“Kamu jangan banyak drama dan membela mereka, Bayu!” seru Mama Dhiya.
“Tante, Bayu minta Tante jaga Reigha satu malam aja di sini. Tante perhatikan sendiri aja Reigha mau atau gak sama suster lain. Untuk itu, Bayu akan temani Tante malam ini jagain Reigha,” ucap Bayu yang seakan ingin membuktikan pada Mama Dhiya.
“Oke, Tante akan buktikan ucapan kamu. Benar atau gak,” balas Mama Dhiya.
“Suster Shafa, untuk hari ini gak usah jagain Reigha, ya,” ucap Bayu.
“Maaf, Pak. Saya ingin mengundurkan diri menjadi suster pribadi Pak Reigha. Terima kasih, Bu, Pak. Kami pamit.” Suster Shafa mendekat pada brankar Reigha seraya berkata, “Pak, semoga lekas sembuh. Saya pamit.”
Reigha tampak tak ingin ditinggal oleh suster Shafa, dirinya melihat pada pintu yang membawa suster Shafa keluar dan menghilang dari pandangannya. Apakah Reigha jatuh cinta pada suster Shafa? Entahlah, hanya saja terlanjur nyaman.
Tak lama dari kepergian suster Shafa, ada salah seorang suster perempuan yang menjadi sahabat suster Shafa, yaitu bernama suster Anna.
Suster Anna membawa makanan untuk Reigha. Namun, kedatangan suster Anna membuat Reigha semakin malas untuk makan.
“Maaf, Bu. Pasien tidak mau makan,” ucap suster Anna pada Mama Dhiya.
“Gha, kamu makan, ya?” bujuk Mama Dhiya.
Jangankan makan, menoleh saja Reigha tak minat. Reigha memejamkan mata, tak ingin membuat kedua netranya menatap sekeliling.
“Gha, kamu mau sembuh gak? Ayolah makan!” seru Mama Dhiya.
Bayu yang disamping Reigha pun hanya diam saja. Berucap pun tak didengar oleh Mama Dhiya.
“Bu, biasanya yang menghandle Pak Reigha ini adalah suster Shafa, Bu. Kenapa gak sama suster Shafa?” tanya suster Anna mencoba mencari tau, padahal dirinya sudah tau.
“Disini kerja atau gosip?” Bukannya menjawab malah kembali bertanya pada suster Anna.
Suster Anna tersenyum dan kembali membuka suaranya, “Bu, makanannya saya taruh di sini. Saya tinggal keluar karena masih ada pasien lainnya.” Suster Anna pun pergi meninggalkan ruangan tersebut.
“Tante lihat sendiri ‘kan ... gak ada yang mau ngurus Reigha karena emang Reigha gak mau kalau bukan suster Shafa, Tan,” ucap Bayu.
“Bayu, kamu sendiri tau ‘kan, kalau suster itu anak dari orang yang membuat Reigha kecelakaan. So, kamu jangan berusaha bujuk Tante, Bayu!” balas Mama Dhiya yang masih saja tak mendengar ucapan orang lain.
Bayu pun diam-diam membuka ponselnya, mengirimkan pesan pada Papa Harun agar ikut serta membantu membujuk sang istri.
“Om, tolong ke rumah sakit sekarang, ya,” ketik Bayu pada ponselnya.
Bayu pun kini berpindah duduk ke sofa. Membiarkan Mama Dhiya membujuk Reigha untuk makan.
“Gha, makanlah! Setidaknya ada makanan masuk agar bisa kamu minum obat, Nak!” seru Mama Dhiya.
Tak lama kemudian, Papa Harun sampai di ruangan Reigha. Papa mendekat pada Reigha. Mengusap rambut Reigha seraya bertanya, “Apa kabarmu, Gha?”
Reigha perlahan membuka matanya, netranya kini menatap sosok Papa yang selalu mendukungnya. Apapun itu, Papa selalu ada buat Reigha. Bukan seperti Mama Dhiya yang lebih mementingkan egonya sendiri.
“Pa, kamu siapin tuh Reigha. Pengen sembuh, tapi gak mau makan,” ucap Mama Dhiya mengomeli Reigha.
“Emang kemana susternya? Kan seharusnya ini pekerjaannya dia,” balas Papa Harun bertanya pada Mama.
“Tadi udah ada suster yang masuk, tapi anak kamu yang gak mau sama dia,” jawab Mama Dhiya.
“Suster yang biasanya mana?” tanya Papa Harun kembali.
“Mama larang datang ke ruangan ini lagi. Karena, ternyata dia itu anak dari orang yang membuat Reigha kecelakaan, Pa,” jawab Mama Dhiya dengan raut wajahnya yang tampak kesal.
Papa Harun menarik lengan Mama Dhiya dengan lembut, membawanya menuju sofa. Keduanya duduk. Hal itu tentu membuat Bayu harus pindah tempat. Bayu kini berdiri di samping brankar Reigha.
Bayu menoleh pada Reigha yang tengah menatap ponsel Bayu. Untunglah Bayu paham, dirinya langsung memberikan ponsel pada Reigha.
“Tolong bawa suster Shafa kembali.” Reigha mengetikkan kalimat.
Bayu pun mengangguk dan menunduk seraya berbisik, “Gue akan berusaha lakukan apapun agar suster Shafa kembali ke sini buat ngerawat lo, Gha.”
Bayu dan Reigha kini menatap pada Mama dan Papa yang tengah mengobrol di sofa.
“Ma, kenyamanan Reigha sebagai pasien itu lebih penting daripada egonya Mama. Kalau Reigha nyaman dirawat sama suster yang biasanya, kenapa harus Mama ikut campur melarang? Kalau gini caranya, kamu menghalangi Reigha untuk segera sembuh, Ma,” ujar Papa Harun.
“Tapi, Pa ... dia itu anaknya ba—”. Belum selesai Mama Dhiya berkata, langsung disambar oleh Papa Harun.
“Kamu jangan asal menuduh. Emang kamu lihat kejadiannya langsung?” tanya Papa Harun.
“Aku lihat CCTV-nya, Pa. Papa mau lihat?” jawab Mama Dhiya sembari menawarkan pada Papa.
“Gak. Bagi Papa, saat ini lebih penting kesehatan Reigha daripada rekaman CCTV itu,” balas Papa Harun membuat Mama Dhiya menghela napasnya kasar.
Papa Harun mendekat pada Reigha, meninggalkan Mama Dhiya yang masih kesal di sofa.
“Apasih yang kamu mau, Pa?” tanya Mama Dhiya menaikkan nada bicaranya.
“Papa mau suster yang kemarin kembali merawat Reigha. Bukan maksud Papa membela siapa-siapa. Tapi, ini hanya semata-mata demi kesehatan Reigha.” Papa berlalu pergi keluar ruangan. Meninggalkan Mama Dhiya di dalam supaya lebih leluasa memikirkan apa yang terbaik bagi Reigha, anaknya.
Mama Dhiya kesal dan meninggalkan ruangan. Pergi tanpa pamit pada Reigha maupun Bayu.
“Gha, gimana sekarang?” tanya Bayu seraya memberikan ponselnya.
Beruntung tangan kiri Reigha masih dapat berfungsi, setidaknya masih ada kesempatan untuk Bayu berkomunikasi dengan Reigha.
“Biarkan aja, Mama itu urusan Papa. Kita tunggu aja sampai Mama ngebolehin suster Shafa merawat aku kembali,” ketik Reigha pada ponsel Bayu.
“Oke. Tapi, sekarang lo harus makan!” seru Bayu sembari mengambil makanan Reigha dan menyuapinya dengan telaten.
Setelah selesai Bayu menyuapi dan memberikan obat pada Reigha, Bayu pamit keluar untuk membeli makanan buat Bayu sendiri karena perutnya mulai keroncongan.
Saat Bayu tengah berjalan di lobby rumah sakit, Bayu melihat suster Shafa tengah berjalan dengan membawa berkas-berkas pasien.
“Sus ... suster!” panggil Bayu mendekat pada suster Shafa.
Suster Shafa menoleh. Rasanya malas bagi suster Shafa untuk berhadapan kembali dengan keluarga Pak Reigha, termasuk Pak Bayu.
“Ada apa, Pak?”
“Sus, saya mohon. Suster mau ‘kan merawat Reigha kembali?” tanya Bayu dengan tatapan memohon.
“Maaf, Pak. Tidak bisa,” jawab suster Shafa berlalu pergi.
Bayu menghela napasnya kasar. Andai saja dia tak membawa Mama Dhiya ke rumah sakit, pasti sampai saat ini suster Shafa masih merawat Reigha.
Bayu berjalan menuju kantin rumah sakit. Namun, tiba-tiba ...
“Bayu!” panggil Mama Dhiya.
Bayu menoleh dan kaget saat melihat Tante Dhiya masih ada di rumah sakit.
“Ada apa, Tan?” tanya Bayu.
“Tante mau ngomong,” balas Mama Dhiya duduk pada kursi yang tersedia di lobby. Diikuti oleh Bayu.
Saat keduanya sudah duduk, Mama Dhiya pun membuka suara, “Tante udah memikirkan, dan Tante memutuskan untuk suster yang kemarin boleh merawat Reigha kembali. Tapi, merawatnya di rumah aja. Setidaknya, Tante bisa ikut melihat dan merawat Reigha sebagai anak Tante.”
“Tapi, Tan. Barusan Bayu ketemu suster Shafa, dia gak mau lagi berurusan sama Reigha, Tan,” balas Bayu.
“Ajak Tante ke tempat suster Shafa. Biar Tante minta maaf dan meminta dirinya kembali,” ujar Mama Dhiya dengan serius.p
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments