Lilis tersenyum sambil menunduk, lalu dia kembali menatap wajah tampan suaminya yang membuatnya tertipu. Wajah tampan dan bagus belum tentu hatinya sama seperti wajahnya.
"Benar, mas. Tadi ada pihak leasing yang datang."
"Untuk apa mereka datang?" tanya Desta cemas.
"Seharusnya, aku yang bertanya pada mas Desta. Untuk apa mereka datang, sedang semua cicilan motor sudah lunas?" kata Lilis menahan kesal.
"Lis, kenapa nada bicaramu seperti itu? Aku sudah lunasi kok, cicilan motormu. Mereka pasti yang salah data."
Desta tampak kebingungan dan cemas. Apalagi melihat Lilis tampak kesal dan marah padanya. Ini pertama kali Lilis berani mengajaknya berdebat dan berani bertanya banyak.
"Benarkah, mereka yang salah. Mas Desta…!"
Teriak Lilis membuat Desta panik.
"Sayang, kamu sedang hamil tua. Jangan terbawa emosi," Desta mendekati Lilis dan memegang tangan Lilis dengan lembut. Namun Lilis dengan cepat melepaskan pegangan Desta.
"Mas, kenapa kamu tidak jujur saja padaku. Aku sudah tidak tahan lagi, Mas. Seberapa banyak kamu membohongi aku?"
"Sayang, bohong apa?" tanya Desta pura-pura bodoh.
"Kamu lihat, mas. Motorku sudah tidak ada. Motorku sudah diambil oleh leasing. Kamu kemanakan uang cicilan motor mas? Aku sudah berusaha berhemat, dan menerima jatah uang belanja yang kamu beri. Meski kurang aku hampir tidak pernah meminta lebih darimu. Karena aku masih ingat, kita masih punya cicilan motor yang belum lunas."
Lilis mencoba menahan emosinya, tetapi hari ini semua ingin dia ucapkan semua yang ingin dia katakan.
"Kamu lihat aku, mas. Jelek, bukan? Kotor, bau, dekil dan tidak menarik sama sekali. Apalagi aku dalam kondisi hamil. Kamu Pasti juga jijik melihatku. Gadis kampung yang kampungan seperti yang pernah kamu katakan. Inilah hasil, aku menikah denganmu, mas Desta."
"Sayang, jangan berkata seperti itu. Waktu itu aku lagi emosi," ucap Desta mencoba menurunkan emosi Lilis.
"Aku tidak pernah menuntut lebih dari yang bisa kamu berikan, mas. Tapi setidaknya, jangan kamu bohongi aku. Kamu anggap aku bodoh, dan kamu terus membodohiku. Hari ini, aku memberimu kesempatan untuk jujur. Karena, lain kali aku tidak akan menerima kebohonganmu lagi, mas Desta. Apapun itu, sesakit apapun, katakan."
Lilis menatap suaminya yang terdiam setelah mendengar ucapannya. Terlihat Desta berpikir dan menatap wajah Lilis yang benar-benar marah. Kebohongan yang dilakukan Desta sangatlah banyak, tidak mungkin mengatakan pada Lilis dalam kondisi emosi tingkat tinggi.
"Sudahlah, mas memang tidak membayar uang cicilan motor. Waktu itu mas butuh tambahan modal. Terpaksa aku pakai uang yang untuk cicilan motor dulu. Nanti kalau ada hasil, aku akan ganti. Tapi siapa tahu, usahaku tidak membuahkan hasil. Bahkan kini terancam gagal."
"Kenapa, tidak bilang dari awal, mas. Kita bisa berunding dan mencari solusinya. Aku juga bukan orang yang kaku dan tidak tahu keadaan suami."
"Kalau aku bilang, kamu pasti juga tidak akan mengizinkan aku menggunakan uang itu."
"Seperti itukah aku dimatamu, mas? Sebagai seorang istri, aku juga ingin dilibatkan dalam sebuah keputusan. Tidak hanya harus berkata ya, tanpa punya pandangan. Walaupun aku miskin, aku juga berhak mendapatkan posisi yang layak sebagai istrimu, mas Desta. Atau jika yang kamu butuhkan adalah seorang istri yang hanya kamu jadikan pajangan di rumah, aku tidak bisa, mas."
"Apa-apaan, kenapa pembicaraan ini jadi ngelantur kemana-mana? Aku jadi tidak betah di rumah. Aku akan pergi saja. Kamu pikirkan baik-baik kesalahan kamu karena telah membuat suamimu tidak betah di rumah."
"Mas, Desta… aku belum selesai bicara mas. Masih banyak yang harus kamu jelaskan padaku."
Lilis meraih lengan suaminya dan berharap dia peduli dengan dirinya. Namun, Desta mengibaskan tangan Lilis hingga membuat Lilis hampir terjatuh. Desta berlalu pergi dan tidak menoleh sedikitpun pada Lilis. Desta sengaja pergi agar Lilis tidak terus mendesaknya untuk jujur dan mengakui kesalahan.
Bayangan Desta dan motornya sudah tidak terlihat lagi. Lilis masih saja berdiri di tempatnya, seolah kakinya sudah melekat pada lantai rumahnya. Airmata mengalir deras mengiringi hatinya yang sakit. Sakit hati karena hingga saat ini suaminya masih belum bisa jujur sepenuhnya padanya.
Lilis terduduk lemah di kursi ruang tamunya. Emosinya kali ini telah menguras banyak energi yang dia miliki. Ibunya keluar dari kamar dan segera mendekati Lilis yang masih berderai airmata. Dipeluknya Lilis yang saat ini sedang dalam batas kesabaran menghadapi suaminya.
Setelah satu jam berlalu, Lilis merasakan perutnya sakit. Tidak pernah terbayangkan jika saat ini dia akan mengalami kontraksi yang sangat hebat. Lilis hampir menangis jika tidak ingat, dia akan ditertawakan orang-orang. Saat membuat anak, mereka keenakan. Giliran akan melahirkan, menangis dan merasa tidak tahan.
Dengan segenap kekuatan dan energi yang masih tersisa, Lilis berusaha menahan sakit. Lilis meminta Bu Siti, untuk segera menghubungi Desta. Panggilan Bu Siti masuk, tetapi tidak ada jawaban. Diulanginya lagi dan lagi. Masih tetap tidak diangkat. Yang terakhir, ponsel Desta dimatikan.
"Lis, bersabar dulu ya. Ibu akan mencari bantuan sebentar untuk membawa kamu ke rumah sakit."
"Iya, Bu. Lilis masih bisa bertahan kok."
Dalam keadaan panik, Bu Siti berlari tergopoh-gopoh menuju rumah Wendi yang jaraknya 100 meter dari rumah Bu Siti. Kebetulan Wendi sedang duduk santai di teras rumah sambil minum kopi.
"Assalamualaikum, nak Wendi."
"Wa'alaikum salam, Bu Siti, ada apa?"
"Tolong antar Lilis ke rumah sakit. Perutnya sakit, dan ibu sangat takut sekali."
"Ya, sudah. Tunggu sebentar. Wendi ambil kunci mobil dulu."
Wendi bergegas mengambil kunci mobil, sementara Bu Siti kembali berlari pulang. Bu Siti mencoba menenangkan Lilis yang masih kesakitan. Tidak berapa lama, mobil Wendi datang dan mereka segera membawa Lilis pergi ke rumah sakit.
Sampai di rumah sakit, Lilis segera ditangani dokter. Mereka membawa Lilis masuk ke sebuah ruang bersalin dan tidak ada yang boleh masuk.
Bu Siti dan Wendi menunggu dengan harap-harap cemas. Bu Siti cemas karena Lilis dan Desta baru saja bertengkar hebat. Mungkin saja pertengkaran mereka memicu kontraksi awal. Dan itu bisa berbahaya bagi Lilis. Karena perkiraan kelahiran Lilis masih 3 Minggu lagi.
Namun jika Allah berkehendak, anak Lilis lahir hari ini, itu juga akan menjadi berkah untuk pernikahan Lilis dan Desta. Bu Siti mencoba menghubungi Desta kembali, namun ponsel Desta masih dimatikan.
"Bu Siti, kirim pesan saja. Mungkin nanti dia baca. Jika tidak bisa, biar Wendi bantu menulis. Bu Siti berdoa saja untuk keselamatan Lilis dan bayinya."
"Silahkan nak Wendi. Terimakasih, ibu akan mengambil wudhu setelah itu berdoa agar Lilis dan anaknya baik-baik saja."
Bu Siti menyerahkan ponsel Lilis pada Wendi yang segera menyusun kata untuk mengirim pesan pada Desta.
Satu pesan terkirim, namun masih centang satu. Wendi kembali mengirim dan masih tetap sama, centang satu.
Bersambung
jangan lupa like dan koment
mkasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments