Athena terus menangis dalam posisi berjongkok dalam waktu lama. Menginjak menit ke lima belas, isakan itu mereda. Dia mengangkat wajahnya, hingga membuat Gloria nyaris meringis melihat mata bengkak Athena.
Sahabatnya itu langsung berdiri. Rambutnya yang kusut kembali dibenahi. Setelah itu, dia berangsur-angsur tenang dan menarik napas dalam-dalam. Tanpa sadar, Gloria ikut mengambil napas panjang.
Pergelangan tangan Gloria memerah sebab tak sengaja dicengkeramnya karena bimbang. Sekarang dia merasa gamang.
Mereka terjebak dalam kebisuan, hingga membuat seseorang yang bersembunyi di balik tembok merasa tak nyaman. Menurutnya, aura Athena semakin kelam.
Sejak gadis itu mulai kacau, cowok itu sudah berada di sana. Padahal, awalnya dia berniat membantu Gloria membawa Athena ke unit kesehatan sekolah.
Barangkali, Athena mengalami vertigo atau merasa tidak sehat, begitu pikirnya. Akan tetapi, melihat penolakan yang diterima Gloria yang notabene adalah sahabat Athena, dia pun jadi ragu.
"Ath-Athena, lo gak apa-apa?" cicit Gloria takut.
"Gak. Maaf, kalau gue bikin lo khawatir." Athena menjawab singkat, matanya kosong menatap lurus.
"Gue bisa antar lo pulang, lo gak usah ikut kerja, nanti biar gue aja yang atur. Kayaknya, lo butuh istirahat lebih banyak hari ini."
"Gue gak selemah itu. Gue masih bisa ngelakuin apapun sendirian. Lagian, gue baik-baik aja. Gara-gara barusan, lo jadi ngeremehin gue, gitu?" Suara Athena mulai meninggi.
Setiap mengalami stress, emosi Athena jadi tidak stabil. Ia akan memarahi siapa saja yang berbicara dengan dirinya. Athena tak peduli, apakah itu orang tua atau remaja seumuran dirinya.
Ini bukan pertama kali Athena bersikap aneh. Sebagai sahabat, Gloria selalu berusaha mengerti walau tetap terkejut ketika mengalaminya berulang kali. Dia hanya bisa mengangguk maklum dan meminta maaf atas sikapnya yang membuat Athena tersinggung.
"Kalau gitu, kita ke ruangan Pak Arya sekarang," putus Gloria, sembari menyugar rambut sebahunya.
Athena mengangguk kecil. Dia berjalan bersisian dengan Gloria, untuk meninggalkan tempat di mana dirinya sempat hilang kendali. Embusan napas kasar dikeluarkan berkali-kali.
Semakin lama, kontrol dirinya semakin mudah terlepas. Mungkin benar, Athena butuh mengunjungi psikolog atau psikiater.
Namun, uangnya masih belum cukup dan pasti tidak akan cukup, karena sering dipakai ketika keadaan terdesak. Seperti membeli beberapa bahan yang dibutuhkan saat belajar, butuh buku ataupun memberikan sumbangan.
"Akhirnya kalian datang juga. Ke mana aja, sih? Lama banget, udah Bapak tunggu dari satu setengah jam yang lalu juga!" cerocos Arya saat keluar dari ruangan dan mendapati murid-murid kepercayaannya. Satu persatu, ia menyambut uluran tangan muridnya. "Athena, tangan kamu dingin. Mata kamu juga sembab. Kamu sakit?" tanyanya perhatian.
"Saya baik-baik aja, Pak. Mungkin efek baju saya yang kurang tebal. Jadi, saya agak kedinginan," elak gadis itu sambil menunduk.
"Kamu yakin baik-baik aja? Kita akan kerja sampai malam. Kalau kamu sakit mending pulang aja istirahat, pasti yang lain maklum," saran guru seni itu.
Hampir saja Athena mengumpat kesal, bila tidak ingat siapa pria di depannya. Terlalu banyak bicara hanya akan membuat Athena pusing.
Gloria sendiri memilih diam karena takut salah bicara, selama tidak ditanyai Arya. Ia juga sempat melihat Athena memejamkan mata erat-erat pertanda mulai kesal.
"Ya udah, nanti kalau ngerasain pusing atau apa, bilang sama Bapak, ya? Soalnya tugas kamu lumayan berat." Guru seni itu menghitung lembaran yang ada di tangan. "Ini naskah yang baru aja Bapak copy. Tolong, kamu bagikan ke teman-teman ekskul drama."
"Iya, Pak. Ada lagi?"
"Lembaran terakhir coba liat dulu. Itu tugas kamu."
Athena membalikkan tumpukan kertas lalu mengambil yang paling terakhir. Benar, tugasnya cukup banyak. Tugas pertama, mengecek kostum yang akan dipakai anak-anak tarian, drama, penyanyi, dan musikalisasi puisi.
Dengan tugas sebanyak ini, mungkin tidak akan menjadi masalah selama Athena bekerja sendiri. Untuk yang lainnya, masing-masing sudah dibuat tim.
"Saya pamit, Pak. Mau antar skrip ini ke anak-anak drama." Athena membungkuk sopan diikuti Gloria.
"Na, siniin kertasnya! Gue bantu antar ke ruang drama. Biar lo bisa kerjain tugas yang lainnya," tawar Gloria.
"Makasih, gue ke tempat penyimpanan kostum dulu!"
Setumpuk kertas itu sudah berpindah tangan. Athena melenggang pergi begitu saja meninggalkan Gloria.
"Gue gak ngerti lo kenapa, Na. Padahal, gue udah jadi sahabat lo lumayan lama," gumam Gloria lirih.
"Dia misterius, kan?" tanya seseorang di sampingnya.
Gloria terlonjak kaget. Ia segera mendekap tumpukan skrip drama yang telah di klip agar tidak jatuh, dengan cara mendekapnya di dada.
Matanya menatap nyalang pada si tersangka. Seperti buaya saja. Datang tak diundang, pulang-pulang meninggalkan wajah menyebalkan.
"Lo ngapain, sih, hah?" gertak Gloria kesal.
Gabriel sadar dirinya dalam bahaya. Ia cepat-cepat menyatukan kedua tangan di depan dadanya sebelum terkena amukan macan betina.
"Maaf, maaf. Gue salah, ngagetin lo."
Gadis itu mendengkus. "Iya, gak papa. Kertasnya belum jatuh juga."
Gabriel menghela napas lega lega. Ia kira akan dimarahi. Ternyata masih diampuni. Mereka melanjutkan obrolan sambil berjalan.
"Gue penasaran, deh, sama Athena. Kenapa dia misterius kayak gitu?" tanyanya.
"Gak juga, dia sebenarnya baik. Cuma kadang aneh aja kayak tadi," jawab Gloria tanpa ragu.
"Baik itu basic setiap orang, Glo. Gue yakin, nih, ya. Sekalipun lo sahabatan sama dia, nggak ada yang lo tahu tentang Athena. Selain namanya dan, ya, wujud dia."
"Iya juga, sih. Gue nggak berani banyak nanya sama dia. About anything, especially home and family. Takut Athena marah."
"Emang dia pemarah?"
Gloria menatap Gabriel penuh selidik dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Kepo banget, sih. Lo suka sama Athena?" tembak Gloria langsung.
Wajah Gabriel memerah menahan malu. Ia menggaruk tengkuk dan telinganya yang tak gatal. Dia membatalkan niatnya untuk mengorek soal Athena.
Sementara itu, Gloria menaruh curiga. Ia tidak menuntut jawaban atas pertanyaannya. Gelagat aneh Gabriel lebih dari cukup.
"Just a little interested," aku Gabriel jujur.
"Kalau gitu, nih, sekalian bawain kertas ini ke ruang anak-anak drama. Tadinya tugas Athena, tapi kayaknya lo bisa bantu. Hitung-hitung, pedekate sama kertas dulu sebelum sama Athena," ujar Gloria sambil mengedipkan mata sebelah.
Ia segera pergi dengan tawa menggelegar meninggalkan Gabriel yang sedang melongo. "Dapat informasi kagak, beban iya," gumamnya dongkol.
...🍁...
Athena sudah sampai di ruang OSIS. Tugas penting lain sudah dikerjakan beberapa saat Arya menemuinya dan memberi tugas untuk menjumpai sang ketua dekorasi. Akhirnya, ia kembali ke sini demi menanyakan pekerjaan dekorasi panggung kepada murid kesayangan Arya yang lain, yakni El Hafiz.
Sejak dulu, Athena jarang berinteraksi dengan cowok itu. Ia merasa agak risih saja sebab El sering kedapatan menatap Athena terlalu lekat. Saat Athena menoleh ke arahnya, dia malah pura-pura tak melihat. Hal semacam itu cukup menyebalkan menurutnya.
"Pak Arya nyuruh gue nanyain soal dekor," kata Athena tanpa basa-basi.
Cowok itu melirik sekilas. Jemarinya mengetik sesuatu, lalu mengarahkan laptop bergambar apel digigit sebelah pada Athena. Ada beberapa bentuk dekorasi panggung di sana. Entah di download dari situs internet atau justru buatan El sendiri, Athena tidak peduli pada sumbernya.
Dekorasi pertama tampak terlalu meriah. Balon ada di mana-mana, pita besar tergantung di tengah, dan spanduk belakang panggung berwarna-warni macam pelangi. Athena mengernyitkan dahi, dikira ini ulang tahun anak TK apa?
Dekorasi kedua dan ketiga juga tak jauh berbeda. Tak ada yang memenuhi syarat sederhana dan elegan seperti bayangan Athena. El merupakan sedikit daripada populasi yang bisa membuat dekorasi indah di Pelita Bangsa.
Namun, entah kenapa, kali ini pekerjaannya hancur seperti ini. Athena menggeleng tak percaya. Lalu, sore ini mereka harus melakukan apa?
"Kenapa?" El menatap tak suka pada reaksi Athena.
"Lo ngapain aja sejak rapat bulan lalu? Dekor macam apa ini? Bling-bling kayak ulang tahun balita." Tanpa ragu Athena menyuarakan pendapatnya.
Mata El melebar diberi komentar seperti itu. Padahal, menurut El, dekorasi ini sudah sangat bagus. Ia rela bergadang demi mengerjakan sesempurna mungkin.
Seharusnya gadis itu memuji, bukan malah meremehkan. Yah, walaupun hatinya sedikit mengakui kalau dekorasi ini dikerjakan secara terburu-buru karena kemarin-kemarin El tidak sempat membuatkan.
"Lo gak bisa ngehargain karya orang sedikit, ya? Gue tau lo anti sosial, tapi gak bisa seenaknya sama orang kayak begini, dong!" ucap El kesal.
"Gak usah bawa-bawa anti sosial. Gue gak bangga disebut kayak gitu," balas Athena dengan suara datar. "Faktanya, kerjaan lo begini. Mau lo kumpulin orang sepadang rumput juga sama aja jawabannya. Gue yakin itu."
"You shouldn't have commented like that!"
"Terus ngapain juga lo tunjukin ini ke gue, kalo gue gak boleh komentar apapun?" desis Athena. "Smart people can accept any criticism. Mata lo buta sampai gak bisa liat kerjaan amatir kayak gini?"
Emosi Athena sedang tidak labil. Dibentak seperti itu tentu semakin memperparah suasana hatinya. Akan tetapi, El juga sedang pusing sendiri. Mereka sama-sama sedang dalam kondisi mudah meledak.
"Ini orang gak sadar diri, ya. Eh, lo itu cuma kacung! Tahu diri sedikit, dong, jadi manusia. Udah gak bisa bergaul sama orang, gak bisa menghargai pula."
'Harusnya kamu tau diri!'
Perkataan mamanya kembali diucap ulang oleh El. Mata Athena memanas. Diikuti darah yang juga bergejolak.
"Udahlah, gak suka gue satu kerja sama cewek kayak gini!" Suara El tetap meninggi.
"Gue juga gak sudi!"
Athena melangkah ke luar dari ruang OSIS dengan emosi menguasai dirinya. Ia bahkan menabrak bahu Gabriel yang berdiri di pintu karena menghalangi jalan.
Beberapa orang berbisik-bisik tak jelas, mereka sempat menonton pertengkaran dua orang itu barusan. Mereka terkesima sekaligus heran. Hanya karena masalah kecil saja dua El dan Athena sampai bersitegang.
Gabriel mengusap wajahnya dengan geram. El dan Athena sama-sama manusia bersumbu pendek. Sudahlah sama-sama merasa tak cocok, saling senggol sedikit auto bacok.
"Na, lo mau ke mana?!" cegah Gloria.
"Mau pergi. Ngapain gue di sini? Buang-buang waktu," sinis Athena.
"Just get out of here, Damn Girl!" teriak El kesal.
Sekarang Gloria paham, kenapa Athena bisa semarah itu. Sudah dia duga dari awal, kalau gadis itu tak akan bisa bekerja dengan tim. Akan tetapi, Arya bersikeras. Alasannya, agar Athena terbiasa.
Sekarang lihat saja akibatnya. Ia pergi begitu saja tanpa mau menoleh ke belakang lagi. Menjawab pertanyaan Gloria saja suaranya terdengar sinis.
Gloria menjadi serba salah, mau menyalahkan guru takut dicap murid durhaka, diam saja malah berakibat fatal bagi semuanya. Tanpa banyak cakap, Gloria mengejar Athena dan menariknya masuk ke ruang OSIS.
"Ngapain, sih?" Athena memberontak.
"El, ada masalah apa?" Gloria masuk ke ruang OSIS dengan wajah tak habis pikir.
"Gue gak suka kacung kayak gitu, berani rendahin dekorasi yang udah capek-capek gue buat," jawab El datar.
Gadis itu membuang muka. "Kacung? Lo bilang kacung? Dia bisa dan mau ngelakuin apapun karena dia pengen, El. Bahkan, dia gak nolak waktu Pak Arya nulis namanya tanpa nanya Athena mau apa gak."
"Terus, dia kerja di bagian apa? Panitia apa dia? Nggak ada, kan? Harusnya tahu diri."
Andai El tahu perasaan Athena sangat sensitif, pasti dia tak akan berbicara lancang. Sekarang, semuanya menjadi berantakan. Gloria ingin sekali mencakar wajah cowok itu hingga kulitnya mengelupas, tapi takut menambah perkara lalu acaranya tak bisa diwujudkan sesuai rencana.
"Mana dekornya? Coba gue lihat!" tukas Gabriel menengahi.
Saat laptop itu menghadap dirinya, akhirnya Gabriel tahu penyebab keributan yang terjadi. Cowok itu meringis lalu menunjukkan pada Gloria.
"Pantesan Athena marah, orang blak-blakan gitu pasti ngomongnya jujur. Ini dekorasi buat ulang tahun anak TK, El!" komentar Gabriel.
"Lo apaan, sih? Gue udah bergadang semalaman buat ngerjain ini!" protes El tak terima.
"Childish." Gloria menatap prihatin pada siswa tersayang sang guru kesenian. Jauh-jauh hari sudah mendapat tugas, baru semalam dia kerjakan.
Athena spontan menggebrak meja. "Baru ngerjain semalam, lo bilang? Bangga banget lo kasih tahu kita, rela bergadang semalaman buat ngerjain tugas. Ngapain aja kemaren-kemaren, hah? Gue gak tahu isi pikiran lo apa, El. Tapi, lo nggak berhak marah ngatain gue kayak gitu, sedangkan kerjaan lo sebagai ketua aja gak becus!"
"Gue juga banyak kerjaan, lo pikir hidup gue berpusat di sekolahan doang?!" El melotot.
"Terus, lo pikir hidup gue juga hidup buat ngurusin sekolah? Selain jadi kacung di sekolah, gue juga jadi kacung di rumah. Ngerti, lo?" balas Athena murka.
"Sialan lo, ya?!" El bangkit, tapi langsung ditahan Gabriel.
"Biasa aja, dong, gak usah ngegas. Gue tahu lo orang sibuk, dan harusnya kalimat itu lo ucapin pas Pak Arya ngasih tanggung jawab ini. Bukan sekarang!" ucap Athena sambil menatap tajam.
"Udah, udah. Jangan ribut terus! Pusing gue dengernya. Glo, mending lo sama Athena ke anak-anak. Bilangin ada kendala atau apapun. Intinya, mereka ngertinya panggung nggak bisa didatangin hari ini. Gue juga bakal confirm ke tempat penyewaan biar nggak dikirim hari ini!" Gabriel mengakhiri pertengkaran itu. "Harusnya Athena, sih, yang ngurusin."
"Gue letakin tanggung jawab gue sekarang. Terserah, mau acara ini bakal jalan atau nggak. Itu bukan urusan gue lagi!" putus Athena sembari membanting kertas berisi tugas-tugasnya, lalu memiringkan kepalanya. "Kalau anak-anak tahu ketua panitia dekor kayak gini, gue nggak jamin reaksi mereka masih positif. Childish!"
Ia langsung ikut bersama Gloria untuk pergi menjumpai anggota panitia dekorasi lain dan membiarkan Gloria mengarahkan pekerjaan mereka.
Sepanjang perjalanan, Gloria sibuk mengeluhkan sikap mereka. Apabila ada satu orang dilahap emosi, yang lain pun sama. Bukannya menengahi atau mengalah sepihak, malah ikut-ikutan meledak.
"Gue pergi," ucap Athena.
"Na, bentar!" cegah Gloria, tapi gagal.
Ia hendak mengejar saat anak-anak kelas satu memanggilnya dengan nada gusar. "Kita bantu panitia lain dulu. Kalian bisa bantu goreng kerupuk atau nyiapin kotak snack, atau bersih-bersih, terserah. Panggung nggak bisa datang hari ini. Dekorasinya juga belum bisa dikerjain!" putus Gloria sembari meredam emosi.
"Bukannya hari ini panggungnya harus jadi, Kak?" tanya anak kelas satu yang menjadi bagian dari panitia dekorasi.
"Iya, tapi ada kendala dikit. Lagipula, masih ada sisa waktu besok. Semoga masih sempat buat kita ngerjain semuanya. Kalian gak keberatan buat ngebut, kan?"
"Apa boleh buat, mau gak mau harus mau."
Setelah semua sudah terorganisir, Gloria menghindari kerumunan untuk menghubungi Athena. Gadis itu langsung pergi tanpa memberitahu hendak ke mana. Ia khawatir pada kondisi sahabatnya. Entah, dia sudah pulang ke rumah atau malah mampir di mana. Setidaknya, Gloria bisa tenang bila sudah mendapatkan kabar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments