Pacar VS Suami

Nindya dan Dafin baru saja keluar dari klinik. Keadaan Nindya yang sudah terlihat sudah lebih baik berjalan mendahului Dafin yang berjalan dibelakangnya. Tak ada percakapan apapun diantara mereka, selain Dafin yang terlihat sedikit khawatir pada istrinya itu.

“Mau cari makan?” tanya Dafin.

“Tadi sudah makan, Mas.”

Dafin terlihat canggung, ia lupa jika sebelumnya Nindya pingsan mereka berada di restauran yang sama dan makan siang bersama kekasih mereka masing-masing.

Dafin membukakan pintu mobil untuk Nindya, dan tampaknya wanita itu juga tidak keberatan dengan tindakan suaminya. Keduanya memutuskan segera pulang ke rumah setelah mengabari atasan mereka masing-masing.

Sepanjang perjalanan, keduanya tak ada yang membuka suara. Memang sejak menikah, mereka berdua jarang berbicara banyak tak seperti dulu saat keduanya masih kanak-kanak. Nindya tak segan-segan bersikap manja ataupun Dafin yang menjahilinya.

Kini setelah beberapa tahun tak bertemu ataupun saling bertukar kabar lagi, mereka berdua terasa seperti orang asing yang sedang mencoba memulai pengenalan kembali.

“Memang kalau datang bulan sering sakit kayak gini?” tanya Dafin membuka percakapan.

“Iya kadang-kadang kalau telat sih. Cuma kalau sampai pingsan gini baru kali ini.” Nindya menatap ke arah jalan.

Dafin kembali bungkam, ia bingung pula ingin membuka percakapan seperti apa. Jika dengan Tania, ia sudah tahu jika gadis itu memang tak banyak bicara namun ia tak canggung. Tapi jika bersama Nindya setelah pertemuan siang tadi entah kenapa ia menjadi canggung.

“Mas, udah lama kenal sama kak Tania?” Nindya membuka percakapan.

“Tiga tahun lalu, waktu dia baru pindah ke kantor dan saya ditunjuk menjadi perwakilan untuk mengajari dia.”

“Oh, jadi kalian pacaran setelah itu?”

“Tidak juga.”

Nindya tak bertanya lagi, memang sifat Dafin sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Nindya memilih sibuk dengan ponselnya dan tak sadar jika mereka telah sampai di rumah.

Sesampainya di rumah, Nindya dengan cepat masuk lebih dulu ke dalam setelah Dafin membuka kunci pintu. Karena kepalanya masih terasa sedikit pusing, ia pun memilih pergi ke kamarnya tanpa berganti baju dan langsung merebahkan dirinya di kasur.

Dafin yang sedikit khawatir hanya menatap punggung istrinya itu dan memilih membersihkan dirinya sebelum beristirahat.

...***...

Hari sudah petang, Dafin sejak tadi duduk di ruangan televisi kini terlihat duduk gelisah. Sudah dua jam Nindya belumnya juga keluar kamarnya dan membuat Dafin bertambah khawatir.

Dafin ingin melihat keadaan Nindya dan membangunkannya, namun ia merasa canggung untuk masuk ke dalam kamar Nindya. Padahal status mereka kini sudah sah.

Dafin memilih berdiri mengambil minum saat tenggorokannya terasa kering, sambil sesekali menatap ke arah pintu kamar Nindya. Kini Dafin memilih memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar yang memang tidak terkunci.

“Nin,” panggil Dafin.

Tak ada jawaban apapun dari Nindya membuat Dafin memilih mengetuk ulang. Namun beberapa kali ia mengetuk pintu kamarnya, tetap saja tak ada sautan apapun dari wanita itu.

Mungkin karena Nindya masih tertidur, Dafin memilih membiarkannya saja agar perut Nindya membaik. Namun mengingat sudah dua jam wanita itu tertidur, kini Dafin memilih mengetuk pintu kamarnya kembali.

Tidak ada jawaban lagi, Dafin memberanikan diri membuka pintu kamarnya dan pertama yang Dafin lihat di dalam kamar adalah pakaian yang berserakan di lantai. Ia masuk ke dalam dan menatap ruangan kamar yang biasanya dipakai orang tuanya jika berkunjung.

Ia menatap ke kasur dan melihat Nindya yang masih tertidur, dan kebiasaan wanita itu yang tidak berubah sejak kecil adalah tidak suka tidur memakai selimut dan memeluk guling. Melihat Nindya masih terlelap, Dafin memilih memungut baju Nindya yang dilantai dan memasukannya ke keranjang kain kotor.

Setelah sedikit rapih, Dafin duduk di tepi ranjang dan menepuk pelan tangan Nindya untuk membangunkannya. Butuh waktu sedikit lama karena Nindya terus menggeliat dan tampak begitu ngantuk.

“Nin, udah sore.”

“Jam berapa sekarang?”

“Udah masuk Ashar, kamu mandi dulu.” titah Dafin.

Bukannya bangun, Nindya yang nyawanya belum terkumpul seutuhnya malah memberikan keduanya tangannya meminta Dafin untuk menariknya.

Sambil sedikit mengomel, Dafin menarik tangannya “Baju kenapa berserakan di lantai?”

Nindya mengucek matanya kemudian meregangkan ototnya.

“Mas kenapa masuk kamar nggak ketuk pintu dulu?”

“Dari tadi saya ketuk pintu tapi nggak ada sahutan, jadi saya masuk dan lihat kamu masih tidur.”

Nindya bangkit dari kasurnya mencari handuknya dan bersiap untuk mandi, namun karena tertidur cukup lama dan belum sepenuhnya sadar, Nindya oleng dan menabrak bahu Dafin. Untung saja pria itu sigap menahan Nindya yang setelah menabraknya langsung berdiri tegap.

“Maaf, Mas.”

Dafin tak menjawab dan memilih untuk pergi dari kamar Nindya meninggalkan wanita itu yang kini bersiap untuk mandi.

...***...

Hari kian malam, setelah menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing. Dafin bersiap menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Melihat Dafin yang pergi ke dapur, kini Nindya ikut ke dapur.

“Mas, bisa masak?” tanya Nindya.

“Masak omlet saya bisa.”

“Yaelah, gitu doang Nindya juga bisa.” Kata Nindya.

Dafin hanya terkekeh, dan ini kali pertama Nindya melihat Dafin tertawa sejak pertama kali mereka bertemu lagi.

“Perut kamu masih sakit?”

“Masih sedikit keram.”

“Ya sudah, saya aja yang masak, kamu tunggu di sana.”

“Yakin? Nggak mau Nindya bantu?”

“Saya sudah sering masak omlet.”

Nindya mengangguk dan memilih kembali ke ruang televisi menunggu Dafin memasak makan malam untuk mereka.

Beberapa menit, masakan Dafin telah selesai di masak. Nindya yang melihat Dafin menaruh masakannya di meja makan ikut membantunya.

“Ini teh buat kamu biar perutnya agak enakan.” Dafin menyerahkan gelas berisi teh yang tadi ia buat.

“Makasih, Mas.” Nindya meneguknya dengan pelan.

Keduanya mengambil nasi ke piring masing-masing, meskipun hanya omlet yang menjadi menu makan malam mereka hari ini tapi Nindya tak keberatan. Ia menghargai masakannya yang dibuat suaminya tersebut. Hingga suapan pertama masuk kemulutnya, Nindya terdiam.

“Kenapa?” Dafin yang baru menuangkan nasi menatap Nindya heran.

“Agak asin, ya?” Nindya menelan makanannya.

Dafin yang penasaran dengan ucapan istrinya tersebut langsung mencoba omlet buatannya dan ternyata benar saja, masakannya kali ini terasa asin bahkan benar-benar asin. Kenapa bisa se-asin ini masakan yang pertama kali ia buat untuk Nindya.

“Tapi pakai nasi aman kok, nggak begitu asin banget.” Nindya mencoba memakannya lagi namun dengan cepat Dafin menarik sendoknya.

“Jangan dipaksain, ini sangat asin. Biar saya pesan makanan aja.”

“Tapi--,”

“Sebentar, saya pesan ayam bakar. Nggak apa-apa kan tunggu sebentar lagi?” tanya Dafin yang terlihat sedikit tak enak.

“Gapapa, Mas.” Nindya memilih menghabiskan teh yang dibuat Dafin.

Keduanya masih duduk di meja makan, Dafin beberapa kali mengecek ponselnya menunggu pesanannya diantar. Begitu juga dengan Nindya yang kini membalas pesan dari Fahri.

Tak lama bel rumah mereka berbunyi, karena Nindya sudah tidak sabar menunggu pesanan Dafin datang ia langsung berlari lebih dulu untuk membuka pintu dan mengambilnya.

Sambil tersenyum manis, Nindya membuka pintu dan terkejur beberapa saat. Sedangkan Dafin yang merasa pesanannya belum selesai ikut menghampiri Nindya.

“Fahri? Kok bisa di sini?” Nindya terkejut.

“Tadi katanya kamu belum makan malam, jadi aku bawain ayam bakar. Kamu makan ya jangan sampai sakit lagi nanti.” Fahri menyerahkan kantung plastik berisi ayam bakar yang aroma sudah tercium ke hidung mancung Nindya.

“Tapi, aku tadi--,”

“Kamu makan gih, aku balik pulang udah malam. Habisin ya.” Kata Fahri tersenyum sambil mengelus kepala Nindya dan pamit pergi.

Nindya masih terkejut dan bingung. Tadi memang ia bilang belum makan malam saat Fahri bertanya, namun ia tak tahu jika Fahri akan membawakannya ayam bakar dan mengantarkannya malam-malam.

Nindya berbalik dan melihat Dafin yang berdiri dibelakangnya dan membuatnya terkejut. Belum sempat Nindya berbicara, suara driver ojek terdengar dan Dafin langsung berjalan mengambil pesanannya.

“Mas.” Nindya menggaruk kepalanya bingung.

“Kamu dapat ayam bakar dari Fahri, ya sudah makan gih.” Kata Dafin mengunci pintu.

“Tapi, Mas juga udah pesan ayam bakar.”

“Sisanya simpan buat besok aja.”

Nindya mengikuti langkah Dafin menuju meja makan, kini ia bimbang untuk memakan ayam bakar yang mana? Pasalnya yang satu pemberian dari pacarnya dan yang satunya lagi adalah pesanan dari Dafin yang memang sudah lebih dulu mereka pesan.

“Kamu kasih alamat rumah ini?” tanya Dafin penasaran.

Iya juga ya? Nindya juga merasa tidak ingat jika ia memberikan alamat rumah Dafin pada Fahri. Melihat ekspresi bingung dari Nindya, Dafin tak bertanya lagi.

“Nindya mau makan ayam bakar yang di pesan Mas tadi aja.”

“Terus yang itu?”

“Buat besok aja deh kalau bisa di angetin.”

Dafin hanya diam tak menghiraukan, ia membiarkan Nindya memilih sendiri karena memang awalnya  mereka memesan ayam bakar lebih dulu sebelum tahu Fahri akan mengantarkan makanan yang sama.

Keduanya kini sibuk makan, sesekali Nindya terlihat sibuk dengan ponselnya saat ada beberapa suara notif terdengar. Sedangkan Dafin yang sejak tadi mencoba makan dengan tenang kini mengeluarkan ponselnya di saku celananya yang tiba-tiba berbunyi.

Ia merogoh ponsel di sakunya dan melihat siapa yang mengirim pesan beberapa kali padanya. Melihat notif dari Tania, Dafin sempat menatap ke arah Nindya yang sedang menikmati makanannya.

Dafin membuka pesan whatsapp dari Tania dan membalasnya dengan cepat. Ia menatap Nindya kembali, sekarang ia tahu dari mana Fahri mengetahui rumahnya. Ternyata ia membujuk Tania untuk memberikan alamatnya. Entah Dafin merasa cemas atau takut kedepannya setelah Fahri mengetahui rumah yang dihuni mereka.

Meksipun pernikahan keduanya memang dijanjikan berjalan tiga bulan, namun tetap saja hati Dafin merasa tak tenang padahal keduanya belum memiliki rasa cinta dan masih terikat perasaan dengan orang lain. Dafin memilih tak pedulikannya, ia menyendok nasi dan menaruhnya di piring Nindya yang kini menatapnya bingung.

“Nambah lagi, ayamnya masih banyak.” Kata Dafin yang mengetahui jika Nindya sangat suka dengan ayam bakar.

...°°°°...

...Jadi bimbang kan diposisi Nindya. Yang satu ayam bakar dari pacarnya yang satu pesanan suaminya wkwkwk......

...Semoga banyak yang suka dengan cerita ini ya.....

...Jangan lupa kasih bintang dan komentarnya ❤️❤️...

...18 September 2022...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!