Mau tak mau, suka tak suka, terima tak terima, Arya tetap mengadakan pemanggilan setelah Magrib. Mana bisa ia diam saja sebagai guru penanggung jawab di acara ini. Bisa-bisa dirinya tak bisa tidur dengan lelap nanti malam. Jadi, meski tidak disetujui, Arya harus bergerak sendiri.
Panggung sudah selesai didekorasi dengan sempurna. Sisanya diserahkan pada mereka hendak diapakan. Asal tangan-tangan itu masih bisa bekerja, bebas saja. Toh, panitia bagian konsumsi masih sibuk dengan masakan mereka, dibantu beberapa guru pria dan wanita. Belum waktunya pulang. Mau istirahat boleh, kerja juga boleh.
Ini adalah saat yang tepat bagi Arya, untuk menuntaskan masalah antara El dan Athena. Di warung sederhana depan sekolah, mereka bertiga duduk diam tak bersuara. Athena memasang wajah kecut, sedikit kecewa Arya tak mendengarkan dirinya. Ia tak berharap segala hal tentangnya dipedulikan terlalu dalam.
Makanya Athena tak mau menatap mereka. Ia lelah, ingin pulang, dan beristirahat. Akan tetapi, hatinya melarang. Ia masih ingin membantu apa saja agar kerjaan teman-temannya menjadi ringan. Bukannya ada di sana, Arya malah minta bertemu di sini. Athena mengembuskan napas panjang, baginya pemanggilan ini sungguh merepotkan.
"Athena!" panggil Arya lembut. "Saya minta maaf tetap ngadain pertemuan ini. Bukannya saya gak dengerin kamu, but the incident earlier can no longer be tolerated."
Melihat mata Arya yang teduh, hati Athena sedikit nyeri. Pandangan pria itu dengan Hendrawan hampir sama. Tenang dan membuat dirinya nyaman.
"Bapak gak perlu minta maaf, saya gak layak nerima itu. Insiden tadi udah lewat, kaki saya juga udah mendingan," ujar Athena pelan.
"Sebagai guru dan orang yang maksa kamu bergabung, saya gak bakal bisa tidur sebelum semuanya selesai!" tegas Arya tak ingin dibantah lagi.
"Even though it's already done," gumam Athena pasrah.
El mengabaikan pembicaraan di depan mata. Ia fokus pada aura di sekitar Athena yang selalu terlihat kelabu, sekalipun sedang tersenyum atau tertawa. Gadis itu seolah tenggelam dalam suatu kesakitan, tapi sama sekali tak ingin bangkit melawan.
Hidup suram seperti itu, apakah tidak membuat Athena terganggu? Cowok itu sedikit penasaran dengannya. Namun, tiba-tiba matanya melihat sebuah lebam di tangan gadis itu. Tak besar, tapi cukup jelas berwarna merah kehitaman, beberapa bagian terlihat membiru.
Pada akhirnya, rasa bersalah menggumpal dalam dada. Walaupun gadis itu biasa saja. Jangankan marah, peduli pun tidak mau. Hanya karena iri tak dipuji oleh anggota, El sampai ceroboh dan membuat Athena terluka.
"El, saya heran sama kamu. Sebenarnya ada masalah apa antara kalian berdua sampai kayak gini?" Arya menatap tak habis pikir.
"Maaf, Pak," jawab El pelan. "This is purely my fault."
"Iya, saya tahu ini kesalahan kamu, tapi kenapa bikin Athena celaka? Dia itu cewek, loh. Masa kamu naruh perhitungan sama dia? Kalo ada masalah selesaikan semuanya di sini. Mumpung ada saya!"
"Salah saya yang lambat ngerjain dekor, hasilnya emang bagus, tapi lebih cocok buat panggung ulang tahun anak-anak. Saya malah bentak Athena pas dia ngomong begitu," aku El.
Mendengar namanya disebut Athena sedikit terperanjat. Dirinya sungguh kecewa pada pengakuan El. Masalah kemarin harusnya sudah selesai. Tidak perlu dibawa-bawa atau diungkit lagi. Kebiasaan manusia memang unik. Pihak terluka sudah memaafkan, malah pihak lain yang tidak terima.
"Terus kamu bikin dia jatuh dari tangga?" kejar Arya lagi.
El menggeleng. "Saya marah karena dekorasi Athena dipuji. Terus, anggota panitia lain juga lebih mengutamakan kehadiran dia daripada saya. Niatnya tadi cuma mau bicara sama Athena, tapi saya malah narik kaki dia."
Tanpa sadar El bernapas lega setelah membeberkan semua perihal masalah mereka. Ia akui semua yang terjadi tadi adalah hasil dari kecerobohan dirinya. Athena tidak bersalah. Sangat baik malah, tapi gadis introvert itu malah terluka, baik hati, maupun raga.
Arya mengembuskan napas berat sembari melirik Athena dua kali, alih-alih senang karena El sudah mengaku gadis itu terlihat melamun dengan tatapan kosong.
"El, saya sengaja masukin Athena ke tim bukan nyuruh kalian bersaing, tapi atas permintaan anak-anak. Mereka suka lihat Athena mau kerja tanpa nyuruh-nyuruh. Saya bisa lihat potensi dalam diri Athena sekali pun Gloria udah bilang dia gak suka kerja dengan tim," pungkas Arya panjang kali lebar.
"Maaf, Pak. Saya janji akan lebih berbaur lagi dengan anggota saya."
"Semua orang juga tahu bakat Athena. Dia itu fleksibel. Seperti zat cair, gak masalah diletakkan di mana aja. Dia bisa melakukan semuanya dan suka terlibat di dalam suatu acara."
Cowok itu merasa tersindir. Ia mengakui dirinya selalu tidak mau turun langsung dalam acara apapun, karena tugas ketua baginya adalah mengontrol saja seperti mandor. Bukan melakukan pekerjaan sampai harus berkotor-kotor.
"Sekarang semuanya udah jelas, saya mau ke dalam dulu bantuin guru yang lain. Kalian berdua harus saling minta maaf, saya gak suka anak-anak saya bermusuhan kayak gini. Berasa gagal jadi guru," guyon Arya garing.
Athena tersenyum saat tangan besar nan hangat itu hinggap di kepalanya, dan memberikan elusan lembut di sana. Hangat. Nyaman. Namun, lumayan menggelikan, sebab sisi lain dari Athena menolaknya.
Menit demi menit terbuang percuma. Dua murid yang sempat berseteru ringan itu sama-sama enggan buka suara. Athena mengeluh dalam hati, seharusnya dia tidak ada keperluan lagi dengan El, sampai harus duduk menunggu. Ia segera memakai tas punggungnya lalu bangkit hendak pergi dari sana. Dirinya terlampau malas bicara.
"Athena, wait!" cegah El spontan.
"Ya?"
"Lo ... mau ke mana?"
"Pulang."
Entah dorongan dari mana El berdiri di samping gadis itu dan menggenggam lembut jemarinya. "Ayo, gue anterin aja. Gak ada angkot lagi jam segini, udah jam sebelas," alibinya.
Dengan lembut pula, Athena melepas tautan tangan mereka. Ia tersenyum tipis dan menggeleng. "Angkot langganan gue masih ada jam segini, dan gue bisa jalan kaki," tolak Athena terang-terangan.
"Na, gue tahu lo marah." El terlihat sedih. "Tapi, kaki lo luka karena gue. Izinin gue nebus kesalahan itu biar nanti bisa tidur, ya?"
"Gak usah. Gue gak mikirin lagi soal tadi. Mending lo balik aja ke sekolah, gue capek dan ggak bisa bantu lebih banyak lagi."
Athena segera melangkah pelan keluar dari warung. Semua memang sudah selesai malam ini, seperti harapan Arya. Namun, sebelum benar-benar jauh, tubuhnya kembali tertarik lembut ke belakang mengikuti langkah ketua panitia dekorasi itu.
"Gue maksa, Athena."
💕
Malam ini, Athena pulang diantar El. Sudah menolak, tapi dipaksa. Mau berdebat pun tak ada tenaga. Sepanjang perjalanan, tak ada yang berniat mengeluarkan suara. Hanya ada deru angin mengisi keheningan, saat motor itu semakin melaju kencang.
Setibanya di rumah, gadis itu turun dan mengembalikan helm milik El. Ini kali pertama ada seseorang datang ke mari setelah sekian lama. Gloria saja belum pernah. Maka dari itu, sebagai tuan rumah yang baik, ia menawarkan El untuk mampir. Harap-harap ditolak, eh, tak disangka ternyata El menerima dengan senang hati.
"Duduk dulu. Gue buatin minuman hangat."
Athena melepas tas punggung lalu meletakkan di atas sofa. Dia mengambil saputangan dan menutup foto keluarganya yang berukuran tak seberapa.
El tak terlalu peduli pada perkataan Athena. Ia takjub karena baru kali pertama datang ke rumah gadis itu. Otak kecilnya yakin, dirinya adalah orang pertama yang menginjakkan kaki di sini, di rumah gadis misterius dengan segudang bakat meski tak ingin terlihat.
Rumah Athena sederhana, tapi sangat nyaman untuk ditinggali. Ada beberapa pigura foto dipajang di sana. Beberapa ditutupi saputangan. Saat bangkit ingin melihat, Athena datang membawa secangkir teh hangat. El mengurungkan niat dan memilih bertanya pada si empunya rumah saja.
"Itu." El menunjuk ke foto yang ditutup. "Foto apa?"
"Foto keluarga," jawab Athena sekenanya.
"Kenapa ditutupin?"
"Percuma juga. Mau gue copot, tapi bingung nanti simpan di mana, ya udah, tutup aja."
Teh yang seharusnya hangat, mendadak seperti mengandung duri, menusuk tenggorokan El hingga tak mampu berbicara. Napasnya tercekat. Ia tahu apa maksud dari setiap kalimat yang dituturkan oleh Athena. Lagi-lagi, dia merasa bersalah karena mengorek luka lama gadis itu.
"Na, gue minta maaf atas sikap kekanakan gue hari ini. Maaf karena udah bikin hati dan juga kaki lo terluka," ucap El sungguh-sungguh.
"No problem. Jangan minta maaf, karena gue nak layak buat nerima itu."
"Lo selalu bilang gak layak, kata siapa? Lo layak, Na. Ini semua emang kesalahan gue."
"El." Athena menatap lelah. "Gue udah maafin dan udah nutup mata sama kejadian tadi, kenapa harus diungkit terus, sih?"
Sontak saja El bungkam. Perasaannya mendadak sedih melihat Athena seperti itu. Entah kenapa, seolah ia sedang melihat sekian persen luka sebenarnya yang Athena simpan sendiri. Tak mau dibagi meski seujung duri.
"Gue cuma mau minta maaf aja, Na. Maaf, bikin lo gak nyaman," gumam El.
"El yang gue kenal gak kayak gini. Jangan bersikap begitu lagi depan teman-teman yang lain. Gue gak pantas diistimewain!" bisik Athena perih. "Gue capek, mau istirahat."
Meski tak rela meninggalkan Athena sendiri, El tetap bangkit dan pamit. Tak baik juga laki-laki bertamu di rumah perempuan malam-malam. Namun, meskipun begitu ia tak segera pergi dari sana, melainkan duduk diam atas motor memikirkan sikapnya.
"Gue kenapa? Athena kenapa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments