“Lo ngetik apa sih, Gha?” tanya Bayu yang mengernyitkan alisnya, heran.
Reigha tampak kesulitan untuk mengetik. Setelah dirasa selesai, Reigha mengulurkan tangan kirinya untuk memberikan ponsel Bayu kembali.
“Gue gak nyaman sama suster lain, selain sama yang kemarin,” ucap Bayu membaca tulisan yang Reigha ketik tadi.
“Suster Shafa?” tanya Bayu membuat Reigha mengangguk kecil.
“Yang lain ‘kan ada, Gha ... lagian gue gak yakin dia mau ngurusin lo,” ucap Bayu.
Tok... Tok... Tok...
Bayu menoleh pada pintu. Ternyata ada seorang suster yang membawa kertas untuk mengecek kondisi pasien.
“Sus, mau tanya. Suster Shafa dimana, ya?” tanya Bayu.
“Suster Shafa masuk pagi. Besok datangnya, Pak,” jawab suster itu dan berlalu pergi meninggalkan ruangan.
Bayu menatap pada Reigha. Disaat dirinya lemah seperti ini, hanya satu yang Reigha mau. Dia hanya mau dirawat oleh suster Shafa. Tapi, Bayu seakan masih ragu untuk menuruti keinginan itu.
Bayu tampak berpikir sebentar. Dirinya berusaha menemukan titik terbaik untuk Reigha saat ini dan seterusnya. Jika Reigha tak ingin dirawat oleh suster lain di rumah sakit ini, lantas bagaimana dia bisa sembuh.
“Hanya suster Shafa?” Bayu yang sejak tadi selalu mengulang-ulang bertanya pada Reigha. Lagi dan lagi Reigha mengangguk kecil pada Bayu.
“Gue usahain yang terbaik buat lo. Lo diam, tenang di sini. Gue mau ketemu dokter buat bicarakan yang lo mau. Ingat, jangan kabur!” ucap Bayu yang berhasil membuat Reigha mengernyit heran.
‘Gimana bisa kabur. Duduk aja susah, apalagi lari,” batin Reigha menatap punggung Bayu yang tak terlihat lagi. Bayu sudah keluar dari ruangan.
****
Bayu tampak masuk ke dalam ruangan dokter. Tak lupa dirinya mengetuk pintu terlebih dahulu.
“Permisi, Dokter. Ada yang mau saya bicarakan.” Bayu masuk dan langsung berhadapan dengan dokter.
“Iya. Bagaimana, Pak?” tanya Dokter.
“Ini masalah teman saya, Reigha. Dia gak nyaman dengan semua suster yang ada di Rumah Sakit ini kecuali suster Shafa. Saya sendiri gak tau kenapa bisa gitu, Dok. Yang saya lihat, ketika bersama suster lain dia gak mau makan dan gak mau dipegang gitu, Dok. Jika boleh, saya mengatas namakan teman saya .... mau mengontrak suster Shafa untuk menjadi suster pribadi buat Reigha. Apa bisa begitu, Dokter?” ucap Bayu panjang pada Dokter.
Dokter yang sejak tadi menyimak pun, kini tersenyum.
“Begini, Pak. Sebenarnya itu bukan hal yang langka. Bukan sedikit juga pasien kami yang suka memilih-milih suster. Jadi, kami pun memaklumi. Tetapi, Pak ... jika untuk mengontrak suster Shafa untuk menjadi suster pribadi, itu saya tidak bisa menetukan. Yang berhak menentukan hanya suster Shafa. Jadi, jika memang harus mengurus hal tersebut, ketika besok suster Shafa sudah datang kita bahas kembali. Bagaimana, Pak?” balas Dokter membuat Bayu lega. Setidaknya Dokter memahami yang Bayu harapkan untuk Reigha.
“Baik, Dokter. Jika begitu, saya pamit kembali ke ruangan. Terima kasih sebelumnya.” Bayu menyatukan kedua tangannya seraya tersenyum pada sang Dokter.
Bayu membuka pintu ruangan Reigha. Tampak Reigha yang tengah terlelap tidur. Bayu langsung membuka ponselnya untuk mengecek keadaan kantor saat ini.
****
Keesokan paginya, Bayu tengah bersiap untuk bertemu dengan suster Shafa dan Dokter untuk membicarakan perihal Reigha.
Tok...Tok...Tok...
Suster Shafa tampak masuk membawa makanan untuk sarapan pasien pagi ini. Bayu tampak tersenyum lega dengan kehadiran suster Shafa.
“Assalamu’alaikum, Pak. Bagaimana keadaan Pak Reigha?” tanya suster Shafa.
“Wa’alaikumussalam ... alhamdulillah baik, terlebih lagi dengan kedatangan suster Shafa pagi ini,” jawab Bayu.
“Kenapa, Pak? Apakah ada urusan pagi ini?” tanya suster Shafa yang ternyata belum paham apa maksud ucapan Bayu.
“Pagi ini saya harus ke kantor mengecek kondisi di sana. Tetapi, sebelum ke kantor, saya harus bertemu dengan dokter dan juga suster Shafa. Karena, ada suatu hal yang harus kita bicarakan,” jawab Bayu yang membuat suster Shafa mengangguk pelan.
“Emm ... begini, Pak. Izinkan saya menyelesaikan pekerjaan saya di ruangan Pak Reigha. Setelah itu, kita ke ruangan dokter. Untuk pasien lain, semoga dapat dihandle oleh teman saya lainnya,” balas suster Shafa membuat Bayu mengangguk setuju.
Lama Bayu menunggu di sofa seraya melihat Reigha dengan lahapnya makan dan berusaha untuk sembuh.
“Suster udah lama kerja di sini?” tanya Bayu pada suster Shafa.
“Lumayan lama sih, Pak,” jawab suster Shafa sembari menjalankan pekerjaannya.
Setelah selesai suster Shafa menyuapi dan mengecek infus serta alat-alat lainnya, suster Shafa langsung mendekat pada Bayu.
“Pak, saya sudah selesai. Saya pergi duluan ke ruang dokter, ya,” pamit suster Shafa pada Bayu.
“Sus, barengan aja. Searah,” balas Bayu yang diangguki oleh suster Shafa.
Bayu dan suster Shafa berjalan beriringan menuju ruangan Dokter. Diantara keduanya, tak ada obrolan sama sekali. Hingga kini telah sampai di ruang dokter.
“Permisi, Dok. Saya di sini membawa suster Shafa langsung,” ujar Bayu.
Dokter pun mendekat pada Bayu dan suster Shafa yang masih berdiri di samping sofa.
“Silakan duduk.” Dokter mempersilakan keduanya untuk duduk agar lebih santai mengobrolnya.
“Suster Shafa ini suster terbaik di sini, Pak. Lulusan S2. Jika dikasih bintang, boleh bintang lima untuk dirinya.”
“Kayak go-jek, ya, Dok,” sambar Bayu sembari tertawa kecil.
“Ya! Tepat, Pak. Sepertinya kita satu frekuensi.” Dokter pun ikut tertawa.
Suster Shafa tampak heran dengan kedua laki-laki di hadapannya. Jika memang ada yang harus dibicarakan, kenapa tidak langsung to the point. Padahal, pekerjaan suster Shafa masih sangat banyak pagi ini.
“Begini, suster Shafa .... bapak ini ingin anda menjadi suster pribadi untuk pasien atas nama Pak Reigha. Keputusan ada pada anda. Kami tak harus memaksakan anda menerima atau pun menolak,” ucap Dokter yang seakan tau kegelisahan suster Shafa.
“Ooo, begitu. Boleh beri saya waktu untuk berpikir dahulu, Pak?” tanya Shafa.
“Bagaimana, Pak?” tanya Dokter menoleh pada Bayu. Shafa pun ikut menoleh pada Bayu. Berharap sebuah kata yang keluar dari mulut Bayu.
“Boleh. Jika sudah ada jawaban. Tolong kabari saya, ya.”
“Oke, terima kasih waktunya Dokter dan suster Shafa. Saya ada urusan dan harus ke kantor. Jika ada hal penting, boleh hubungi saya, ya, Suster. Lain waktu kita bercanda lagi, Dok,” lanjut ucapan Bayu pamit pada keduanya.
Bayu menautkan tangan kanannya bersalaman pada Dokter dan berlalu pergi meninggalkan ruangan Dokter. Bayu menyempatkan waktu ke ruangan Reigha untuk pamit ke kantor. Setidaknya, jika dirinya pamitan pada Reigha, tak kebingungan Reigha mencarinya nanti.
Saat di perjalanan menuju kantor, Bayu seakan kembali mengingat pada kecelakaan Reigha. Sebenarnya kasihan jika Mama Dhiya belum tau hal ini. Bayu pun memutuskan untuk cek kondisi kantor terlebih dahulu. Kemudian, dirinya ke rumah Papa Harun untuk memberitahu Mama Dhiya apa yang terjadi pada Reigha.
Belum sampai Bayu di rumah kediaman Papa Harun, ternyata Mama Dhiya sudah menunggu di ruangan Bayu. Seakan Mama Dhiya tau kalau Bayu menyembunyikan sesuatu dari dirinya.
“Bayu, Tante butuh jawaban kamu. Dimana Reigha sekarang?” tanya Mama Dhiya dengan tatapan seriusnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 190 Episodes
Comments