Perasaan Tak Nyaman

Di kamar Nindya yang sudah di hias bak pengantin baru, kedua pasutri tersebut masih terdiam tanpa percakapan apapun. Wajah lelah seharian menyambut tamu sudah terlihat dari keduanya.

Dafin yang sudah mengganti pakaiannya masih duduk di tepi ranjang mengecek ponselnya, sedangkan Nindya sejak tadi duduk di depan meja riasnya dan membersihkan sisa-sisa makeup yang masih menempel di wajahnya.

Malam ini, keduanya harus kembali tidur satu ranjang dan dalam siatusi yang benar-benar lebih canggung karena kamar mereka yang sudah hias seperti pengantin baru.

Keduanya sejak tadi tak membahas masalah pacar mereka yang tiba-tiba muncul di acara resepsi. Belum lagi tadi Nindya teringat karena terus diledek oleh Nina dan Wika yang datang dan terus menggodanya dengan menyebut ‘pengantin daebak' sambil menggelengkan kepalanya setelah Nindya menceritakan jika Fahri datang.

Grup whattsapnya yang hanya beranggotakan Wika, Nina dan dirinya juga sudah mulai ramai dengan obrolan yang membahas tentang Fahri. Jika mereka merasa kasihan pada nasib Fahri dan ingin membicarakan tentang dirinya yang tega, kenapa bukan di chat pribadi saja sih? Kan kalau begini dirinya makin merasa bersalah terus.

Nindya sudah malas membacanya karena hari ini terasa berat untuknya. Dan ia mengabaikan puluh pesan whattsapp yang terus masuk di ponselnya.

“Udah ngantuk?” tanya Dafin yang baru saja menyimpan ponselnya.

“Iya, mau di matiin lampunya?” tanya Nindya.

“Ya.”

Nindya mematikan lampu di kamarnya dan kemudian ikut naik ke ranjang dan merebahkan badannya yang terasa lelah di samping suaminya itu.

Beberapa menit keduanya sepertinya tampak gelisah karena Nindya dan Dafin terus bergantian mengganti posisi tidur mereka yang tak nyaman.

“Kamu belum tidur?” tanya Dafin akhirnya.

“Nggak bisa tidur.” jawab Nindya.

“Aku juga nggak bisa tidur.”

Entah sejak kapan Nindya menyadari jika Dafin sudah merubah panggilan ke dirinya menjadi “Aku” saat berbicara dengannya.

“Nindya ngerasa bersalah banget sama kak Fahri dan ngerasa berdosa juga terus jalani hubungan ini.”

Nindya memutar tubuhnya menghadap Dafin, sedangkan pria itu masih menatap langit-langit kamar Nindya yang saat ini hanya diterangi oleh lampu tumblr yang sebelumnya dipinta Nindya untuk tetap dipasang agar kamarnya tidak begitu gelap.

“Hari ini lihat kak Fahri bener-bener nekat datang dan salamin kita di pelaminan, Nindya masih ngerasa bersalah. Harusnya sejak awal sudah ambil keputusan buat akhiri hubungan sama dia.”

Dafin masih belum menanggapi curhatan dari istrinya, ia hanya mendengarkan apa yang ingin dikatakan Nindya dan semua perasaan yang dirasakannya.

“Mas Dafin tahu, sebelum acara resepsi ini Nindya udah minta pisah sama kak Fahri, tapi dia tetap masih mau bertahan karena tahu kita punya perjanjian selama tiga bulan.”

Kali ini Dafin memutar tubuhnya menghadap Nindya dan bisa melihat buliran air mata yang membasahi pipinya saat ini dan rasa sesak yang dirasakan wanita itu. Sebenarnya tak ada beda dengannya, namun iamasih bisa menahannya di dalam hati. Tapi wanita berbeda, merek hanya bisa menumpahkan air matanya saat merasakan sakit dihatinya.

Melihat Nindya yang sekarang ini menangis pilu, ia tiba-tiba memikirkan bagaimana dengan Tania saat ini? Apakah wanita itu juga sedang menangis malam ini? Ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan wanita itu yang mungkin benar-benar sudah jauh terluka karenanya.

“Sekarang masih banyak orang di luar. Jadi tolong jangan menangis, orang-orang akan curiga dan bertanya-tanya kalau besok lihat mata kamu bengkak,” ujar Dafin.

“Maaf.” Nindya menghapus air matanya.

“Sekarang kita tidur dan lupakan sejenak masalah yang ada.” Dafin membalikkan badannya menghadap ke depan mencoba untuk memejamkan matanya karena merasa benar-benar lelah.

Saat Dafin baru mencoba memejamkan matanya, tiba-tiba saja tangan Nindya sudah berada diperutnya dan badannya juga mendekat ke arahnya dan saat ini memeluknya.

“Maafin Nindya, kalau bukan karena permintaan Ayah waktu itu mungkin Mas Dafin sudah menikah dengan kak Tania. Nindya benar-benar minta maaf sudah buat hidup Mas Dafin sulit.”

Dafin hendak melepas tangan Nindya yang melingkar diperutnya, tapi mendengar permintaan maaf dari wanita malam ini membuat hatinya tak tega, ini bukan kali pertama wanita itu meminta maaf padanya.

“Ini bukan salah kamu, aku juga sudah setuju saat itu.”

“Tapi Mas Dafin terpaksa, kalau aja Mas Dafin nggak pulang mungkin pernikahan ini nggak terjadi.” Nindya menyembunyikan mukanya di lengan kiri Dafin dan membuat posisi pria itu menjadi sedikit tak nyaman.

“Semua sudah terjadi nggak bisa disesali. Mau sampai kapan kamu terus minta maaf?”

“Mungkin seumur hidup Nindya bakal ngerasa bersalah dan terus minta maaf sama Mas Dafin.” kata Nindya yang membuat Dafin langsung membalikkan badan ke arahnya dan menyentil keningnya.

“Jangan ngomong kayak gini.”

Nindya terdiam namun masih mencoba menyembunyikan wajahnya dari Dafin. Tangannya masih belum lepas melingkar di perut pria itu.

“Nindya kangen Ayah, dia yang menginginkan pernikahan ini tapi dia nggak bisa lihat kita berdua di pelaminan.” Nindya mengcengkram baju Dafin menahan tangisnya.

“Besok kita pergi ke makam.” Dafin mengelus punggung Nindya.

“Nindya berharap Ayah disamping Ibu ngedampingin di pelaminan dan kita foto bersama. Kenapa Tuhan cepet banget ngambil waktu Nindya bersama Ayah?”

Kali ini Dafin benar-benar tak bisa terpejam karena Nindya yang kembali menangis dan kali ini teringat Ayahnya. Beberapa hari mereka pulang ke rumah Nindya, wanita itu memang selalu terlihat sedih saat beberapa kerabatnya membahas Ayahnya dan mereka belum menyempatkan diri pergi berkunjung pergi ke makamnya.

Tak ada yang bisa Dafin katakan saat ini karena dia tahu Nindya masih selalu merasa sedih kehilangan Ayahnya yang memang paling dekat dengannya. Jadi Dafin hanya bisa memeluk wanita itu dan mengelus punggungnya untuk menenangkannya dan memang benar, setelah lelah menangis karena merasa rindu Ayahnya. Nindya langsung terlelap begitu saja dan Dafin melepaskan pelukannya.

Ia menatap wajah teduh Nindya yang saat ini terlelap disampingnya. Ia sedang memikirkan bagaimana jika kesepakatan mereka benar-benar berakhir nantinya, apakah wanita itu bisa hidup baik-baik saja?

Semakin dekat waktu kesepakatan mereka, makin Dafin merasakan ketakutan. Takut meninggalkan Nindya, takut merasa bersalah dan takut keputusan yang diambilnya adalah kesalahan besar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!