PAGI ini suasana berbeda diselimuti duka. Sejak semalam saat jenazah Ayah Nindya tiba di kediamannya, wanita itu yang kini sudah resmi berstatus istri Dafin hanya terdiam sambil menyadar pada dinding dan menatap kosong.
Beberapa orang yang datang untuk mengucapkan belasungkawa hanya bisa menatap iba pada Nindya. Wanita itu benar-benar kehilangan orang yang paling ia cintai yang selalu memanjakannya.
Dafin yang sejak tadi mencoba menyambut beberapa sanak saudara yang mulai berdatangan dari luar kota hanya bisa sesekali menengok ke arah istrinya. Untungnya beberapa kerabat dekatnya sudah mengetahui kabar pernikahan dirinya dan Nindya kemarin sore.
"Dafin, kamu temani Nindya. Dari kemarin dia belum makan dan minum apapun." Pinta Mamah Dafin yang menatap sendu menantunya itu.
Dafin yang masih belum menerima statusnya menjadi suami Nindya dan masih terpikirkan kabar pacarnya Tania yang kemarin sore menyaksikan ijab kabul mereka hanya bisa mencoba melawan kata hatinya. Ia berjalan mengambil minuman gelas dan menghampiri Nindya yang matanya sudah bengkak dan hidungnya memerah.
"Minum dulu, nanti kalau sampai sakit kasihan Ibu."
Nindya menatap Dafin sekilas dan mengambil minum dari tangan lelaki yang sejak kemarin sore telah resmi menjadi suaminya itu. Rasanya sangat sakit bagi Nindya, jika memang Ayahnya menginginkan dirinya dan Dafin menikah bisakah mengadakan sedikit pesta dan Ayahnya menjadi walinya?
Nindya menatap jari manisnya tersematkan cincin dari Dafin, iya yakin cincin tersebut akan digunakan suaminya untuk melamar kekasihnya. Tapi dalam sekejap keadaan berubah, apa yang direncanakan tak sesuai harapan, justru cincin tersebut kini menjadi miliknya.
Dunia Nindya benar-benar berubah dalam sekejap. Ayahnya pergi dengan begitu cepat dan dirinya kini resmi menikah dengan Dafin hanya dalam waktu beberapa hari setelah mereka bertemu kembali.
...***...
Acara pemakaman telah selesai, Nindya pergi beristirahat di kamarnya disusul Dafin yang dipinta untuk menemani istrinya tersebut.
Dafin yang sudah hafal letak kamar Nindya yang tak pernah berubah sejak beberapa tahun terakhir itu langsung membuka pintu kamar Nindya yang tidak terkunci. Ia menatap keadaan kamar wanita itu yang semuanya tetap terlihat sama sejak terakhir Dafin berkunjung.
Beberapa foto kelulusannya terpanjang rapih di dinding dan foto dirinya bersama Nindya saat masih kecil pun masih terpanjang di sana. Dafin berjalan ke arah rak buku yang sedikit berantakan. Ia sangat tahu jika Nindya gemar mengoleksi beberapa novel terjemahan dan novel best seller meskipun kadang butuh beberapa bulan untuk selesai membacanya.
Dafin merapihkan letak buku tersebut dan setelahnya ia berjalan ke arah ranjang menatap Nindya yang terlihat tertidur gelisah. Ia tak tahu harus bagaimana menjalani kehidupan selanjutnya. Kedatangannya untuk pulang ke Bandung sebenarnya untuk meminta restu orang tuanya melamar Tania, namun saat sampai di Bandung ia mendapat kabar Ayah Nindya masuk ke rumah sakit.
Beberapa hari ia berada di Bandung sampai kabar perjodohan Ayah Nindya tersampaikan membuat Dafin benar-benar gundah. Jika saja ia tak pulang ke Bandung kemarin, apakah pernikahan dirinya dan Nindya tidak akan terjadi?
"Ayah--," ngingau Nindya.
Dafin yang hendak menyelimuti Nindya kini menyentuh pipi wanita itu dan membangunkannya. Dan tak lama, Nindya membuka mata dan menatap sedikit terkejut saat Dafin berdiri di hadapannya.
"Kamu ngingau."
Nindya langsung duduk dan merapihkan rambutnya. Dafin duduk di ranjang Nindya sambil mengalihkan pandangannya menatap ruangan kamar.
"Mas, kenapa di sini?"
"Ibu suruh saya temani kamu."
Ah, Nindya lupa jika dirinya dan Dafin sudah resmi menikah. Nindya terlalu sulit menerima kenyataannya.
"Tadi di bawah, saya lihat Fahri datang."
"Dia ke sini?"
"Sepertinya dia masih di bawah."
Nindya masih terdiam, ia bingung harus bagaimana. Sejujurnya ia masih takut bertemu dengan Fahri yang masih menjadi kekasihnya itu. Bahkan Fahri sendiri menyaksikan langsung dirinya dan Dafin saat ijab kabul, meskipun itu bukan keinginannya.
"Kak Tania gimana?" tanya Nindya.
"Saya sudah menghubunginya, tapi ponselnya tidak aktif." Jujur Dafin.
Kini keduanya sama-sama terdiam, dalam duka yang mendalam mereka juga merasakan rasa sakit karena menghianati kekasih masing-masing. Tapi, apakah sekarang hubungan pernikahan mereka penting? Keduanya tak punya perasaan yang sama.
"Kamu mau temui dia? sepertinya dia masih menunggu untuk bertemu kamu langsung." Kata Dafin.
"Apa nggak apa-apa Nindya ketemu Fahri?"
"Bukankah hubungan kalian masih terjalin? Saya tidak akan ikut campur urusan kalian."
Nindya bangkit dari kasur dan berjalan keluar kamar, ia sudah menyakiti Fahri dan ia harus bertanggung jawab untuk hal ini. Tanpa peduli dengan Dafin yang sedang sibuk mengecek ponselnya untuk menghubungi Tania. Keduanya hanya memiliki status tanpa perasaan, apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja setelahnya?
...***...
Seminggu berlalu setelah kepergian Ayah Nindya untuk selama-lamanya kini keadaan mulai kembali semula, namun hubungannya dengan Dafin masih terjalin.
Setelah seminggu lebih Dafin mengambil cuti kerjanya, kini ia harus kembali bekerja dan kembali ke rumahnya yang sudah ia beli empat tahun lalu. Namun kini Dafin kembali bukan hanya ingin menyelesaikan masalahnya dengan Tania, ia juga harus membawa serta Nindya yang sudah menjadi istrinya.
Awalnya Nindya menolak untuk ikut tinggal bersama Dafin. Mereka juga menunda resepsi pernikahan yang sudah direncanakan untuk diadakan dua minggu lagi namun Ibu dan orang tua Dafin kompak menentang keinginan Nindya. Mereka meminta Nindya tinggal bersama Dafin dan mereka setuju dengan keinginan Nindya dan Dafin untuk menunda resepsi pernikahan.
Dan hari ini, Nindya sudah mengemas beberapa pakaiannya dan sedikit novel untuk ia baca nanti. Ia tak tahu kapan akan kembali ke Bandung setelah Dafin membawanya pergi. Ini bukan keinginannya juga bukan keinginan Dafin. Ia tak menyangka semuanya cepat terjadi.
"Dafin, Ibu titip Nindya. Kalian memang sudah saling kenal, tapi sifat Nindya mulai berbeda. Ibu berharap kamu bisa menjaga dia dengan baik." Kata Ibu Nindya.
"Dafin akan berusaha menjaga Nindya." Kata Dafin sambil mencium tangan Ibu mertuanya.
Nindya yang merupakan anak tunggal di keluarnya kini memeluk Ibunya dengan erat. Ia tak tahu jika dirinya akan secepat ini meninggalkan rumah, terlalu banyak kenangan yang tercipta bahkan bersama Ayahnya. Mungkin sudah takdir Tuhan, lepas Ayahnya pergi saat itu juga ia di bawa pergi untuk menjalani kehidupan barunya.
...***...
Nindya dan Dafin sudah tiba di rumah. Selama Dafin bekerja, ia sudah bisa membiayai kuliah dan juga membeli rumah yang sudah ia tempati tiga tahun terakhir.
Nindya masih terdiam di mobil, sedangkan Dafin sudah sibuk mengeluarkan beberapa barang yang Nindya bawa. Entah apa yang dipikirkan wanita itu, Dafin sejujurnya merasa berat membawa Nindya ke rumahnya. Dulu dirinya membeli rumah tersebut untuk ia tempati bersama Tania kelak, tapi sekarang justru Nindya yang menjadi ratu di rumahnya.
"Kamu nggak mau masuk?" tanya Dafin membuka pintu mobil.
Nindya yang tersadar dari lamunannya, kini langsung turun dari mobil dan menatap rumah minimalis milik Dafin. Ini kali pertama dirinya menginjakkan kaki di rumah pria itu. Selama Dafin lulus sekolah dan mulai bekerja, mereka memang jarang berkomunikasi lagi dan ia hanya sedikit tahu informasi jika Dafin membeli rumah dan mobil.
Nindya mengira jika Dafin bekerja di luar kota, tapi kenyataannya Dafin sudah pindah ke kota yang sama sejak dua tahun lalu dan hanya berjarak beberapa jam saja dari rumah Nindya dulu. Lihatlah, Nindya benar-benar tidak tahu apapun mengenai suaminya saat ini.
Dafin membuka pintu rumahnya dan dari dalam terlihat sangat rapih, pria itu meksipun sibuk bekerja dan tinggal sendirian. Namun ia sangat rajin untuk membersihkan rumah. Nindya masih ingat kebiasaan lelaki itu yang sangat rapih.
"Mas, Nindya ingin bicara." Nindya masih berdiri diambang pintu.
Dafin yang membawa koper Nindya kini terhenti dan menoleh kebelakang. Dafin menatap Nindya dan ia pun memilih berjalan ke arah sofa dan duduk di sana.
"Duduklah."
Nindya duduk di sofa di hadapan Dafin.
"Mas, apa pernikahan kita masih tetap berjalan baik?" Nindya menatap Dafin serius.
Dafin menatap Nindya sejenak. Ia bingung menjawab pertanyaan wanita itu.
"Gimana perasaan kamu sama Fahri?"
"Nindya masih sayang sama Fahri dan dia juga sudah mendengar semua penjelasan Nindya."
"Apa dia masih mau menjalin hubungan sama kamu meski kita sudah menikah?" tanya Dafin serius.
"Fahri bilang, dia masih cinta sama Nindya dan belum rela putus. Dan Nindya nggak tahu harus gimana."
Dafin menghela nafasnya, ia kemudian mengambil ponselnya dan memberikannya pada Nindya.
Nindya yang bingung saat Dafin memberikan ponselnya langsung membaca isi chat yang ditampilkan pria itu.
"Jadi, Kak Tania masih menunggu Mas Dafin?" tanya Nindya sambil memberikan kembali ponselnya.
"Saya sudah jelasin semuanya dengan dia. Dan Tania mengerti posisi saya, dia awalnya tetap ingin menyudahinya. Tapi hubungan dan perasaan kami tidak semudah itu berakhir." Dafin menghela nafasnya.
"Tania masih menunggu saya, dan kita berdua ada di posisi yang sama." lanjut Dafin.
Entah mengapa, kini Nindya justru merasa legah. Ia pikir perasaannya saja yang egois karena masih ingin mempertahankan perasaannya untuk Fahri di saat dirinya sudah menikah, tapi kini Dafin juga sama. Bukankah pernikahan ini salah?
"Mas, jadi pernikahan kita bagaimana?"
"Orang tua kita sangat bahagia dengan pernikahan ini, tapi tidak dengan perasaan kita. Saya sudah mempertimbangkan. Kita tetap menjalani pernikahan ini untuk sementara, saya akan tetap menjalani kewajiban saya sebagai suami untuk membiayai kebutuhan hidup kita dan untuk hal lainnya kita jalani masing-masing." jelas Dafin.
"Terus, Nindya masih boleh berhubungan dengan Fahri?"
"Asal tidak melakukan hal diluar batas. Ingat kamu masih istri saya."
"Tapi Mas juga sama Kak Tania masih pacaran."
Kini Dafin terdiam, ia juga bingung bagaimana hubungannya dengan Tania kedepannya. Memang mereka tidak ada kata putus dan Tania juga hanya bilang masih menunggu Dafin, begitu juga dengan Fahri yang mengatakan masih menunggu Nindya.
Lalu, apakah rumah tangga mereka yang sudah sah nanti akan baik-baik saja dengan mencintai orang lain?
"Mas, kalau kamar?" tanya Nindya.
"Ada dua kamar, kamu bisa pakai kamar tamu."
"Beneran? Kalau gitu mari kita bikin perjanjian." kata Nindya kembali bersemangat.
"Perjanjian apa?"
"Kita lakukan pernikahan ini selama 3 bulan sampai 100 harinya Ayah. Nindya akan tetap melakukan kewajiban sebagai istri, memasak dan lainnya kecuali untuk kewajiban suami-istri. Dan lepas itu, mari kita selesaikan pernikahan ini, Mas. Dan Mas Dafin boleh kembali ke pelukan kak Tania. Mas nggak usah khawatir soal orang tua kita, mereka juga akan mengerti perpisahan kita karena bagaimana pun dari awal kita tidak saling mencintai." kata Nindya.
Dafin terdiam dan mencerna ucapan Nindya. Apakah kini mereka sedang berunding untuk kontrak pernikahan? Apakah ini benar? Tapi dalam hati paling dalam Dafin benar-benar peduli dengan Nindya tapi soal perasaan, Dafin tak bisa bohongi jika masih mencintai Tania.
"Kalau begitu, mari kita coba. Saya tidak akan melarang dan ikut campur urusan kamu. Kita jalani kehidupan masing-masing, tapi ingat, kamu tetap dalam pengawasan saya." kata Dafin.
"Oke, kalau gitu perjanjian kita sudah dimulai dari sekarang." kata Nindya jari kelingkingnya.
Dafin tersenyum dan mengangkat jari keliling kanannya untuk perjanjian mereka. Mulai hari ini mereka akan memulai kehidupan baru dengan status yang sah namun dengan perasaan yang berbeda.
...°°°...
...Terimakasih yang sudah membaca kelanjutannya....
...Kalau ada typo, mohon ditandai ya ❤️...
...24 Juni 2022...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments