Suasana kota menjelang Magrib semakin ramai. Klakson berbunyi sana-sini tanpa jeda. Kebanyakan didominasi oleh para pekerja yang tak sabar sampai di rumah. Jalan mulai terang oleh pendar cahaya lampu, sedangkan gedung-gedung mulai diselimuti kegelapan. Satu per satu nyala lampunya padam.
Hanya ada satu dua bilik terlihat masih terang. Mungkin ruangan para pekerja yang lembur malam. Di sini, dari ketinggian lantai tiga klinik Aisha, Athena merasa lebih nyaman. Padahal, suara kendaraan terdengar jelas. Ditambah lagi angin dingin terus bertiup dari arah Selatan. Ia sedikit menyesal tak membiasakan diri membawa jaket. Sekarang malah kedinginan.
Sejak pertama duduk di sini, ia terus teringat kata-kata menyakitkan El. Mungkin Sandrina benar, El juga benar. Ia adalah orang yang tidak berguna. Tak tahu diri sudah dianggap ada. Akan tetapi, Athena tak merasa bersalah. Menyuarakan pendapat itu bebas.
Bertahun-tahun lalu kebebasan pers diperjuangkan mati-matian. Bila sekarang sudah tak boleh, tak ada gunanya perjuangan berdarah-darah itu. Sama saja seperti dulu. Sedikit-sedikit penjara. Sedikit-sedikit pencemaran nama baik, melanggar hukum, dianggap satire, dianggap melawan, dan mudah sentimentil.
Athena sudah lama hidup dalam ketidaknyamanannya--lebih sering tertekan ketimbang bahagia. Sebenarnya, bahagia itu murah dan mudah. Dirinya saja yang belum beruntung mendapatkan kesempatan sehari dua hari untuk ikut merasakannya.
"Pa, kenapa sejak Papa pergi semua jadi berubah? Dunia kayak makin leluasa nyiksa Athena. Makin ke sini, semua makin nyakitin. Athena tahu Papa salah, bahkan luka hati Athena pun sebagian besar dari Papa, tapi rasanya gak kuat buat ngadepin karma buruk Papa."
Gadis itu menekuk lutut.
"Papa gak kepikiran buat balik dan jelasin gitu? Kenapa Papa ninggalin Athena? Kenapa Papa dulu berantem sama Mama? Kenapa Papa gak pernah peduli lagi setelahnya? Kalo Papa mau, Athena masih nungguin Papa."
Dulu, hidupnya bahagia. Pria yang dipanggil papa adalah tipe suami dan ayah paling sempurna sebelum ketahuan memiliki simpanan di mana-mana. Ia selalu memenuhi keinginan keluarga tanpa tedeng aling-aling. Menyediakan semua bahan makanan tanpa harus tarik urat terlebih dahulu. Apa yang Athena mau dibelikan. Tiap sore hari, mereka keliling komplek, naik motor bertiga.
Keluarga Athena mulanya adalah keluarga bahagia sebelum fakta itu terkuak. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi. Athena tumbuh dalam rumah neraka. Tak ada yang peduli. Ia menangis ketakutan saat mereka saling membanting barang. Tak ada yang mendengar. Pertengkaran reda, tangis Athena masih tersisa. Ia meringkuk ketakutan hingga tertidur tanpa sadar. Selalu seperti itu setiap harinya.
Sekarang, mamanya melampiaskan segalanya pada Athena hanya karena gadis itu mirip sang papa. Bagi mama, keseluruhan papa menurun pada gadis itu. Meski tidak melakukan hal buruk, Athena pun tetap tertuduh. Di beberapa kesempatan, Athena masih punya kekuatan. Namun, sampai kapan memiliki alasan untuk bertahan?
"Athena! Lo di sini ternyata," ucap seseorang.
Athena menoleh, dia menemukan Gabriel berdiri di sana dengan raut wajah khawatir.
"Gue kira lo mau bunuh diri, " desahnya lega.
"Lo ngapain di sini?" Nada suara Athena terdengar ketus.
Kekeh geli menguar di udara. "Ini klinik Papi gue. Kenapa emangnya?"
"Oh."
Tanpa berminat melanjutkan pembicaraan, Athena kembali menikmati suasana malam. Ia tak peduli pada kehadiran Gabriel. Lagipula, mereka tidak sedekat itu sampai harus banyak basa-basi.
"Gloria nelepon berkali-kali. Dia khawatir sama lo. Semua orang nyariin lo tadi, termasuk Pak Arya!" kata Gabriel sambil duduk dekat gadis itu.
Saat melongok ke bawah, rasa ngeri yang tak tertahan memaksa Gabriel kembali berbalik badan.
"Gue tahu."
"Kenapa gak angkat?"
"Kenapa harus angkat? Tenaga gue gak dibutuhin di sana. Gue juga tahu jalan pulang ke mana."
Ada nada kecewa terkandung di sana. Padahal Athena suka terlibat dalam acara seperti itu. Ia merasa berguna bisa menyumbangkan tenaga. Walau saat ditawari menjadi ketua panitia, Athena langsung menolak. Dia tak ingin ongkang-ongkang kaki melihat kerjaan pada temannya yang lain. Athena lebih suka turun langsung, terlibat dengan mereka.
Meski bekerja sendiri, gadis itu suka dengan kesibukan. Ia suka hilir mudik membawa barang atau minuman. Mengecek sana dan memerhatikan sudut-sudut penting. Sampai akhirnya, Pak Arya tahu Athena bisa diandalkan dalam segala bidang.
Namun, El bilang dirinya tak boleh ikut campur. Kacung harus tahu diri akan posisinya. Kata-kata itu lumayan menyakiti hati. Athena suka merendahkan diri, tapi orang lain tak berhak merendahkan dirinya. Lantas untuk apa Athena terus berada di sana bila diperlakukan seperti itu?
"Lo salah, Na. Semua orang butuh kehadiran lo di sana. Cuma lo yang mau repot-repot ngerjain semuanya tanpa ngeluh," gumam Gabriel.
"Gak usah lebay, masih ada yang lain. Gue gak mau terlibat dalam acara apapun lagi!" sergah Athena tegas.
"Na!" Gabriel memelas. "Panggung terpaksa cancel karena dekor belum siap. Kalau lo gak ada, kami gimana?"
"Ada banyak siswa di SMA Pelita Bangsa. Ratusan, tinggal milih siapa yang jadi kacung selanjutnya."
"Jangan ngomong kayak gitu. Gue gak suka!" protes Gabriel.
Athena tersenyum masam. Ia tak suka diperhatikan seperti ini. Gabriel hanyalah orang asing. Dia tak berhak sama sekali menaruh perhatian pada dirinya.
"Gue lebih gak suka lo ikut campur terlalu jauh!" Mimik wajah Athena mengeras. "Stop bertingkah seolah lo dekat sama gue."
"Acara bisa gagal, Na!" Gabriel tak ingin menyerah.
Gadis itu menggeleng beberapa kali. "Gue gak suka dipaksa. Apalagi, ini udah menyangkut perasaan seseorang. Mungkin lo terbiasa mengabaikan itu, tapi gue menghargai diri sendiri. So, terserah acara itu terlaksana atau gak. Bukan urusan gue, lagi!"
"Di saat kayak gini lo masih bisa egois ternyata."
"Why not?" Athena mengangkat kedua alisnya. "This is my life, and I have the right to choose what I want. Kita gak sedekat itu, sampai lo bisa ngatur gue. Gab, masalah sekolah, itu urusan semua orang. Bukan gue doang. Kepala sekolah juga gak bakalan ngeluarin gue gara-gara masalah itu. Emang gue yang salah? Bukan, kan? Udahlah, berisik lo."
Athena bangkit dan melempar selembar kertas yang diambil dalam tas. Untung Gabriel dapat menangkap dengan sigap. Ia hanya bisa pasrah menatap kepergian gadis itu. Niat awalnya ke sini adalah mencari ketenangan. Sama seperti yang Athena lakukan.
Saat menemukan keberadaan orang yang dirinya cari di sini, Gabriel langsung kegirangan. Ia sudah berniat akan berusaha dan percaya diri bisa membujuk gadis itu. Sayang, tingkat keras kepala Athena sudah akut. Tak bisa ditentang karena Athena sendiri adalah penentang. Bukannya berhasil, malah ditinggal begitu saja setelah berselisih paham. Masalah menjadi semakin runyam sekarang.
Gabriel membuka lembaran yang sudah diremas-remas. Ada gambar panggung berikut dekorasi yang terlihat indah dan elegan. Yang paling Gabriel suka, background panggung ditulis harus menggunakan kain hitam dan dipadu dengan kain batik parang warna cokelat keemasan. Tiap-tiap hiasan diberi kisaran harga agar bisa dihitung berapa pengeluaran mereka untuk panggung.
Di sudut kertas, terdapat nama Athena sebagai pendekor. Gabriel tersenyum kecil. Gadis itu rupanya mempunyai banyak bakat. Terlepas dari rasa sakit hati, ternyata dia masih pula menyisihkan sedikit ruang untuk tanggung jawab.
Padahal, dekorasi bukan urusannya. Namun, Athena mau bersusah payah membuatkannya. Demi menghargai jerih payah gadis itu, besok Gabriel akan membawa kertas ini ke sekolah. Mereka, terutama Pak Arya harus melihatnya.
"Andai gue tahu lo lebih dalam, Na. Pasti gue bakal ngehibur sampai senyum lo balik," gumam Gabriel tanpa sadar. "Sayangnya, lo sangat tertutup. You're close, but far at the same time. Ramah, tapi ada lingkup tak kasat yang jadi batas."
💕
Pergi dari tempat tadi adalah pilihan terbaik. Athena berjalan kaki menyusuri jalan pulang. Tak ada niat naik angkot atau ojek. Ia berharap pikirannya tenang dengan mendengar deru kendaraan. Meski matanya harus memicing beberapa kali, saat lampu-lampu mobil dan motor tak sengaja menyorotnya.
Ada sedikit harapan terselip agar Sandrina tak ada di rumah. Ia ingin beristirahat dengan tenang dan tak mau diganggu siapapun. Usai pertengkaran tadi, Athena merasa lelah. Seharian ini tenaganya terkuras hanya untuk sebuah perdebatan. Air matanya menetes di pipi. Wajahnya dibelai angin malam semakin dingin. Mungkin akan segera turun hujan.
"God, please! I'm wiped out!" lirihnya sambil membungkuk. "Capek! Athena gak tahu kenapa, tapi hati Athena rasanya capek banget!"
Ia mengusap air mata lalu kembali berjalan. Dua tangan digunakan untuk mendekap badan. Rasanya lebih nyaman. Athena sangat mengidamkan sebuah pelukan hangat saat sedang down seperti ini.
Akan tetapi, ia juga takut jangka waktu kehangatan yang didapat suatu saat terlalu pendek. Belum sempat bersyukur, Athena malah akan kembali sendirian. Semesta selalu membuat siapa saja yang peduli padanya pergi, meninggalkan tanpa mau berjanji untuk kembali.
Satu-satunya harapan adalah Gloria. Sahabat yang dulunya selalu ditolak Athena selalu ada di sisinya. Meskipun begitu, ia tetap menutup diri. Dia tidak ingin seorang pun tahu luka yang sudah menyebar hingga ke sendi.
"Boleh putus asa gak, sih?" bisik Athena sebelum membuka pintu.
Ia sedikit lega. Harapannya terkabul. Saat tiba di rumah pukul sembilan malam, selembar kertas menyambutnya di pintu kamar. Sandrina pergi ke rumah saudara yang sakit. Ia menelan ludah yang terasa pahit. Anaknya sendiri terlantar. Giliran orang lain saja dipedulikan.
Terkadang, kata-kata Sandrina sangat manis. Hal itu terjadi saat amarahnya sudah reda. Akan tetapi, satu pun kata maaf tak pernah terdengar. Seolah perlakuan kasar memang pantas didapatkan oleh putri dari seorang pria yang dibenci.
Semacam pelampiasan kekesalan sebab wajah mereka mirip. Mungkin bagi Sandrina, Tuhan memberikan anak melalui rahimnya untuk dimaki dan dijadikan sasaran kala sedang bermasalah. Kasih sayang dan cinta hanya omong kosong belaka. Yang penting, anaknya bisa makan tiga kali sehari biar tak mati
Athena tersenyum kecut. "Mama anggap Athena anak nggak, sih? Kenapa kayak gitu terus? Athena sampai nggak bisa bersikap manis lagi di depan Mama," gumam Athena sakit.
Apa Tuhan sedang menghukum dirinya karena kesalahan di masa lalu? Kesalahan para orang tua sebelum dirinya ada mungkin sangat fatal. Bisa saja tidak terampuni lagi.
Ketika mereka meninggal tanpa sempat mencecap karma, Athena adalah pilihan terbaik sebagai sebagai pewaris hukuman. Sekarang hidupnya berjalan monoton. Tak ada yang menyayanginya layaknya seorang ibu pada anak, tante pada ponakan, sepupu pada sepupu lain, atau nenek pada cucu.
Athena masuk ke kamar dan melewati makan malam dengan tangisan. Ia tak cukup tegar seperti kisah para permaisuri yang kerap terkena fitnah dari para selir dan menteri.
Ini saja sudah cukup berat untuk dihadapi. Athena tak layak mengatasnamakan keikhlasan saat hidup terombang-ambing lalu keluhan sering kali terdengar. Tak seperti para Nabi yang selalu tabah, Athena lebih memilih tak ingin hidup andai bisa. Sayang, opsi bunuh diri tak ada yang bagus.
Hidup segan, mati pun enggan. Akhirnya, ia selalu mengutuk hari kelahirannya. Bisa jadi, neraka sedang panas membara dengan api abadi yang selalu menyala, sebuah tangis pecah dari mulut kecil Athena yang baru terlahir ke dunia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments