Desta pulang setelah lelah bekerja di kantor. Seperti itulah anggapan Lilis. Meski banyak gosip beredar jika suaminya tidak sedang bekerja, tetapi sedang menghamburkan uang, Lilis masih ingin percaya dengan suaminya.
Lilis bukan tipe wanita yang gampang percaya omongan orang. Dia akan percaya jika dia sudah melihat sendiri kenyataannya. Tapi bagaimana dia bisa melihat, kalau tiap hari dia ada dirumah.
Mungkin itu sudah jalan hidupnya, untuk tetap mempertahankan pernikahannya yang sudah mulai goyah oleh kemiskinan.
"Mas, aku sudah tidak ada uang lagi. Pinjam tetangga, aku tidak berani lagi. Berilah aku uang untuk makan esok hari mas."
Lilis meminta uang belanja tapi dia seperti pengemis yang meminta-minta di pinggir jalan. Seharusnya, jika Desta punya malu, dia akan langsung kasih.
"Lis, kamu pikir aku ini ATM apa. Sekali gesek langsung uang keluar. Aku juga lagi ada kesulitan. Usahaku tidak berjalan dengan baik. Aku sekarang lagi pusing, Lis."
Desta menghela nafas panjang menunjukan kalau dia memang lagi banyak masalah. Kalau sudah begini, Lilis tidak bisa berbuat apa-apa. Terpaksa besok dia harus puasa nasi lagi.
"Mas, setidaknya berilah sedikit saja untuk beli beras," ucap Lilis memohon sekali lagi.
"Kenapa nggak sekalian aja, minta untuk beli bedak dan minyak wangi," ucap Desta kesal.
"Emang, mas Desta mau kasih kalau untuk beli kosmetik?"
"Dasar, bodoh."
Lilis terdiam mendengar ucapan dari suaminya. Lilis pura-pura tidak mendengar meski hatinya sakit. Lilis masih mencoba bertahan untuk tidak bertengkar dengan suaminya, walau itu sangat sulit.
Ingin rasanya Lilis memaki Desta sebagai suami yang tidak berguna. Suami yang tidak bisa membahagiakan istri.
Tak perlu banyak uang atau barang-barang mewah. Bersikap baik dan bisa menghidupi keluarga itu hal yang pertama, yang harus dimilikinya. Tetapi alih-alih menghidupi keluarga secara mewah, uang untuk makan saja, Lilis harus bersikap seperti pengemis untuk meminta uang.
"Ini ada 50 ribu, sisa uang pesangonmu untuk beli beras. Jangan belikan kosmetik. Kamu hanya di rumah, jadi tidak perlu berias. Lagipula, dirias seperti apapun, kamu tetap kampungan."
Lilis tertegun, mendengar hinaan dari suaminya. Suami yang pernah menyatakan cinta belum genap setahun. Kini dia mengatainya kampungan.
"Mas, kenapa kamu bicara seperti itu. Setidaknya, aku juga pernah menjadi wanita yang kamu cintai?" ucap Lilis parau.
"Sudah, aku mau mandi. Aku tidak mau berdebat lagi."
Desta melangkah pergi, membiarkan Lilis yang masih dalam kekecewaan. Suaminya sendiri mengatainya gadis kampungan, bodoh. Dan entah apalagi yang ada dalam pikiran Desta yang juga diucapkan akan semakin menambah luka dihatinya.
Dengan uang 50 ribu, dia sudah bisa menghina Lilis sepuasnya. Seandainya Lilis tidak teringat kalau dirinya sedang hamil dan harus tenang menjelang kelahiran buah hatinya, Lilis ingin melampiaskan seluruh uneg-uneg dihatinya saat ini juga. Tapi, sebentar lagi Lilis akan melahirkan. Dia butuh kondisi yang stabil agar darahnya tidak naik.
Lilis melepas segalanya, sakit hati, rasa marah, rasa di hina dan rasa tidak dihargai sebagai seorang istri.
Apa yang terjadi, adalah konsekuensi dari pilihannya menikah dengan Desta. Jadi sesulit apapun hidup dengan Desta, Lilis mencoba tetap bertahan dan menerima dengan ikhlas.
***
Desta pergi untuk bekerja, meski pada kenyataannya dia pergi kerumah Maria. Lilis saat itu sedang menyapu halaman ketika kemudian datang 2 orang tinggi besar mendekatinya.
"Permisi, Bu. Apakah benar ini rumah Bu Lilis Muneyaroh?"
"Benar sekali, Pak. Saya sendiri."
"Begini, Bu. Kami diberi wewenang oleh pihak leasing, untuk mengambil motor Bu Lilis."
"Bukankah, cicilan motor saya sudah lunas? Kami membayarnya tepat waktu," ucap Lilis gemetar.
"Tetapi menurut laporan ini, ibu belum melunasi kredit motor ibu sejak 5 bulan lalu. Kami masih memberi batas waktu, namun kelihatannya ibu tidak ada niat baik untuk melunasi sisa tunggakan."
"Tapi, suami saya yang membayarnya, pak. Coba bapak periksa lagi, mungkin terselip."
" Bu Lilis, kami sudah memeriksanya berulang kali. Tidak ada yang salah. Jangan membuat kami kesulitan menjalankan tugas. Apakah itu motor ibu?"
Salah satu dari mereka mendekati motor di teras rumah yang menjadi harta satu-satunya yang masih tersisa. Dengan tenang, pria itu memeriksa motor dan memastikan jika itu benar motor yang di maksud dalam data yang dibawanya. Setelah yakin, pria itu mendorong motor dan berhenti di depan Lilis.
"Jangan ambil motor saya, Pak. Itu hasil kerja keras saya selama ini."
Lilis setengah berteriak memegangi motor miliknya. Bu Siti mendengar suara Lilis dan segera keluar untuk melihat apa yang terjadi. Terlihat Lilis sedang memegangi motor miliknya yang sedang di pegangi seorang pria.
"Ada apa, ini? Kalian siapa?"
"Kami dari pihak leasing, hendak mengambil motor Bu Lilis karena sudah 5 bulan tidak melunasi cicilan motornya."
"Lis, bukannya suamimu sudah membayar cicilan motormu? Kok bisa ada kejadian kayak begini?" tanya Bu Siti sambil melihat Lilis yang mulai menangis.
"Entahlah, Bu. Lilis tidak pernah bertanya bukti pembayaran cicilan motor pada Mas Desta. Karena Lilis percaya padanya."
"Pak, tolong jangan ambil motor kami. Beri kami waktu lagi untuk melunasinya."
"Tidak bisa, Bu. Kami sudah memberi waktu 5 bulan untuk melunasi."
"Tapi kami tidak tahu kalau uang cicilan belum dibayarkan. Karen setahu kami, motor ini sudah lunas," Bu Siti memohon.
"Maaf, itu urusan keluarga kalian. Kamu akan tetap membawa motor kalian. Jika ada urusan lain, harap hubungi pihak leasing kami."
Lilis tidak bisa menahan mereka membawa motornya. Lilis dan Bu Siti hanya bisa menangis dan mereka berpelukan untuk saling menguatkan.
Lilis dan Bu Siti tidak tahu, apakah mereka benar-benar dari pihak leasing atau tidak. Tetapi surat bukti mereka, bukti yang menyatakan Lilis belum membayar cicilan motor ada ditangannya. Dan hanya Desta yang bisa menjawabnya.
Lilis menunggu suaminya pulang dengan hati penuh mesiu yang siap meledak kapan saja. Kesabarannya sudah tidak tersisa lagi. Semakin dia diam, semakin dia akan diinjak-injak.
"Lis, tahan emosi kamu, nak. Ibu tahu, kamu pasti sangat sedih dan kecewa dengan kelakuan suamimu. Ingat, kamu sedang hamil besar."
"Lilis tidak tahan lagi, Bu. Mas Desta kali ini sudah sangat keterlaluan. Dia sudah membohongi Lilis, untuk yang kesekian kali. Mas Desta ternyata memiliki banyak kebohongan. Dan pasti masih ada yang lain lagi. Lilis harus bagaimana, Bu?"
Lilis menangis di pelukan ibunya yang menepuk-nepuk pundaknya untuk menenangkan Lilis.
"Sudah Lis, jangan menangis lagi. Kamu harus sabar, semoga saja suamimu tidak seperti yang kita pikirkan. Sebelum ada buktinya, kita juga tidak berhak menuduhnya."
"Tapi kalau yang ini sudah jelas, dia memang membohongi kita. Lalu dikemanakan uang itu? Aku sudah berusaha berhemat demi dia, demi usaha dia. Berharap dia akan memiliki usaha yang baik, tidak kekurangan modal. Sehari kadang makan sekali, kadang aku harus puasa dan hanya minum air putih saja. Lalu apa yang aku dapatkan sekarang jauh dari bayanganku."
"Sabar Lis, sabar. Ibu tahu penderitaan kamu. Ibu juga tidak tega melihat hidup kamu seperti ini. Tapi, ingat kandunganmu, Lis. Jangan terlalu banyak pikiran."
Terdengar dari luar suara sepeda motor Desta yang baru saja pulang. Lilis mengusap air matanya dan meminta ibunya untuk masuk kedalam kamar. Lilis tidak mau ibunya sedih melihat pertengkaran antara dia dan Desta.
Desta masuk tanpa mengucapkan salam. Lilis hanya tersenyum di sudut bibirnya yang masih menahan rasa sedihnya.
"Assalamualaikum, mas Desta. Lilis senang, akhirnya mas Desta bisa pulang sebelum sore."
"Wa'alaikum salam. Kebetulan, hari ini tidak sibuk, jadi aku pulang saja mau istirahat. Kamu kenapa, wajahmu, matamu, kamu habis menangis?"
Lilis menatap wajah suaminya. Tampan, dan sangat mempesona. Wanita manapun pasti akan terpesona melihat Desta. Wajah yang penuh kepalsuan.
Bersambung
jangan lupa like dan koment
mksih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Marlina Dalipang
makan tuh wajah tampan
2022-09-18
0