Pagi ini, Athena terbangun di kamar dengan mata sembab. Setelah membersihkan diri, ia mengenakan baju seragam putih abu-abu, lalu mengambil tas yang telah dijejali buku pelajaran. Tanpa berniat sarapan, Athena melewati meja makan yang hanya ada roti dan selai saja. Mejanya tampak dingin menyambut Athena, sampai-sampai dia melenggang begitu saja melewatinya.
Athena menyetop angkot dan turun saat tiba di sekolah. Bangunan yang berdiri sejak tahun 80-an itu tampak sepi. Mungkin faktor waktu yang masih terlalu pagi.
Athena ingin sekali bolos pelajaran, tapi gadis itu tak sampai hati untuk melakukannya. Maka, terpaksa dengan wajah dibuat sebiasa mungkin, pelajaran pertama sampai akhir Athena ikuti dengan pura-pura semangat.
Sepanjang hari, Gloria terus merecoki Athena dengan berbagai pertanyaan. Terakhir, dia mencoba membujuk Athena untuk kembali berpartisipasi dalam acara perpisahan, lalu menemui kegagalan. Bungkam adalah pilihan terakhir Athena saat dirinya belum bisa mengendalikan diri.
"Athena!"
Suara seseorang yang memanggil dengan kencang membuat gadis itu berbalik dengan berat hati. Matanya menemukan Gabriel sedang terengah-engah mengejar dirinya. Di mata cowok itu, tergambar sebuah kepanikan yang begitu jelas.
"Apa? Gue mau pulang," ujar Athena pelan.
"I need you. No ... semuanya. Semua pengen lo hadir buat bantuin mereka. Acara dimajuin besok, karena lusa kepsek ada event penting selama seminggu di luar kota," kata Gabriel memohon.
Athena tersenyum tipis. Ia tak layak menerima permohonan dari mereka. Seorang gadis biasa seperti dirinya, yang lebih cocok menjadi kacung atau pesuruh, kini diharapkan datang demi mempersiapkan acara yang dilaksanakan setahun sekali itu.
"Susunan acara udah dibuat, Na. Tugas-tugas udah dibagi. Beberapa kerjaan pun cuma lo yang bisa ngerjain, please. Kita gak bisa nge-handle tugas-tugas lo. Demi sekolah kita."
"Jangan paksa gue, Gab. Semua bisa ngerjain kalo mereka mau. Gue itu cuma pesuruh alias kacung di sana," tolak Athena tanpa berniat menyindir.
"Jangan keras kepala saat-saat genting kayak gini!"
"Sejak kemarin lo gak bisa diam, kah? Bisa gak hargai keputusan orang?" ucap Athena emosi.
Mata bernetra sewarna madu itu terpejam sesaat. Kepalanya terasa berputar. Ia tak kuasa menolak permintaan Gabriel. Apalagi, soal harga diri sekolah. Banyak tamu penting diundang demi memeriahkan suasana. Pun momentum ini merupakan acara terakhir bersama kakak kelas tiga.
Namun, Athena terlahir dengan kepala sekeras cadas. Ketika tak ada siapa pun yang bisa melihat dirinya sebagai permata, maka tak ada juga yang bisa merendahkan seorang Athena. Bila keputusan orang tak bisa dihargai maka diam adalah keputusan terbaiknya. Seharusnya, mereka juga bisa melakukan hal yang sama.
Termasuk El, Arya, Sandrina, Gloria atau siapa saja. Ia berhasil ada di detik ini karena sikap keras kepala. Bersikeras hidup dan tak ingin mati karena terlalu takut mencecap neraka yang sebenarnya.
"Kalau dia gak mau, biarin aja. Gak perlu mohon-mohon sampai bikin diri lo keliatan rendah kayak gitu, Gab!"
Sebuah suara lain menginterupsi mereka berdua. Tak perlu menoleh pun Athena tahu itu siapa. Cowok bermulut kasar tak bertanggung jawab, yang sudah membuat dirinya terhina hanya karena sebuah pendapat.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Athena langsung pergi. Lebih baik dirinya menghindar daripada kembali bertengkar. Ia membenahi letak tas punggungnya, lalu beranjak dengan langkah cepat. Gabriel menatap kecewa dan marah di saat yang bersamaan.
Kehadiran El merusak segalanya. Di saat dia hampir mendapatkan persetujuan Athena untuk hadir nanti sore, sahabat dungunya ini merusak suasana.
"Kenapa, sih? Sampai harus mohon-mohon kayak gitu? Ada gue, Gloria, sama panitia lain," cecar El tanpa pikir panjang.
"Masalahnya gak sesederhana yang lo pikir, El!" Gabriel mengacak-acak rambut lalu ikut pergi.
"Apa, sih? Gila lo!" ketus El tak sadar situasi.
"Sekali-kali reparasi, tuh, kepala! Jangan cuma sibuk bawain motor ke bengkel! Tunggangan keren, otak kosong! Gak sinkron!"
💕
Sore itu, semua termangu menatap panggung kosong yang berhasil didirikan. Arya sudah menunjukkan dekorasi yang digores Athena malam kemarin di atas. Cantik, elegan, dan sempurna. Mereka bisa saja memulai pekerjaan, tapi semua enggan bergerak sebab merasa tidak sopan mendahului bekerja, karena sang pendekor tak ada di sini. Seperti para pekerja bangunan, yang lancang mengerjakan sesuatu tanpa menunggu arahan mandor.
Mereka bisa berinisiatif langsung bekerja. Namun, Gabriel sudah menjanjikan kedatangan Athena sejak pagi. Itulah yang membuat mereka menunggu.
"Kalian kenapa, sih? Pada bengong gitu? Kerja sana!" El datang dengan wajah tak habis pikir. "Besok acaranya, kalian malah leha-leha!"
"Kita lagi nunggu Kak Athena," jawab seorang junior.
"Ngapain kalian nungguin cewek baperan kayak gitu? Udah, langsung kerja aja!" perintahnya kesal.
Tak ada yang bergerak. Semua masih diam mengabaikan wajah merah padam El. Lalu, Gloria berteriak tak percaya menyebut nama seseorang yang entah kenapa selalu membuat tensi darah El naik.
"Athena!!"
"Good day, everyone! Gue telat lagi, ya?" sapa Athena tanpa beban.
Athena telah memilih menepikan segala ego dan rasa tidak nyaman. Gabriel benar, semua dilakukan demi sekolah. Ini merupakan tanggung jawab Athena juga sebagai anak didik. Bila tak mau membantu perpisahan kakak kelas, nanti pasti tak ada yang mau repot mempersiapkan perpisahan angkatannya. Itu namanya karma.
Jujur, kehadiran Athena memang tak merubah apapun, tapi setidaknya rasa senang membuncah begitu saja di hatinya, saat tahu semua menunggu dirinya. Terbukti saat Gloria mendekat dan mencengkeram bahu Athena, diikuti tepuk tangan menggema. Lebay sekali, pikir gadis itu.
"Lo udah normal!" pekiknya gembira.
"Kapan gue gila?" gumam Athena tak habis pikir.
Seseorang datang menunjukkan kertas yang sudah tidak terlalu kusut. Athena mengenali ini. Ia tertawa lega karena dekorasi yang telah diciptakan olehnya dari ketinggian sepuluh lantai ternyata berguna.
"Thanks a lot, Guys! Gue tahu kalian selalu nungguin seseorang yang nggak berharga ini," ucapnya sambil membungkuk sedikit.
"Apaan, sih? Lo itu berharga. Cuma orang gila yang bilang lo kayak gitu!" sahut salah satu anggota panitia.
Gloria hampir menyemburkan tawa saat melihat wajah El makin merah. Pasti dia tersentil dari raga hingga ke jiwa. Athena sendiri langsung mengarahkan semuanya untuk mendekor dengan bahan yang sudah tersedia. Ia bahkan tidak mau repot-repot memandangi wajah cowok itu.
'Semangat, Athena! Ini demi sekolah, lupain soal El!' bisik batinnya.
Begitu semua terkoordinasi dengan baik, ia menepi dan mengerjakan bagian lain. Tanggung jawab panggung dan area yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan acara sudah dia serahkan pada tim dekorasi. Mereka semua hebat. Seperti dirinya. Meski sesekali hampir kesal akibat pertanyaan-pertanyaan sederhana, hari ini Athena mampu meredam itu.
"Kak, ini gimana?" Seseorang kembali mengusiknya.
"Ya Tuhan, apa lagi ini?!" bisiknya frustasi, saat menoleh ia terpekik. "Gabriel?!"
Cowok itu tertawa renyah. "Lo bener-bener gak bisa kerja bareng tim, ya? Sampai hampir stress gitu."
"Apaan, sih? Sana, jangan ganggu!"
Athena beralih menghitung berapa orang panitia saat mereka hilir mudik di depannya. Kegiatan itu terhenti saat selembar kertas tersodor. Ia melihat urutan nama di sana.
"Pasti mau bikin minuman. Ini daftar orang yang datang hari ini. Yok, gue bantu!" ajak Gabriel semangat.
Melihat tanda-tanda protes, ia langsung menarik tangan Athena menuju warung depan sekolah. Beberapa orang memperhatikan interaksi mereka dan menatap heran. Bagaimana mungkin si introvert itu bisa akrab dengan Gabriel?
"Ngapain ikut-ikut? Gue bisa bikin sendiri!" tolak Athena sambil melangkah pergi.
"Tunggu!" Gabriel menahan pergelangan tangan Athena. "Lo udah datang aja bikin gue bersyukur, sekarang sebagai tanda terima kasihnya, gue mau gantiin tugas lo. Atau minimal bantuin, lah."
"Bikin minuman di sini?" tanya Athena polos.
"Bukanlah, gue mau beli. Masa ganteng-ganteng bikin minuman?" gerutu Gabriel.
"Uang lo bisa habis."
"Kalau habis, entar gue tanam lagi."
"Baguslah." Athena menyugar rambutnya. Susah berbicara dengan orang berada.
Athena memilih memperhatikan arsitektur warung sederhana ini. Meski hanya warung biasa, ternyata pemiliknya bisa menyediakan tempat yang nyaman. Athena suka berada di sini. Sayang, ia lebih memilih menyimpan jatah jajan untuk menabung. Kantin saja tak pernah didatangi olehnya.
"Ayo, nanti Abang itu yang bakal anterin semuanya ke sekolah," ajak cowok itu.
Athena menoleh. Ia sempat tertegun melihat wajah ceria Gabriel. Dia tidak berusaha menampik dugaannya, karena selama ini intuisi Athena tidak pernah salah. Gabriel menyukainya. Sebelum semua terlambat, Athena harus mencegah sesuatu terjadi antara mereka. Gadis itu tak bisa berpura-pura buta saat melihat binar berbeda di mata Gabriel.
"Gab, makasih udah berusaha keras buat minta gue datang.Tapi, setelah ini gue harap, kita jangan terlalu deket. Kita cuma temen sekelas, satu sekolah, dan gak boleh lebih dari itu," kata Athena pelan.
Dapat Athena lihat binar itu redup berganti kecewa yang terlihat begitu kentara. Namun, Gabriel mampu menepis itu dan menatap hangat gadis yang membuatnya tertarik sedalam ini.
"Gak, kok. Lo tenang aja. Makasih udah datang. Yok, balik."
Saat punggung cowok itu membelakanginya, Athena tahu dalam langkah Gabriel terkandung kecewa yang amat dalam. Pandangannya mengabur sebelum tetes bening itu turun menuruni pipi. Athena tidak mau Gabriel jatuh cinta padanya. Ia akan menolak siapapun itu, karena merasa tak pantas untuk dicintai. Menerima kedatangan berarti harus siap kehilangan. Sedangkan yang berat bukanlah saat menerima luka, melainkan saat menyembuhkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
JurnalHanum
wahhh~
terima kasih yaa supportnya
2023-03-02
2
Fitri Ana
ceritany bagus.. lanjutkan author
2023-03-02
0