DAN di sinilah Nindya dan Dafin berada. Keduanya masih berada di ruangan Ayah Nindya untuk mengatakan beberapa keputusan tentang permintaan beliau yang menjodohkan mereka sejak lama.
Nindya selama ini sangat mengenal baik sosok Dafin yang usianya 5 tahun lebih tua darinya. Lelaki tersebut masih dibilang saudara jauhnya dan mereka telah melewati masa kecil bersama-sama. Nindya kecil sering bermain bersama Dafin, entah Dafin mengajaknya bermain layangan di sawah belakang rumahnya atau membuat origami dari kertas warna.
Namun sejak Dafin mulai masuk SMA dan keluarganya pindah rumah, hubungan mereka tidak sedekat dulu. Dafin dan Nindya mulai sedikit berjarak, mereka juga hanya sesekali bertemu jika ada kumpul keluarga atau lebaran tiba dan itupun hanya sekedar tegur sapa tanpa bertanya-tanya.
“Ayah, apa nggak ada pilihan lain untuk kita berdua?” tanya Nindya menatap serius pada Ayahnya.
“Apa permintaan Ayah begitu sulit? Dafin juga setuju dengan pernikahan ini.” seru Ayah sambil menatap Dafin yang berdiri dibelakang Nindya.
“Nindya sudah punya pacar, Yah.”
“Ayah tahu, tapi Ayah tidak setuju dengan pria yang mengatar kamu pulang kerja itu.”
“Fahri baik dan perhatian, kalau permintaan Ayah ingin Nindya menikah, Nindya akan bilang ke Fahri supaya melamar Nindya segera.”
Ayah Nindya tampak terkejut dan menatap putrinya. Sebenarnya bukan begitu, yang Ayahnya inginkan Nindya bersama Dafin hanya itu saja. Dan pernikahan adalah jalan terbaik agar mereka bisa bersama.
“Dafin, apa kamu keberatan dengan permintaan, Om?” tanya Ayah Nindya menatapnya.
“Ayah, Mas Dafin juga sud--,” perkataan Nindya terhenti saat tangan Dafin menahan pundaknya.
“Dafin siap menikahi Nindya.” Jawab Dafin mantap tanpa merasa keberatan dan membuat lengkungan senyuman di bibir Ayah Nindya tergambar jelas.
Nindya tak mampu lagi mengatakan apapun sekarang, kini dia hanya dalam kegundahan dan juga perasaan sedih karena mungkin kisah cintanya dengan Fahri, lelaki yang sudah bersamanya sejak dua tahun lalu harus berakhir dengan pernikahan terpaksa karena perjodohan. Nindya tak tahu harus bagaimana.
...****...
Keduanya kini berada di depan teras masjid di rumah sakit, setelah selesai shalat Dzuhur kini mereka berdua duduk berjarak sambil meratapi nasib masing-masing.
Yang Nindya sesalkan adalah mengapa Dafin menyetujui perjodohan mereka? Mengapa Dafin dengan lantang dan tanpa keraguan menerima pernikahan ini? jika niat Dafin adalah agar Ayah Nindya baik-baik saja tapi jelas-jelas itu adalah luka untuk Nindya yang hatinya sudah mencintai pria lain dan begitu pula Dafin.
“Mas Dafin, kenapa bikin semuanya rumit? Kenapa Mas Dafin nggak bilang jujur kalau Mas sudah punya pacar dan mau ngelamar dia?” kata Nindya sambil menyelipi rambutnya ke belakang telinga.
“Dengan kondisi Ayah kamu sekarang apakah baik-baik saja? Papah dan Mamah saya juga sudah bilang kalau perjodohan ini dirancang sejak lama.”
“Tapi, Mas Dafin pulang ke sini kan untuk minta izin ngelamar, kenapa nggak bilang langsung ke Om sama Tante?”
Terlihat Dafin menghela nafas, ia mengulung kemeja lengan penjangnya hingga sikut dan menatap ke langit siang ini yang cukup terang menderang.
“Sejak awal saya pacaran dengan Tania, Mamah paling menentang hubungan kami. Sudah tiga kali saya meminta restu tidak ada tanggapan. Saya bisa apa? Jika sekarang saya nekat menikahi Tania dengan posisi Ayah kamu sakit? kemungkinan buruk bisa terjadi pada Om dan Mamah saya juga.”
Sekarang Nindya terdiam, iya tahu bukan hanya dirinya yang berada diposisi sulit, tapi juga Dafin yang berada di tengah-tengah kebimbangan. Dafin dan Tania sudah menjalin hubungan selama 2 tahun lebih dan keduanya menjalin hubungan disatu perusahaan yang sama.
Nindya tahu, jika Dafin juga tidak mendapat restu dari Tante Linda -- Mamah kandungnya. Dan mungkin lebih sulit di posisi Dafin, jika dirinya memilih menikahi Nindya apakah Tania baik-baik saja, sedangkan mereka berjuang untuk mendapatkan restu selama 2 tahun ini?
Di selimuti perasaan tak menentu, kini ponsel Nindya berbunyi. Panggilan suara dari Fahri membuatnya ragu untuk menerimanya. Sejak dirinya dan Dafin akan dijodohkan, Nindya tidak menghubungi kekasihnya itu, entah karena takut mengecewakannya atau karena perasaannya sedang kalut.
“Kenapa nggak diangkat?”
“Nindya masih takut.”
“Kamu bicarakan saja baik-baik dengan dia, dan saya juga akan jelaskan pada Tania.” Kata Dafin yang lansung memakai sepatunya dan berjalan pergi meninggalkannya.
Mau tak mau, dengan perasaan bimbang dan sedih, kini Nindya memilih menemui Fahri untuk menjelaskan semuanya dan ia sudah siap dengan keputusan lelaki tersebut nantinya, meski hatinya tidak akan pernah siap melepaskan kekasihnya itu.
...***...
Fahri selalu sama, memberikan apa yang dia inginkan dan tahu apa yang dia rasakan. Seperti saat ini, sejak Nindya mengajaknya bertemu lelaki itu sudah memesan Cappuccino favoritnya untuk menenangkan suasana hatinya yang sedang tak menentu.
Fahri tersenyum manis padanya mengelus rambut Nindya yang sudah menjadi kebiasaan lelaki itu yang membuat Nindya merasa nyaman bersamanya. Nindya tak habis pikir, mengapa lelaki sebaik dan setulus Fahri harus rela ditinggalkannya setelah ini? apa Nindya tega menjelaskan keadannya?
“Ada apa? Kenapa kelihatannya gelisah?”
“Nggak, cuma lagi pusing aja sama kerjaan.”
“Nggak usah sedih gitu, nanti kalau mau belanja biar aku yang bayar.” Katanya sambil tersenyum.
Hubungan mereka memang selalu begitu, Nindya dan Fahri bisa dibilang bukan pasangan yang romantis. Fahri bekerja di salah satu Bank di Bandung, keduanya sudah kenal sejak masa kuliah dulu. Hanya saja saat itu Nindya yang lebih dulu mengagumi sosok Fahri yang ramah dan merupakan kakak tingkatnya. Selesai kuliah keduanya dekat saat Nindya mulai mencari kerja dan Fahri lah yang membantunya dan keduanya menjalin hubungan sampai saat ini.
“Kak, aku boleh tanya?”
“Apa?”
“Kalau seminsal, tiba-tiba orang tua Nindya mau jodohin sama cowok lain, apa kak Fahri akan marah?” tanya Nindya menatap pria tersebut.
Fahri terlihat sedikit terkejut, namun wajahnya kembali menatap Nindya dengan penuh ketenangan.
“Kalau memang orang tua kamu sudah kasih pilihan masa depan, sebaiknya kamu harus turuti mereka, bagaimana pun orang tua kamu lebih tahu mana yang terbaik buat kamu.”
“Tapi kan nggak cinta.”
“Pernikahan memang bukan soal perasaan aja, butuh pertimbangan dan kesiapan. Dibanding menikah tanpa direstui lebih baik menuruti dan menghendaki keinginan hati. Perasaan akan tubuh seiring bertemu, lagi pula kenapa kamu tanya kayak gini?”
“Nggak apa-apa, Nindya hanya mengatakan kemungkinan yang akan terjadi.”
Fahri hanya tersenyum sambil mengacak rambut Nindya yang membuat keduanya kembali tersenyum meskipun Nindya tak tahu apakah ia masih bisa menikmati momen ini bersama Fahri kelak.
...***...
Selesai menghabiskan waktu sore bersama, Nindya diantar Fahri dan mereka langsung menuju rumah sakit. Fahri sebelumnya sudah mengetahui jika Ayah kekasihnya itu sedang di rawat, namun ia belum bisa menjenguknya terlebih karena Ayah Nindya pernah menatapnya dengan tatapan kurang sukanya.
Nindya melepas helmnya saat sampai di depan rumah sakit, ponselnya sejak tadi di café sudah mati karena kehabisan baterai dan untunglah Fahri mau mengantarnya ke rumah sakit meskipun belum mau untuk bertemu Ayah Nindya, karena Nindya sendiri sudah tahu jika Ayahnya tidak suka dengan Fahri.
Nindya merapihkan rambutnya dan melihat Dafin yang berjalan ke arahnya dengan terburu-buru bersama seorang wanita yang digandengnya di belakang. Keduanya menghampiri Nindya dan membuat Nindya serta Fahri yang masih berada di sana menatap heran.
“Kenapa ponsel kamu nggak aktif?” tanya Dafin melepaskan genggamannya dari perempuan dibelakangnya.
“Lowbat, tadi lupa charger. Ada apa, Mas?”
Dafin terlihat menghela nafasnya dan beralih menatap Fahri yang masih turun dari motornya.
“Ayah kamu tidak sadarkan diri dari tadi.” Ungkap Dafin.
Nindya yang mendengar ucapan Dafin langsung menjatuhkan helm yang ia pegang. Fahri yang mendengarpun turut terkejut, tanpa berpikir lama dengan cepat Nindya berlarian menuju ruangan Ayahnya di susul Dafin bersama wanita yang mengikutinya serta Fahri yang mengikuti kekasihnya itu.
Air mata Nindya tumpah seketika saat melihat Ibunya yang sudah menitihkan air mata sambil mengenggam tangan suaminya itu. Nindya yang sudah menitihkan air mata dengan nafas terengah-engah langsung memeluk Ayahnya itu.
“Waktunya sudah tidak banyak , sekarang segerakanlah akad nikah kalian. Mungkin beliau masih menunggu kamu,” ucap Mamah Dafin yang berada di ruangan.
Dafin yang baru tiba bersama yang lainnya langsung menegang, Fahri yang berdiri diambang pintu dan mendengar ucapan tersebut sedikit bingung dan merasa tak enak hati.
“Dafin, Papah sudah bawa penghulu ke sini. Sekarang segerakanlah akad nikah kalian, Om Rahman masih menunggu kalian berdua menikah.” Ungkap Papah Dafin.
“Enggak, Bu. Pasti Ayah bisa sadar.” Kata Nindya yang benar-benar terkejut.
“Dokter bilang, detak jantungnya sudah melemah sejak tadi siang. Dan mungkin ia masih menunggu kamu dan Dafin menikah sebelum benar-benar pergi.” Kata Ibu disela-sela isakannya.
Dafin menatap ke belakang, di sanalah Tania pacarnya yang sudah mengetahui kabar ini sebelumnya dan juga Fahri kekasih Nindya yang kini hanya berdiri terdiam setelah mendengar semua yang terjadi.
“Dafin, kamu sudah berjanji pada Om Rahman.” Tegur Papahnya.
Dafin menghela nafasnya, masih menatap Tania yang sudah berkaca-kaca, ia berjalan mendekati Nindya dan duduk di samping gadis itu.
Tania dan Fahri yang berdiri di ambang pintu pun, kini di pinta masuk untuk menyaksikan pernikahan kekasih mereka. Nindya sudah menangis tersedu, ia terus mengenggam tangan Ayahnya agar bangun dan menghentikan pernikahan tak diinginkannya ini, sedangkan Dafin sudah mengeluarkan cincin disakunya.
Tania menatap cincin yang Dafin keluarkan. Seperyiny Dafin sudah menyiapkan cincin itu sebelumnya. Ia tak kuasa melihat kekasihnya akan menikah tiba-tiba dengan wanita lain di depan matanya sendiri.
Fahri yang sama terkejut dan terluka juga hanya bisa menatap Nindya yang menangis di depan Ayahnya yang sudah terbaring tak berdaya. Dokter dan penghulu ada di sana dan apakah kini kekasihnya akan menikah dengan pria lain hanya dalam hitungan beberapa menit setelah mereka menghabiskan waktu bersama?
Tangan Dafin gemetar, ia bahkan tak bisa menatap Tania yang sudah menitihkan air matanya. Dafin benar-benar dilema, ia tak tahu harus berbuat apa sampai akhirnya penghulu menjabat tangannya dan dengan bibir bergetar Dafin mengucapkan ijab kabul tanpa habatan hingga kata “SAH” terdengar diruangan dan disaat bersamaan itu pula Ayah Nindya benar-benar pergi dengan damai.
Nindya yang tak kuat langsung pingsan di samping jasad sang Ayah, sedangkan Tania yang tak sanggup dengan apa yang baru saja terjadi dan langsung pergi bersama Fahri.
“Mau ke mana kamu? Nindya pingsan!” Kata Mamah Dafin saat ia hendak menyusul pacarnya itu.
“Dafin sudah turuti keinginan kalian, tolong jangan halangi Dafin saat ini.” kata Dafin.
“Dia istri kamu, Ayahnya baru saja tiada. Apa kamu tega meninggalkan Nindya yang kehilangan demi seseorang yang kini sudah tidak ada ikatan.” Kata Mamah Dafin yang membuat Dafin terdiam dan menoleh menatap Nindya dan Ibunya yang kini resmi menjadi mertuanya juga sedang menangis.
Dafin benar-benar kacau, ia menjambak rambutnya kesal. Namun saat ini ia benar-benar berada disituasi yang sulit, janjinya pada mendiang Ayah Nindya sudah terucap sebelumnya dan ia tak mungkin mengingkari itu. Kini Dafin mencoba menahannya egonya dan mengangkat tubuh Nindya yang kini resmi menjadi istrinya.
...°°°°...
...Semoga suka dengan cerita ini, jangan lupa kasih Komentar & Bintangnya...
...❤️❤️...
...12 Juni 2022...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments