Di usia tujuh belas tahun, Nindya pernah bilang jika dirinya hanya ingin memiliki pernikahan seperti orang tuanya yang selalu bisa rukun dan juga bisa saling mengerti satu sama lain dan ia juga ingin menikah sekali seumur hidupnya. Ya, bahkan dalam doanya, ia selalu meminta hal yang sama. Menikah sekali seumur hidup dan pernikahan yang awet dan bahagia.
Dan saat dirinya mulai menjadi hubungan dengan Fahri, ia selalu berdoa dan berharap jika pria itu adalah jodohnya dan berharap bisa menjalin rumah tangga bersamanya dengan bahagia.
Tapi, meskipun Nindya sudah punya rencana dan doa untuk masa depannya bersama Fahri. Sebenarnya diantara keduanya belum ada pembicaraan yang serius soal hubungan mereka. Fahri yang selalu fokus pada pekerjaannya juga beberapa impian yang ingin ia wujudkan seperti membeli rumah lebih besar, membeli mobil baru dan juga membantu keluarganya. Semua impian yang ingin diwujudkan pria itu selalu diceritakannya pada Nindya.
Dan satu persatu impian dari pria itu mulai tercapai, ia sudah mulai membangun rumah yang hampir tujuh puluh persen selesai dan mungkin tersisa cicilan mobilnya perbulan yang harus ia sisihkan dari uang gajihnya.
Banyak impian yang Fahri miliki, tapi hanya satu yang tak pernah Nindya tahu atau mungkin tak pernah pria itu ucapkan langsung padanya yaitu soal masa depan hubungan mereka. Fahri belum pernah sekalipun membahas soal pernikahan ataupun bertanya kapan ia akan melamarnya? Atau mungkin karena Nindya sendiri tak pernah menyinggung soal itu padanya?
“Jadi kenapa kamu yang sakit ini masih keras kepala langsung pergi kerja dan sekarang juga ngajak ke café?” Fahri baru saja meletakkan ponselnya di meja dan mengambil minuman pesanannya sudah datang beberapa menit lalu.
“Kak Fahri, aku tahu ini waktunya nggak tepat. Tapi aku nggak punya waktu lagi untuk bilang.” Nindya menarik nafasnya gugup, ia sudah yakin apa yang akan dia katakan pasti membuat pria itu terluka. “Ibu udah siapin pesta resepsi dan ngundang semua saudara. Aku sama mas Dafin juga baru tahu ini minggu lalu.”
Nindya mengeluarkan undangan yang sudah ia bawa dan memberikannya pada pria tersebut. Ia melihat ekspresi terkejut dari Fahri saat undangan tersebut Nindya keluarkan dari tasnya.
“Hari minggu ini?” tanyanya yang dianggukki Nindya.
“Aku minta maaf, aku sama Mas Dafin juga sama-sama kaget dan kita sekarang juga bingung.” Nindya tak mau menceritakan jika dia dan Dafin sedang bertengkar saat ini.
Tidak ada ekspresi apapun yang pria itu perlihatkan saat membuka isi undangannya tak seperti sebelumnya. Ia terlihat tenang dan bahkan membacanya dengan serius. Padahal mungkin Nindya tahu jika perasaan pria itu sudah pasti hancur dan sakit.
“Kak, aku nggak mau--,”
“Aku bakal datang ke sana,” Fahri memotong ucapannya dan langsung tersenyum padanya tampak seperti baik-baik saja.
Nindya menggelengkan kepala, “Aku nggak mau kak Fahri datang, aku takut nanti nangis di sana dan aku bakal terus menyesal.” Nindya kali ini benar-benar menangis.
“Aku nggak keberatan, Ibu undang aku untuk hadir jadi pasti aku akan datang.”
“Aku nggak bisa terus sakitin kak Fahri lebih dalam lagi, sekarang status aku udah benar-benar berubah dan sebentar lagi, pernikahan rahasia ini bakalan di ketahui banyak orang.”
Nindya sudah menahan sesaknya, kali ini ia sudah bersiap benar-benar untuk melepaskan Fahri. Meskipun jika pada akhirnya kesepakatannya dan Dafin berakhir, ia tak apa-apa asal jangan menyakiti Fahri lebih dalam lagi.
“Lebih baik kita akhiri ini, aku nggak bisa kasih harapan untuk hubungan kita dan aku nggak mau kak Fahri terus tersakiti lagi. Kak Fahri layak dapat yang lebih baik.”
Fahri meletakkan undangannya dan mengambil tangan Nindya menggengamnya dan menenangkannya. Fahri tak sadar jika tindakannya kali ini membuat tangis Nindya makin pecah dan dadanya makin sesak.
“Aku nggak mau akhiri ini semua sampai kamu sendiri sudah jatuh cinta dengan yang lain dan suruh aku pergi. Aku tahu kamu punya sepakatan pernikahan dengan Dafin dan aku akan tetap tunggu itu dan nggak akan tinggalin kamu. Jadi tolong jangan suruh aku menyerah dan pergi.” Fahri menatapnya serius.
Pria itu menghapus air matanya dengan jari dan mencoba tersenyum tulus dan menenangkannya. Meskipun sekarang Nindya sudah menahan tangisannya tapi sesak di dadanya tak bisa hilang dan tenggorokan terasa sakit.
“Meskipun kesepakatan itu berakhir, aku nggak mungkin bisa kembali dengan kak Fahri. Status aku akan berbeda.”
“Aku nggak peduli, pernikahan kalian bukan berdasarkan perasaan dan kamu juga nggak bahagia dengan ini.” Fahri melepaskan genggamannya dan menatap Nindya. “Aku akan benar-benar melepaskan kamu kalau dia juga bisa melepaskan wanitanya. Aku nggak bisa tinggalkan kamu disaat pria yang bersama kamu saat ini masih memiliki wanita lain di sisi dan hatinya.” Fahri menatapnya serius.
“Kalaupun nanti hubungan kita benar-benar harus berakhir, aku ingin kamu tetap bisa bersama pria yang benar-benar mencintai kamu dan membuat kamu bahagia.” Lanjutnya yang membuat mata Nindya kembali berkaca-kaca.
Kenapa? Kenapa pria sebaik dan sesayang itu padanya harus ia sakiti begitu dalam?
...***...
Setelah pembicaraan serius diantara keduanya tadi sore, Fahri masih bersikap seperti biasanya dengan mengantarnya pulang sampai gang besar dan juga masih mengirimkan pesan seperti biasa meskipun Nindya tak membalasnya dengan cepat seperti biasa karena dirinya masih terdiam dan termenung dengan segala pikiran kalutnya.
Suara ketukan pintu kamarnya terdengar, Nindya yang masih mengenakan pakaian kerjanya yang sudah seharian ia gunakan itu membenarkan posisi tidurnya.
“Masuk aja, pintu nggak di kunci.”
Suara kenop pintu terdengar dan Dafin muncul dibalik pintu dan masuk ke dalam membawa kantung plastik yang dijinjingnya.
“Udah makan?” tanya Dafin yang hanya melangkahkan kakinya dua kali tak berani mendekat.
“Aku udah kenyang.”
Dafin tampak kikuk, ia masih menjinjing kantung plastik putih ditangannya. “Aku beli bubur di tempat langganan, mau coba?” tawarnya.
“Nindya udah makan tadi.”
“Coba makan sedikit, kamu juga harus minum obat nanti jadi isi dulu perutnya dan cobain makan buburnya.”
Tak menunggu jawaban, kini Dafin berjalan ke arah meja rias Nindya dan meletakkan makanan yang di belinya itu di sana dan kemudian kembali keluar.
Nindya bangkit dari kasurnya kemudian memeriksa bubur yang dibelikan oleh suaminya itu. Aroma dari bubur itu sudah tercium ke hidung Nindya dan membuat perutnya kembali keroncongan. Mungkin ia akan mencobanya beberapa suap tapi ia akan membersihkan dirinya dulu karena seharian ini pakaiannya belum diganti dan keringatnya terasa lengket di badan.
...***...
Hampir setengah jam Nindya baru selesai dengan kegiatan mandinya dan juga membersihkan kamarnya yang sempat berantakan sejak pagi tadi karena ia terburu-buru berangkat kerja.
Bubur yang dibelikan oleh Dafin sudah ia simpan di ricecooker agar tidak dingin saat ia makan. Nindya mengambil mangkuk dan memasukan bubur tersebut bersama isiannya yang kumplit dari mulai ayam, ati ayam yang ditusuk sate juga telur puyuh. Bubur cirebon di daerahnya memang disajikan seperti ini.
Dan bubur dengan porsi cukup kenyang untuk Nindya sudah tersaji, akhirnya ia memilih memanggil Dafin yang berada di kamarnya. Karena jika ia memakannya sendiri sudah pasti tidak akan habis karena Nindya tidak terlalu suka dengan bubur.
“Mas.” Nindya mengetuk pintu kamarnya.
“Sebentar.”
Tak lama Dafin membuka pintu kamarnya dan sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
“Kenapa?”
“Mas Dafin udah makan?” tanya Nindya karena mengingat ia sudah beberapa hari tidak pernah masak sejak mereka bertengkar.
“Aku udah makan sore tadi.”
Keduanya sama-sama terdiam beberapa saat, Nindya menjadi canggung ingin mengajak pria itu untuk ikut makan bersamanya apalagi bubur yang dibelikannya hanya satu porsi. Tapi, ia juga sebenarnya tak bisa menghabiskannya sendirian.
“Kenapa? Kamu udah makan bubur tadi?” Dafin bertanya setelah melihat Nindya terdiam.
Nindya menggelengkan kepalanya, “Aku nggak bisa habisin bubur sendirian. Mas Dafin mau coba nyicipin juga?” tawarnya menatap pria itu.
Dafin balas menatapnya dan kemudian menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya meleparkan handuk yang baru saja dikenakannya ke kasur.
“Nindya ambilin mangkuk lagi ya.”
“Nggak usah, mangkuk ini aja. Kamu makan duluan nanti kalau udah kenyang aku habiskan sisanya.” Dafin menuangkan air ke gelas sebelum duduk di kursi dan kemudian meminumnya.
“Nindya nggak mungkin kasih sisa buat mas Dafin.”
“Aku belikan itu untuk kamu, jadi kamu harus makan.”
Tak mau berdebat, Nindya akhirnya duduk dan memakan bubur tersebut dan seperti biasanya ia tidak suka memakai kecap. Untungnya Dafin meminta kecapnya dipisah dan hanya bumbu kari saja yang tercampur di buburnya bersama potongan ayam dan kacang.
Selama Nindya memasukan beberapa suapan bubur tersebut ke mulutnya, Dafin hanya diam memperhatikannya sesekali. Pria itu tidak membawa ponselnya dan begitu juga Nindya jadi keduanya benar-benar dalam keadaan hening dan canggung.
Nindya menghentikan suapannya, rasanya sudah cukup kenyang untuknya.
“Udah kenyang?” Tanya Dafin.
Nindya mengangguk, ia tak mungkin berkata terus-terangan jika dirinya tidak suka bubur pada Dafin karena pria itu sudah sengaja membelikannya untuk dirinya.
Dafin langsung mengambil bubur yang tersisa tersebut, “Aku makan sisanyanya.” Dafin sudah menambahkan sedikit kecap di bubur tersebut dan potongan sate ati dan telur puyuh juga sudah ia masukan ke mangkuk.
Perut Nindya sudah terasa mual melihat bubur yang susah diaduk kembali oleh pria itu, jadi ia memilih pergi ke ruang televisi dan duduk menonton di sana untuk beristirahat sebentar.
Baru beberapa menit dirinya fokus menonton, kini Dafin sudah ikut duduk di sofa sambil membawa mangkuk berisi bubur itu dan ikut menonton bersamanya.
“Atinya enak, mau cobain?” tanya Dafin yang membuat Nindya menoleh padanya.
Dafin yang duduk di sofa langsung menyodorkan sendok yang berisi ati yang ditawarkannya. “Kamu tadi belum cobain atinya, ayo coba makan.”
Mau tak mau, Nindya yang hanya duduk di karpet akhirnya membuka mulutnya menerima suapan dari Dafin. Sambil fokus menonton drama yang sedang ditayangkan dan tangannya memeluk bantal sofa. Entah berapa kali Dafin sudah menyuapinya dan ia juga tanpa sadar membuka mulutnya dan memakannya.
“Sudah habis.” ujar Dafin yang entah sejak kapan Nindya sadari sudah ikut duduk di bawah dan disampingnya.
Dafin kemudian berdiri membawa mangkuk bekas bubur yang sudah habis tersebut ke dapur dan kembali membawakan air putih untuk Nindya yang langsung diterima dan diteguknya.
Setelahnya pria itu kembali pergi, mungkin kembali ke kamarnya lagi sedangkan Nindya sejak tadi masih terus fokus menonton drama korea yang membuat tak fokus pada hal lain sampai-sampai tak sadar Dafin menyuapi bubur sisa tadi hingga habis pula, padahal ia tak suka bubur tapi kenapa rasanya berbeda saat Dafin menyuapinya?
Tiba-tiba saja Dafin sudah kembali dan duduk disebelahnya. Ia juga sudah membawa obat milik Nindya dan membuka satu persatu obat tersebut sambil membaca semua keterangannya sebelum akhirnya memberikannya pada Nindya.
“Udah selesai makan, sekarang langsung minum obatnya.” Dafin memberikan obat yang dibukanya itu pada Nindya.
Kali ini fokus Nindya teralih pada Dafin, karena pria yang beberapa menit lalu sudah pergi tiba-tiba kembali dan langsung membawakan obatnya yang disimpan di kamar.
Nindya yang menurut langsung meminum obat tersebut dan membuatnya harus menahan rasa pahit yang terasa lidahnya saat ini.
Tapi, kali ini Nindya merasa benar-benar terkejut dengan perlakuan Dafin karena pria itu langsung mengeluarkan permen jelly beruang di sakunya.
“Makan ini biar nggak kerasa pahit.” katanya yang langsung membuat mata Nindya berbinar dan membuka permen jelly favoritnya itu.
Setelah beberapa menit berlalu permen jelly yang diberikan Dafin sudah habis, Nindya mulai merasakan mengantuk berat bahkan kini ia sudah merebahkan kepalanya di meja.
Sepertinya tadi Dafin memberikannya obat tidur yang sebelumnya tak Nindya makan karena takut akan mengantuk saat bekerja. Dan sekarang matanya benar-benar terasa berat.
Samar-samar ia mendengar suara keheningan karena televisi sudah di matikan oleh Dafin yang kembali datang dan sempat terdengar pula membangunkannya sebelum akhirnya ia merasakan tubuhnya diangkat oleh pria itu hingga ia bisa merasakan kasur empuknya dan juga selimut yang berada di tubuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments