Sesuatu di Luar Rencana

“Tania nggak aku undang dan aku suruh juga jangan datang,” ujar Dafin saat keduanya sedang sarapan bersama.

“Aku juga udah minta kak Fahri untuk nggak datang, tapi belum yakin.”

Kabar tentang resepsi pernikahan keduanya sudah diketahui beberapa rekan kerja mereka. Dafin sudah membagikan undangan pada atasannya dan hanya mengundang Fikri teman dekatnya di kantor.

Sedangkan Nindya sudah pasti mengundang atasannya yang lebih dulu tahu dirinya telah menikah dan untuk rekan-rekan di kantornya, ia mengundang Nina dan Wika saja dan meminta keduanya untuk menyembunyikan status pernikahannya pada Feby karena ia masih belum siap menjelaskan apapun pada wanita yang juga teman dekat Fahri.

Dan karena itu, Nindya dan Dafin telah mendapat cutinya beberapa hari dan rencananya sore nanti keduanya akan pulang ke rumah orang tua Nindya sebelum acara resepsi mereka yang diadakan dua hari lagi.

Sebenarnya mereka juga merasa sedih karena sejak awal pernikahan hingga sampai acara resepsi akan diadakan pun semuanya diatur oleh orang tua mereka. Bahkan Nindya belum mencoba ukuran gaun yang akan dipakainya nanti dan juga model seperti apa yang diinginkannya karena semuanya benar-benar diatur dan dipilihkan orang tuanya.

...***...

Setelah melewati hujan yang mengguyur Bandung malam ini, keduanya sudah sampai di rumah Nindya dan disambut oleh keluarganya yang ternyata sudah berkumpul di sana sejak beberapa hari lalu.

Beberapa kerabatnya datang dari kota lain sengaja datang lebih awal untuk membantu memasak dan persiapan lainnya karena keluarga Nindya memang memilih tak menyewa catering dan memasak sendiri dan pelaminan keduanya juga akan dipasangan di depan rumahnya karena tempatnya yang luas.

Sebelum berangkat tadi, Nindya dan Dafin sudah berdiskusi agar bisa bersikap layaknya suami-istri yang bahagia. Meskipun hati keduanya sebenarnya terasa hancur karena masih terikat perasaan dengan yang lain, tapi di depan orang tua apalagi kerabatnya keduanya harus bisa berakting agar tak dicurigai.

“Aduh makin cantik aja pengantin,” sapa salah satu kerabat Nindya saat keduanya berjalan masuk ke rumah.

Sejak turun dari mobil, Nindya sudah menggandeng tangan Dafin dan menyapa kerabat-kerabatnya. Seperti yang dituliskan di undangan, jika mereka sudah melakukan ijab kabul sebulan lalu jadi mereka harus terlihat seperti pasutri baru yang sedang hangat-hangatnya.

“Semoga cepet ngisi ya biar si Ibu cepet-cepet punya cucu,” katanya mengelus perut Nindya yang membuat Nindya hanya tersenyum sambil mengaminkannya.

Dafin yang ada disamping Nindya hanya tersenyum dan turut menyalami beberapa kerabat istrinya itu yang juga masih menjadi kerabat jauhnya. Ya, seperti yang diketahui jika Ayah Nindya dan Ayah Dafin mereka masih bersaudara jauh.

“Kalian makan dulu,” untunglah Ibu datang menyelamatkan keduanya dari banyak pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan saudara-saudaranya itu.

Ibu dan mertuanya sebenarnya sudah meminta mereka pulang dari senin lalu, namun karena pekerjaan mereka yang tak bisa ditinggalkan jadilah mereka baru meminta izin di hari kamis dan keduanya mendapat cuti libur hanya seminggu.

Nindya mengambilkan nasi ke piring Dafin, saat ini keduanya duduk di karpet ruang tengah karena di meja makan yang dekat dapur ada beberapa orang yang sedang berkumpul untuk memasak.

Walaupun keduanya tak begitu lapar, namun mereka memilih tetap makan karena menu masakan yang dibuat Ibunya adalah makanan favoritnya.

Sambil menyuap makanan ke mulutnya, Nindya masih merasa sedikit asing dengan rumahnya yang kini sudah di hias pula karena besok sore akan mengadakan pengajian untuk ibu-ibu.

Nindya tiba-tiba terbatuk dan membuat Dafin yang duduk di sampingnya langsung memberikan minum yang langsung diteguknya.

“Makan pelan-pelan,” ujar Dafin sambil mengelus punggungnya.

...***...

Dan hari itu pun tiba. Acara resepsi pernikahan Nindya dan Dafin yang telah lama di persiapkan orang tua mereka akhirnya resmi digelar.

Keduanya sudah bangun pagi-pagi sekali, meskipun acara resepsi keduanya akan di adakan mulai jam sebelas siang. Karena dua hari ini keduanya benar-benar tak bisa tidur tenang.

Dan sekarang, Nindya yang sudah selesai makeup dan berganti pakaian pun masih termenung di kamar dengan pikirannya dan hatinya yang masih kacau. Bagaimana caranya menjalani kehidupan setelah ini, saat semua orang kini sudah tahu tentang pernikahan mereka.

Dada Nindya makin terasa sesak saat melihat jemarinya yang sudah dihias cantik dengan hena putih dan juga kuku palsu yang dipasang tadi pagi dan tak lupa cincin yang dipasang Dafin sebulan lalu juga sudah kembali terpasang sejak beberapa hari lalu di jari manisnya membuatnya teringat rasa sesak kehilangan, menghianati dan juga kekacauan hatinya.

“Udah selesai, masuk aja, A.” Suara wanita terdengar dari luar kamar tak membuat Nindya menoleh.

“Sudah makan?” tanya pria yang kini duduk di kursi menghadapnya.

Mata Nindya menatap pria yang kini sudah mengenakan tuxedo yang senada dengan gaunnya dan rambut pria itu juga sudah terlihat lebih rapih menampilkan kening mulusnya dan membuat penampilannya lebih berbeda dan mempesona saat ini.

“Tadi disuapin, Ibu.” balas Nindya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Dafin sempat menatap Nindya cukup lama setelah melihat penampilan wanita itu yang membuat pangling. Makeup yang pas dan tantan rambutnya yang menyisahkan sedikit helai rambut tersebut membuatnya sempat terkesima, entah sejak kapan Dafin menyadari jika wanita dihadapannya memang begitu cantik apalagi leher jenjangnya yang mulus saat ini membuat perhatian Dafin sulit teralih. Hanya saja sorot mata wanita itu tak bisa membohongi, jika ia tampak tak bahagia.

“Mas Dafin sudah makan?” Nindya mencoba memecahkan kecangunggan diantara mereka.

“Sudah.”

Keduanya benar-benar tampak bingung untuk mencari topik, karena banyak orang yang sejak tadi jalan melewati kamar mereka dan memperhatikannya.

“Apa ini bisa hilang?” tanya Dafin menunjuk tangan Nindya.

“Bisa, Nindya mintanya hena putih biar cepat di hapusnya.”

“Enak ya perempuan punya banyak hiasan.” Dafin tersenyum kecil.

“Mas Dafin kalau mau pakai boleh aja biar tangannya cantik.”

Dafin kemudian mengangkat kedua tangannya sambil membalik-balikannya untuk mengeceknya dan membuat Nindya sedikit tersenyum ditengah rasa hatinya yang kacau hari ini.

“Ayo pengantin, sekarang waktunya duduk dipelaminan.”

Nindya dan Dafin saling beradu pandang setelah dipanggil. Keduanya menarik nafas berat, setelah keluar kamar nanti mereka harus bisa berakting terlihat baik-baik saja dan bahagia. Mereka harus menguatkan hati dalam-dalam ditengah kebahagiaan yang sebenarnya tidak mereka rasakan.

...***...

Teman-teman sekolah Nindya banyak yang datang karena undangan yang memang sudah disebarnya di grup sesuai permintaan ibunya. Menurut Nindya juga tak masalah jika ia mengundang teman satu sekolahnya karena mereka juga jarang bertemu dan juga tak begitu tahu kehidupan pribadinya yang tertutup. Yang Nindya hindari hanya teman kantornya saja karena sudah banyak yang tahu jika dirinya berpacaran dengan Fahri.

Dan sejak tadi keduanya terus berdiri untuk bersalaman dengan para tamu undangan ditambah tangan Nindya yang tak lepas terus mengandeng tangan suaminya Dafin sambil terus mengumbar senyuman agar terlihat benar-benar pasangan yang berbahagia.

“Kenapa?” Dafin menatap Nindya yang menggerak-gerakan kakinya tak nyaman.

“Kayaknya lecet pakai high heelsnya.”

Dafin menarik badan Nindya agar duduk di kursi pelaminan. Dan ia langsung berjongkok dan memeriksa kaki Nindya yang sudah sedikit memerah setelah Dafin melepaskan high heelsnya.

“Apa mau ganti aja?” tanya Dafin.

Saat Nindya memperhatikan kakinya, tamu undangan lainnya sudah kembali datang dan membuat mereka terkejut.

“Hey, selamat ya.” Dafin yang masih berjongkok memegang kaki Nindya kini langsung berdiri bersama sang istri.

Ekspresi Dafin yang sejak tadi berusaha tersenyum pada tamu undangan justru kini berubah setelah suara wanita yang dikenalnya berada di depannya sambil tersenyum ke arahnya.

Sama halnya dengan Nindya yang cukup terkejut melihat wanita yang dikatakan suaminya itu tidak akan datang tapi sekarang justru ada di depan matanya dan justru tersenyum pada mereka.

“Kenapa kamu datang ke sini?” Dafin terlihat bingung dan terkejut saat ini.

“Masa aku nggak datang ke resepsi kalian, aku ingin lihat pacar aku di pelaminan.” Tania berkata sambil tersenyum.

Kata-kata Tania tenang tapi menusuk, ia berjalan menyalami Dafin dan beralih pada Nindya dan langsung memeluknya.

“Selamat sudah mau rebut pacar aku sampai ke pelaminan.” bisik Tania yang membuat Nindya terdiam membeku.

Kali ini tak ada senyuman apapun yang mengembang dari keduanya selain wajah terkejut mereka. Apalagi Dafin saat ini arah matanya tak beralih memperhatikan Tania yang berjalan mengambil makanan.

Tak ada lagi senyum kepura-puraan mereka setelah melihat Tania datang, wajah tenang Dafin kini sudah berubah sendu bahkan tak ada senyuman ramah sejak tadi saat tamu undangan masih terus datang menyalami.

Nindya berharap hanya Tania saja yang datang ke sini, semoga Fahri tidak benar-benar datang dan membuat hatinya menjadi kacau.

...***...

Dari kedatangan Tania sampai wanita itu sudah pamit pergi tadi, Dafin benar-benar tampak murung dan hanya diam. Bahkan beberapa ucapan selamat yang diterima mereka hanya dijawab oleh Nindya.

Dan hari makin siang, mereka sudah bisa duduk beristirahat dan saat ini Dafin izin untuk pergi ke kamar mandi dan meninggalkannya duduk sendirian di pelaminan.

“Pelamin sebelah kanan kosong nih, boleh di isi nggak?”

“Kak Fahri.” Nindya menatap pria itu dengan terkejut. Apa yang ingin dia hindari justru terjadi saat ini ketika pria itu datang dan membawa buket bunga ditangannya.

“Pengantin prianya nggak kabur kan?”

“Dia ke kamar mandi, kak Fahri kenapa datang, kenapa ke sini?” Nindya sulit mengatur nafasnya yang terasa sesak.

Matanya sudah terasa perih ingin menangis, tapi pria di hadapannya saat ini justru tersenyum manis padanya dan terlihat seolah semuanya baik-baik aja.

“Aku nggak pernah bayangin gimana kamu pakai baju pengantin, tapi saat ini aku bisa lihat kalau kamu benar-benar cantik.” Fahri memberikan buket bunga tersebut untuknya.

Fahri sempat menatap ke arah para undangan yang sudah tidak begitu ramai dan juga sedang sibuk makan dan melihat ke arah penyanyi yang sedang membawa lagu romantis di panggung.

“Aku udah bilang jangan datang.” Mata Nindya sudah memerah menahan tangisnya.

“Lebih sakit kalau hanya lihat foto-foto dari orang lain, jadi lebih baik aku datang ke sini dan lihat langsung kamu di pelaminan. Tapi sayang bukan yang disebelahnya.” Fahri masih tersenyum.

“Kak.”

“Aku nggak apa-apa, lagi pula lihat kamu hari ini udah obatin kerinduan aku.”

Saat Nindya sedang berbincang dengan Fahri, kini Dafin sudah kembali dan menghampiri mereka.

Ada sedikit rasa terkejut melihat kekasih istrinya itu yang terjadi berani datang dan bahkan masih bisa tersenyum saat ini.

“Nah sekarang udah ada pengantin aslinya, oke Mas boleh fotoin kita betiga?” kata Fahri pada photographer.

“Enggak, Kak.” Tolak Nindya.

“Sekali aja, Nin. Aku ingin ada momen kita bertiga.” Paksa Fahri.

“Ini bukan waktu yang tepat, aku nggak mau.” tolak Nindya tegas.

Dafin tampak bingung, ia ingin berbicara untuk menolaknya tapi kini Fahri sudah mengambil posisi di sampingnya dan bahkan merangkul pundaknya layaknya sahabat karib dan momen yang tak inginkan tersebut benar-benar diabadikan meski tanpa senyuman.

Dan setelah pria itu sudah turun dari panggung dan pamit begitu saja tanpa mencoba mencicipi makanan apapun. Pria itu sudah menghilang dari pandangan Nindya.

Nindya masih bertanya-tanya dalam hatinya, apakah ia sudah benar-benar akan melepaskan Fahri setelah ini? Melihat pria itu datang ke sini dan melihatnya di pelaminan bersama pria lain bukankah seharusnya hubungan mereka berakhir sejak ijab kabul berlangsung?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!