Libur telah ditetapkan. Anak-anak kelas tiga akan menjalani masa try out, dilanjutkan dengan simulasi ujian berbasis komputer. Demi menghindari keributan, kelas satu dan dua diliburkan. Benar-benar libur panjang. Athena tak tahu harus berbuat apa. Tak mungkin juga berdiam di rumah saja. Hatinya tidak akan kuat karena Sandrina pasti akan terus mencari kesempatan.
Ya, kesempatan untuk memukuli dirinya sepuas hati kala omongan-omongan tak sedap didengar menerpa keluarganya. Maka dari itu, Athena memilih bantu-bantu di salah satu kantor penerbit milik saudara jauhnya. Itu hanya upaya mengisi waktu senggang asal tidak di rumah. Ponselnya akan sengaja dimatikan hingga tiga minggu ke depan. Athena benar-benar memanfaatkan liburan sebagai penenang.
"Hanna! Kamu di mana, Sayang?" Founder Penerbit Landscape berkoar-koar.
"Di sini, Mak! Lagi main game sama Kak Rafika!" Gadis bernama Hanna menyahut tanpa merasa bersalah.
"Kerjaan udah beres belum?"
"Belum, Mak!"
"Oalah, minta diapain kamu, hah?"
"Kabuurrr!"
Begitulah suasana kantor penerbit indie Landscape setiap hari. Sang founder yang biasa dipanggil emak, pasti akan berteriak-teriak sampai tenggorokan kering untuk mengecek kerjaan anak-anak alias karyawannya. Ada saja yang berulah, entah main game secara sembunyi-sembunyi atau tidur di kolong meja agar tak ketahuan Anisa, nama dari emak.
Di hari pertama bekerja, Athena hanya mengenalkan diri dengan nama singkat, Nana. Nama panjang? Tentu saja tidak ada yang boleh tahu. Kalaupun sudah terlanjur tahu pun tak apa. Terpenting, saling menjaga privasi antar-karyawan agar tak ada oknum nakal yang melakukan suatu tindakan buruk lalu mengatasnamakan orang lain.
Atau mungkin saja melalui nama membuat seseorang tertarik untuk menculik dan meminta tebusan seratus triliun?
Amit-amit uang sebanyak itu diberikan pada penculik yang malas itu. Lebih baik diserahkan saja untuk Sandrina supaya wanita itu tidak marah-marah lagi.
Athena anak baru. Mungkin tak lama di sini. Namanya tercatat sebagai salah satu asisten di bagian sosial media. Ya, tugasnya cukup ringan. Hanya memantau pekerjaan orang lain dan menyebar banner promosi apabila ada novel yang sudah siap dipesan.
"Riris, ini kenapa layout-nya kupu-kupu semua? Yang kreatif, dong, biar pembaca nyaman baca novelnya. Masa begini, doang?" Emak kembali menegur tetangga kubikel sebelah kanan Athena.
Gadis itu mengela napas panjang. Sebelum ada asisten yang berjumlah enam orang, emak pasti kewalahan karena mengerjakan semuanya sendiri. Karyawan lain ikut membantu, hanya saja tidak seberapa karena mereka akan sibuk di percetakan serta bagian pengiriman.
Belum lagi menghadiri berbagai seminar sebagai pembicara mengenai kesusasteraan. Belum lagi tugas yang kami kerjakan terkadang belum sempurna sampai membuat emak pusing tujuh keliling hingga menabrak dinding, lalu muncul bintang dan burung di atas kepala.
Dalam diam, Athena menatap laman Facebook dan Instagram di layar monitor komputer. Tak ada satupun yang mampu membuatnya fokus selain memikirkan kehidupannya yang pahit sekali.
"Na, jangan ngelamun aja. Ini ada beberapa novel yang udah siap open pre-order. Posting di facebook sama instagram perusahaan, ya?" tegur seseorang.
Tanpa melihat siapa yang barusan menegur, Athena hanya mengangguk sambil mengecek gambar yang dikirimkan. Tanpa tedeng aling-aling, gambar beserta keterangannya ia lempar ke dua sosial media. Sebentar lagi jam pulang kerja akan tiba. Mungkin sebaiknya ia siap-siap terlebih dahulu.
"Nana, kamu mau bantu Ummi nggak, Sayang?" Ummi Anya tiba-tiba sudah ada di belakang Athena.
"Iya, Ummi. Ada apa?"
"Kita mau bikin event menulis 200 puisi dalam waktu 30 hari. Nanti kamu bantu jadi editor naskah mereka sama dua orang lainnya, ya? Masih ada waktu sekitar dua minggu lagi untuk bersantai. Deadlinenya akhir bulan."
Athena mengangguk pelan sebagai jawaban. Setidaknya, pikiran yang terus dihantui bayangan kelam masa kecil bisa sedikit teralihkan dengan menenggelamkan diri bersama ratusan naskah puisi akhir bulan nanti.
Usai pamit pada Ummi Anya, Athena segera mengambil tas dan mengikuti jejak karyawan lain yang sudah lebih dulu turun ke lantai dasar dan pulang ke rumah masing-masing.
...💕...
Setiba di rumah, wajah Sandrina terlihat kurang senang. Dia memang selalu seperti itu tiap Athena pulang dari kantor. Sejak papa pergi bersama wanita lain, sampai sekarang ia selalu saja bersikap kasar dan melampiaskan emosi padanya. Di matanya, Athena adalah anak yang selalu menyusahkan dan tak tahu diri.
"Setiap hari buang-buang waktu ngebantuin orang lain, dapet duit juga gak. Bukannya bantuin orang tua dengan cari kerja malah sibuk sama kerjaan gak jelas. Dasar anak gak tahu diri!" cela Sandrina ketika sang putri masuk.
"Ma, Athena selalu dapat tunjangan kuota sama ongkos tiap minggu. Seenggaknya, kalau tiba-tiba ada duit, jadinya gak kepake untuk beli kuota lagi," katanya sambil memelas.
"Kuota, kuota, kuota! Itu aja yang ada dalam otak bodoh kamu! Pikirin ke depannya mau makan apa? Makan kuota? Makan batu? Dari kecil udah nyusahin sampe sekarang pun masih hidup numpang sama Mama. Cari kerja sana! Darah keturunan Papa kamu emang nggak bener semua!"
Athena memejamkan mata mencoba mencecap rasa sakit yang kembali hadir. "Nanti tamat SMA juga Athena bakalan kerja, Ma. Mama tenang aja."
"Alah, kamu itu emang anak pembawa sial. Kalau dibilangin melawan terus. Gak bersyukur udah Mama tampung, Mama kasih makan, Mama biayain sekolahnya. Kamu itu dibuang sama Papa kamu! Harusnya tau diri! Bayar semua uang yang sudah Mama keluarin buat hidupin kamu!"
"Mama kenapa, sih? Kalau ada masalah bilang sama Athena jangan marah-marah terus. Pusing tau gak?!"
Tanpa menunggu jawaban, Athena segera masuk ke kamar dan menangis di sana. Rambut dan kulitnya menjadi sasaran tangan saking tak kuatnya menahan cacian Sandrina. Cercaannya belum berhenti, bahkan menyuruh Athena pergi dari rumah ini.
Pandangan mata Athena mengarah pada sebuah pisau lipat di atas nakas. Setan segera bernyanyi riang membisikkan aura kematian yang terasa menyenangkan. Ketika permukaan tajam pisau sudah menekan kulit, gadis itu tersadar.
Neraka abadi sedang menunggu di alam keabadian. Lagi-lagi, Athena menangis sembari memeluk lututnya sendiri. Bayangan-bayangan kala orang tuanya bertengkar dan tak ada seorang pun yang memeluk kembali hadir.
Sesekali Athena tertawa miris. Ya, menertawai hidupnya yang kacau dan tak sebahagia anak orang lain.
"Tuhan, Athena gak kuat kalau begini terus. Kenapa cuma Athena, sih, yang harus menghadapi kenyataan pahit kayak gini? Athena bukan anak pembawa sial, Athena bukan keturunan gak bener, Athena bukan penyebab dari semua ini! Bukan Athena!" jeritnya tertahan.
Athena kecil tak pernah menangis walaupun saat melewati beranda-beranda rumah orang, semua menyindirnya dengan kalimat bertajuk sama ; "Ayah ke mana, Nak? Cari ibu baru, ya? Makanya jangan macem-macem. Ditinggal jadinya. Susah, kan, hidupnya sekarang. Bandel, sih," sindir mereka, dengan bersikap seolah-olah sedang bicara pada anak-anaknya.
Namun, Athena kecil terlambat untuk sadar, bahwa saat itu sebenarnya ada luka yang kian membesar. Menganga. Bagai jurang dalam tak berdasar. Dia hanya pulang ke rumah, tanpa mengetahui alasan kenapa dirinya jadi malas bermain. Anak kecil tak mengerti apa-apa.
Kepolosannya kala itu membawa malapetaka. Luka terus menerus bertumpuk sampai tak terhitung berapa lapisan. Athena kecil terpukul luar dalam. Sayang, waktu belum memberinya penjelasan akan apa yang sedang dia alami.
Ia tidak mengenali perasaannya saat hatinya sedang teriris. Ia tidak paham saat hatinya hancur walau darah tak mengucur. Athena kecil hanya tahu malas sekolah. Malas bermain. Malas bertemu siapa saja. Lalu, saat dewasalah semua terangkat ke permukaan. Mengambang-ambang dalam kolam duka. Begitu dia sadar, sudah terlambat untuk mengobatinya.
Salah siapa kepalanya sekeras cadas? Salah siapa hatinya semati ranting pohon di musim kemarau? Salah siapa pikirannya tak pernah tenang bagai terus diamuk badai? Salah siapa? Salahnya karena tak dekat dengan Tuhan?
Seharusnya, orang-orang bisa membedakan anak yang hancur karena tertekan tanpa sesiapa mengulurkan tangan, dengan orang tertekan karena kehilangan harta benda. Mental setiap orang itu berbeda. Kekuatan orang tak ada yang sama.
"Athena gak salah!"
Tangan Athena terus menjambak rambutnya sendiri, sesekali ia beralih mencakar kulit hingga menimbulkan bekas kemerahan. Ia sudah terbiasa hingga tak lagi merasa kesakitan. Malah, sensasinya sangat menyenangkan.
"Athena gak tahu apa-apa. Ambil Athena, Tuhan! Ambil!"
Itu sama sekali tidak sakit. Entah kenapa, rasa yang ditimbulkan membuat Athena ketagihan. Ya, beberapa hari ini sikapnya seperti orang tak waras.
Athena mulai mengambil korek dan mendekatkan apinya ke tangan. Tidak sampai membakar, tapi hanya sekedar memberikan rasa panas yang terasa enak sekali saat mengenai kulit.
Ia terus melakukan itu hingga lelah dan tertidur dengan sendirinya. Sandrina adalah orang baik dan ceria. Akan tetapi, kalau sudah marah selalu berwujud seperti monster jahat bagi buah hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments