Sejak kejadian beberapa hari lalu, Nindya dan Dafin akhirnya menghindar satu sama lain. Keduanya bahkan tampak mengabaikan satu sama lain saat berpas-pasan.
Berulang kali ketika Nindya mencoba untuk kembali bersikap seperti biasa, tapi berulang kali pula Dafin berusaha untuk mengabaikannya dan seolah-olah tak melihat keberadaannya.
Nindya sudah tahu jika sifat Dafin padanya saat ini karena merasa kecewa dengan hubungan mereka apalagi mengingat ucapan Tania pada saat mengantar Dafin yang mabuk berat kala itu masih terngiang-ngiang ditelinganya.
“Kenapa muka lo tambah pucet aja, Nin?” Wika mendatangi kubikelnya sambil membawa tumblrnya yang masih kosong.
“Kayaknya efek bergadang.” Sebuah senyum simpul Nindya tunjukkan.
“Pulang nanti kita nge-mall aja gimana?” tawar Wika.
Nindya mengambil tumblr kosong dari lacinya dan bangkit dari kursinya, “Gue rasanya pengen langsung rebahan di rumah. Kepala gue pusing banget.”
Keduanya berjalan ke arah pantry, Wika berjalan dibelakangnya sementara Nindya sudah melangkah lebih dulu di depannya. Kali ini Nindya tidak berbohong jika kepalanya sedang pusing, sejak tadi ia mencoba menahan sakit di kepalanya.
“Nin.” Suara Wika terdengar lebih kencang saat tubuh Nindya sudah terjatuh di lantai dan tak sadarkan diri.
...***...
Bau aroma obat-obatan sudah menyeruak di indra penciuman Nindya. Wanita itu samar-samar mendengar suara beberapa orang yang sedang berbicara dengan jarak yang tak begitu jauh darinya.
Tangan kirinya kini sudah terpasang infusan, dan ia menyadari jika terakhir kali ia merasakan pusing pada kepalanya dan sekarang ia sudah berada di tempat berbeda. Apakah yang terjadi padanya?
“Udah bangun?” suara pria dengan wajah khawatir menghampirinya.
Dengan kepala yang masih terasa sedikit pusing, Nindya mencoba mendudukan badannya dan dibantu pria tersebut yang entah sejak kapan ada di sini.
“Kenapa bisa ke sini?”
“Tadi Feby telepon, katanya kamu pingsan dan anak-anak langsung bawa kamu ke sini jadi aku susul,” jelas Fahri sambil merapihkan rambut Nindya.
Nindya hampir lupa, jika Feby dan kekasihnya itu berteman akrab. Jadi apapun yang terjadi padanya di kantor, pasti wanita itu akan melaporkannya pada Fahri. Entah kenapa Feby mau saja dipinta jadi mata-mata untuknya.
“Aku boleh pulang sekarang?” tanya Nindya.
“Dokter bilang kamu boleh pulang kalau cairan infusnya udah habis.”
Mendengarkan penuturan dari Fahri, arah mata Nindya kini tertuju pada tabung infusannya. Rasanya baru kali ini dirinya di rawat dan bahkan dipasang selang infus karena kondisi kesehatannya.
“Gimana kerjaannya kak Fahri?”
Fahri baru saja memasukan ponselnya ke saku celananya, “Aku izin sebentar ke sini dan nunggu sampai kamu sadar.”
Selalu begitu, Fahri adalah orang yang selalu peduli dan khawatir padanya. Dan ini kali pertama dirinya sakit sampai di rawat, sudah pasti pria itu terkejut saat ini.
“Apa pekerjaan kamu berat sampai bisa sakit dan di rawat gini?”
Ada hal yang selalu sulit untuk Nindya ceritakan pada Fahri yaitu tentang pekerjaannya. Sejak awal, pria itu selalu menyarankan agar ia berhenti dengan pekerjaannya saat ini ikut bekerja di jurusan yang sesuai dengan kuliahnya dulu.
Hanya saja, Nindya sudah merasa nyaman dengan pekerjaannya yang sudah di gelutinya beberapa tahun ini. Jika ia harus berhenti begitu saja disaat tinggal setahun lagi dirinya akan menjadi karyawan tetap, bukankah itu akan sia-sia. Apalagi memulai pekerjaan baru dibidang berbeda pasti akan membutuhkan waktu lebih banyak lagi untuknya.
“Aku cuma kurang istirahat kerjain proposal dan telat makan.”
Wajah lesu Nindya terlihat kurang meyakinkan untuk Fahri, wanita itu tampak memikirkan banyak masalah saat ini. Tapi Fahri tak mau mendesaknya untuk bercerita, ia memilih membiarkan sampai keadaan wanita itu membaik dan baru ia akan bertanya nanti.
“Sebentar lagi aku balik ke tempat kerja, kamu tunggu di sini sampai infusnya habis. Nanti pulang kerja aku jemput.” Fahri baru saja mengecek ponselnya lagi.
“Kak Fahri balik kerja aja, nanti aku pulang bisa sendiri.”
“Kamu masih sakit, aku nggak izinin kamu pulang sendiri.”
“Aku minta jemput Mas Dafin, karena aku gak mungkin nggak kabarin dia.” Nindya bisa melihat ekspresi Fahri yang tampak tak menyukai saat dirinya menyebut nama Dafin.
“Oke,” balas Fahri yang bersiap pergi.
“Kak Fahri.” Panggilnya saat melihat pria itu berbalik punggung hendak pergi.
Fahri menoleh dan mengangkat alisnya.
“Maaf.” Mata Nindya sudah berkaca-kaca karena merasa bersalah.
Fahri berbalik arah dan mendekatinya, ia mengusap kepala Nindya lembut dan tersenyum padanya. “Nggak perlu minta maaf, kamu jaga kesehatan dan istirahat yang cukup.”
...***...
Sejak tadi Nindya masih dilema, apakah ia harus menghubungi Dafin atau memilih pulang sendiri nanti. Ponselnya yang sejak tadi di gengamnya masih menyala namun sejak tadi ia hanya membalas pesan dari teman-teman kantornya saja yang menanyakan kondisinya.
Ia sudah beberapa hari tak berbicara dengan Dafin, karena pria itu saja benar-benar mengabaikannya dan bahkan tak memakan masakan yang ia buat. Pria itu tampak sekali marah padanya setelah undangan resepsi pernikahan di kirimkan orang tua mereka.
Suara wanita berseragam putih terdengar membuka tirai ruangannya dan membuat Nindya yang masih termenung sejak tadi terkejut melihat pria dengan kemeja yang sudah terlihat kusut karena seharian dikenakannya itu masuk ke dalam dan menatapnya dengan wajah cemas.
“Terimakasih, Sus,” katanya sebelum duduk berdiri disamping ranjangan dan langsung mengecek kening Nindya.
“Mas Dafin kenapa bisa di sini?” Nindya menatap pria tersebut yang terlihat khawatir padanya.
Bukannya menjawab pertanyaannya, Dafin justru kini memegang tangannya sebentar seperti memeriksakan sesuatu entah apa juga Nindya tak paham yang dilakukan pria tersebut.
“Kenapa nggak kabarin saya masuk rumah sakit?” kali ini raut wajah pria itu terlihat kembali mendingin dan Nindya tersadar jika Dafin memang masih merasa kecewa yang ditujukan padanya.
“Aku nggak apa-apa, cuma kecapek-an aja.”
Keadaan keduanya menjadi hening, Dafin tiba-tiba saja pergi begitu saja tanpa pamit padanya, entah ke mana tapi yang pasti mungkin dia sudah tenang melihat Nindya baik-baik saja.
Karena merasa kondisinya sudah membaik, Nindya meminta suster yang berada di ruang sebelahnya yang tertutup tirai untuk mengecek kondisinya sebentar dan juga melepaskan selang infusnya. Ia tak mau berlama-lama berada di rumah sakit, akan lebih baik jika ia pulang dan bisa beristirahat di kamarnya.
Nindya mengambil tasnya dan kemudian berjalan keluar ruangan. Meski kepalanya masih sedikit pusing namun Nindya masih bisa untuk pulang sendirian nanti.
...***...
“Saya baru urus administrasi, tapi kenapa kamu malah kabur dan gak kabarin. Saya nggak peduli kalau kamu nggak anggap pernikahan ini tapi sekarang kamu masih jadi tanggung jawab saya.” Suara penuh emosi namun pelan sudah keluar dari mulut Dafin.
Pria itu kembali dan tak menemukan Nindya di sana, dan sejak tadi ia mencari istrinya itu yang langsung pergi tanpa pamit apapun padanya dan membuatnya menjadi khawatir. Untungnya telepon darinya dan diangkat, setelah menemukan Nindya yang sedang menunggu panggilan mengambil obat dan di sinilah Dafin mengeluarkan kekesalannya meskipun suaranya kecil, namun Nindya bisa mendengarkan emosi dari pria itu.
“Aku nggak tahu Mas Dafin pergi ke mana.” Nindya menetralkan suaranya yang tampak gugup dan takut melihat Dafin menatapnya dengan penuh emosi.
Untunglah namanya segera di panggil, Nindya langsung menebus obatnya dan kemudian berjalan mengikuti Dafin yang lebih dulu berjalan meninggalkannya.
...***...
Sepanjang jalan yang dilewatinya, hanya keheningan yang tercipta diantara mereka. Tak ada yang berani membuka percakapan dan memecahkan keheningan.
Rasanya begitu hambar untuk Nindya yang terbiasa banyak bicara apalagi dengan Dafin. Tapi kali ini untuk membuka percakapan apapun, Nindya enggan. Apalagi beberapa menit sebelum mereka sampai ke rumah tadi, pria itu sudah asyik berbincang saat menerima telepon yang diyakini Nindya adalah dari Tania.
Sampai di rumah, Nindya yang masih merasakan lemas dan pusing di kepalanya ingin kembali ke kamarnya, tapi saat ini Dafin malah menahannya dan seolah tak punya waktu lain untuk berbicara.
“Apa kamu nggak bisa menghargai status kita saat ini? Walaupun sementara tapi kamu masih jadi tanggung jawab saya.” Dafin rupanya masih menyimpan kekesalannya pada Nindya.
“Bisa kita bahas soal ini nanti, aku mau tidur.”
Dafin masih menahan tangan Nindya, “Saya masih suami sah kamu, seharusnya jika terjadi sesuatu bisa kamu hubungin saya?”
Nindya membalikan badannya dengan tangan kirinya yang masih belum Dafin lepaskan, “Tadi memang mau kasih tahu, tapi keburu--,”
“Keburu Fahri lebih dulu yang kamu hubungi?”
“Aku nggak tahu dia di sana.”
Dafin berdecak sebal dan masih menatap Nindya lekat, “Dia nggak mungkin tiba-tiba datang ke sana kalau nggak kamu kabarin lebih dulu.”
Kali ini Nindya tak bisa untuk berdebat dengan Dafin, sepertinya pembicaraan mereka akan tahu berakhir seperti apa nantinya dan dia tidak punya tenaga untuk mengeluarkan emosinya saat ini.
“Bisa lepasin tangannya, aku mau istirahat.”
“Jawab pertanyaan saya dulu, apa kamu benar-benar anggap saya sebagai suami kamu saat ini? Jawab dengan jujur, Nindya.” Tangan Dafin masih terus menahannya dan tatapannya begitu mengintimidasinya.
“Apa Mas Dafin juga pernah menganggap aku sebagai istri?”
“Jangan balikkan pertanyaan.”
Nindya berusaha melepaskan genggaman tangan Dafin padanya yang saat ini terasa sakit karena selang infus yang baru saja lepas tadi dan masih meninggalkan rasa ngilu saat Dafin mencengkramnya.
“Aku baru mau telepon sebelum Mas Dafin datang tadi, sebelumnya aku juga takut teman kantor datang dan lihat kit--,”
“Kenapa, kamu takut teman-teman kantor kamu tahu kalau saya suami kamu dan biarkan Fahri pacar kamu yang menemani?”
Dengan sisa tenaga yang tersisa, Nindya menghempaskan cengkraman tangan Dafin dan berhasil. Ia menatap pria itu dengan wajah penuh amarah.
“Sekarang aku yang tanya, apa Mas Dafin juga takut teman-teman kantor Mas tahu kita mau menikah? Beberapa hari lalu waktu Ibu kirimin undangan kita, Mas Dafin marah dan pergi gitu aja sampai pulang-pulang diantar karena mabuk berat. Dan berhari-hari setelahnya abaikan aku.”
Nindya menarik nafasnya sesak, sudah beberapa hari ini ia menahan amarahnya dan rasa kecewanya yang tertahan, “Bukan cuma Mas Dafin yang kecewa di sini, bukan cuma Mas Dafin yang takut teman-teman kita tahu dan bukan cuma Mas Dafin yang sudah mengkhianati pacar, tapi kenapa semuanya seolah-olah hanya Mas Dafin yang terluka.”
Ingatan Nindya kembali pada saat Tania datang mengantar suaminya yang mabuk, wanita yang selama ia kenali bersikap baik itu akhirnya mengeluarkan semua rasa amarahnya dan juga menyalahkannya.
“Kalau Ayah nggak buat perjanjian itu, kalau Ayah nggak meninggal, kalau aja waktu itu kita tolak--,” Nindya tak bisa melanjutkan kata-katanya karena Dafin sudah memeluknya.
“Aku minta maaf,” kata Dafin saat memeluknya dengan perasaan bersalah.
“Aku ingin pisah.”
...****************...
...Terimakasih yang sudah membaca kelanjutannya....
...Jangan lupa kasih like dan komentarnya yaaa!!...
...Kalau ada typo, mohon tandai ya 🙏🙏...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Lela Raya
ahhhh mewek akuuu😭😭
2023-06-13
1