuka mata dan segera memegang tangan yang memegang kakinya dengan segenap keberanian. Dia segera menoleh meski agak merasa cemas dengan apa yang akan dilihatnya.
Lilis tersentak kaget. Tangan itu milik ma Reza suami Mbak Lilis. Lilis segera mengibaskan tangan Reza dengan penuh tenaga.
"Mas Reza, apa yang mas lakukan?"
"Lis, aku sudah lama jatuh cinta padamu. Jika kamu setuju, aku akan meminta izin dari Ratih agar kita bisa menikah."
"Apa, menikah?! Mas Reza, Lilis ini masih belum resmi bercerai. Lagipula mas Reza kebangetan jika ingin menduakan Mbak Ratih. Mbak Ratih sudah susah payah mencari uang, mempertahankan usaha rumah makan ini agar tetap berjalan. Sedangkan mas Reza hanya belanja saja, setelah itu ongkang-ongkang kaki tidak mau membantu Mbak Ratih."
"Mulut kamu pedas sekali, Lis."
"Biarkan saja. Lilis sangat benci laki-laki macam mas Reza. Mas Reza mengingatkan Lilis pada mantan suami Lilis yang pemalas."
Lilis sangat kesal dan marah. Dia melampiaskan kemarahannya pad Reza. Reza merasa tersinggung dan marah pada Lilis. Sudah niatnya untuk menikahinya ditolak, kini malah dia dicaci semaunya.
"Kalau kamu tidak mau menikah, tidak apa-apa. Tapi kamu sudah lama tinggal disini. Kamu harus membayarnya dengan tubuhmu."
"Enak saja. Memang rumah ini milik kamu? Rumah ini milik Mbak Ratih."
Reza semakin dibuat kesal. Dia mendekati Lilis yang duduk di ranjang. Reza memeluk erat tubuh Lilis sambil membekap mulutnya. Lilis sesaat masih tidak percaya, jika dia akan mengalami hal yang menyedihkan seperti sekarang ini. Lilis berontak sekuat tenaga, namun kekuatan Reza lebih besar darinya.
Lilis mengumpulkan segenap kekuatan yang dia miliki untuk berjuang menghadapi Reza yang sudah hilang akal. Dia mengucap satu Asma Allah yang dibacanya berulang-ulang hingga kekuatan dan keberaniannya memuncak. Allahu Akbar.
Lilis terdiam sesaat, ketika Reza merebahkan tubuhnya diatas ranjang. Melihat Lilis pasrah, Reza mulai lengah.
"Anak manis, begini kan aku juga akan melakukannya dengan lembut. Kamu juga akan merasakan nikmatnya. Sudah lama kan kamu tidak merasakan belaian seorang pria?" ucap Reza.
Reza terlihat sangat menjijikan dengan senyum menyeringai bagai serigala.
Melihat Reza agak lengah, Lilis mendorong tubuh Reza dengan kekuatan penuh. Reza terduduk, sementara Lilis segera bangkit dari ranjangnya dan berdiri hendak berlari keluar. Tetapi, Reza dengan cepat berlari mengunci pintu. Lilis menarik nafas berat.
Perjuangannya ternyata belum selesai. Reza kembali mendekati Lilis dengan wajah kesal. Lilis berusaha menghindar dan teringat jika dibawah bantalnya tersimpan sebuah pisau yang sengaja dia simpan tanpa sepengetahuan siapapun.
Lilis bergerak perlahan menuju bantalnya. Saat Reza Sakin dekat, Lilis mengeluarkan pisau dan mengancam akan menusuk Reza jika dia berani mendekat. Reza agak ketakutan walau dia terlihat mencari celah untuk merebut pisau yang Lilis pegang.
"Sabar, Lis. Hati-hati, itu benda tajam," ucap Reza panik.
"Awas jika mas Reza berani mendekati Lilis. Lilis tidak akan segan lagi," jawab Lilis lebih berani.
"Jangan Lis. Mas Reza minta maaf. Tolong letakkan pisau itu."
Reza berusaha mendekati Lilis perlahan-lahan dan fokus ingin mengambil pisau dari tangan Lilis. Lilis mulai berpikir lain. Saat Reza mendekat, Lilis mengayunkan tendangan bebas ke arah adik kecil Reza. Reza tampak meringis kesakitan dan dia yang tidak menyangka Lilis akan melakukan itu tampak ada rasa kesal diwajahnya.
"Kau, aau...apa yang kau lakukan Lilis. Ini adalah senjataku yang paling berharga."
Lilis tersenyum sinis melihat Reza menahan sakit sambil memegangi adik kecilnya. Mungkin, jika ada yang melihat wajah Lilis saat itu, akan mengira jika Lilis seorang psikopat. Bahagia diatas penderitaan orang lain. Tetapi bagi Lilis, Reza memang pantas mendapatkannya.
"Lilis, bantulah aku. Bagaimana aku akan menikahimu jika senjataku ini terluka."
"Bantu, bantu apa? Aku masih memegang pisau, aku akan bantu mengebiri laki-laki sepertimu."
"Wanita psiko kamu Lis."
Lilis sengaja tertawa seolah dia benar-benar wanita psiko. Semua ini demi keselamatannya sendiri.
"Aku akan bantu juga, untuk bilang pada Mbak Ratih, jika mas Reza hendak memperkosaku. Kita lihat, Mbak Ratih lebih percaya padaku atau padamu."
"Jangan, Lis. Jangan katakan apapun pada Ratih. Apa kau tega melihat pernikahan Ratih hancur karena ini?"
"Aku tidak akan bilang pada Mbak Ratih, tapi mas Reza harus janji padaku satu hal."
"Katakan," ucap Reza sambil meringis.
"Jangan pernah mendekatiku atau wanita lain selain Mbak Ratih. Jika Samapi aku melihat, aku tidak akan bisa menutup mulut ini lagi."
"Baik, aku janji."
Flashback off.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments