Rencana Orang Tua

Ini adalah kali kedua Nindya dan Dafin tidur satu ranjang lagi setelah hampir sebulan mereka menikah. Dulu pertama kali mereka tidur satu ranjang masih diselimuti duka oleh kepergian ayah Nindya, tapi kalau sekarang situasinya berbeda.

Ada perasaan tak menentu yang Nindya rasakan saat ini. Ini kali pertamanya tidur di ranjang miliki Dafin yang ukuran lebih besar dari ranjangnya dan mereka berdua sudah berada di kasur yang sama dengan kegiatan yang berbeda.

Sejak tadi Dafin menyibukkan dirinya dengan membaca komik sambil sesekali mengecek ponsel dan mengetik sesuatu yang mungkin sedang membalas sebuah pesan entah dari pacar atau rekan. Sedangkan Nindya sejak tadi menyibukkan diri dengan menonton drama Korea yang sebelumnya sudah ia download dengan akses wi-fi kantornya.

Karena insiden tadi siang, keduanya mendadak canggung satu sama lain. Bahkan siatuasi mereka harus satu kamar ini benar-benar membuat keduanya tak berbincang satu sama lain.

Meskipun mata Nindya fokus menatap layar ponsel yang menampil oppa-oppa dengan pakaian hanbok, tapi pikiran Nindya justru berkelana pada kejadian tadi siang. Bayangan dirinya yang tiba-tiba duduk di paha Dafin tersebut benar-benar sulit Nindya lupakan.

“Masih mau nonton?” tiba-tiba Dafin memecahkan keheningan.

“Kenapa?”

Dafin berjalan ke arah rak bukunya dan menyimpan kembali komik yang sudah ia baca tersebut.

“Saya mau tidur.”

Nindya mem-pause drama yang ia tonton dan menatap bingung pada Dafin.

“Saya mau matikan lampunya,” jelas Dafin yang akhirnya membuat Nindya tersadar.

Gara-gara kejadian tadi siang, pikiran Nindya sulit sekali untuk berjalan baik. Lagi pula kenapa Dafin tidak berbicara dengan jelas dan berhenti pada satu kalimat yang membuat Nindya harus memikirkan maksudnya.

“Matiin aja lampunya, Nindya suka nonton gelap-gelapan.”

“Kamu nggak nonton yang aneh-aneh, kan?” selidik Dafin.

“Ya ampun, Mas ini lihat cuma nonton drama korea kok. Nggak ada yang aneh-anehnya.”

Dafin tak menjawab lagi setelah melihat layar ponsel wanita itu yang menampilkan pria dengan pakaian jaman kerajaan sedang menunggani kuda.

Karena sudah mendapatkan jawaban setuju dari Nindya, kini Dafin mematikan lampu kamarnya dan tidur memungunggi Nindya. Rasanya memang aneh untuk Dafin tidur seranjang dengan istrinya itu.

Kalau ia harus mengalah, rasanya tak mungkin dia harus tidur di bawah beralaskan tikar saja apalagi di kamarnya sendiri. Yang ada badannya pegal-pegal dan kedua Ibu mereka akan curiga nantinya.

Mata Dafin sulit terpenjam karena rasa mengantuknya belum datang. Dan sebuah pergerakan dari Nindya cukup membuat terkejut dan langsung berbalik menatapnya.

“Guling buat jaga-jaga.” jelas Nindya yang baru saja meletakan guling di tengah-tengah mereka.

“Jaga-jaga buat apa? Kamu aja tidurnya nggak bisa diam.” Dafin sudah mengubah posisi tidurnya menghadap Nindya yang posisinya juga sama berhadap-hadapan.

“Ih, Mas Dafin sok tahu banget. Emang pernah lihat Nindya tidur gimana?”

Dafin tersenyum kecil menertaiwai Nindya, “Bukan kali ini kita tidur bareng. Terakhir waktu pertama kita nikah kaki kamu udah sampai di dada saya.”

Oh iya, Nindya sekarang merasa gugup dengan ucapan Dafin soal ‘Tidur Bareng', rasanya terdengar menggelikan untuk Nindya dengar.

“Ya makanya pasang guling di sini takut kaki Nindya malah sampai ke muka Mas Dafin kan bahaya.”

“Ya kita lihat nanti, saya nggak yakin guling ini bisa menyelamatkan saya dari keganasan serangan Nindya saat tidur.” Dafin mencoba menutup matanya agar menghentikan obrolan mereka.

Sebal dengan kalimat Dafin yang seolah menyindir gaya tidurnya yang urakan sekali, Nindya tanpa merasa bersalah menjewer kuping pria itu yang membuatnya langsung teriak dan kembali membuka matanya.

“Aww, Nindya ngapain?” Dafin kembali duduk dan mengusap kupingnya yang terasa panas karena jeweran istrinya.

“Mas Dafin sok komentarin tidur Nindya kayak yang tidurnya sopan banget padahal ngoroknya udah bikin cicak insicure buat cari mangsa.” Jelas Nindya.

Tak terima mendapat jeweran, Dafin langsung menjepit hidung Nindya dengan jarinya. Ia adalah kebiasaan lamanya untuk membalas wanita itu.

“Ih Mas Dafin, Nindya nggak bisa nafas.” Teriaknya meminta Dafin melepaskan tangannya.

“Minta maaf dulu nggak?” ancam Dafin.

Nindya memukul-mukul lengan Dafin agar melepaskan tangannya, tapi sayang tenaga pria itu jauh lebih besar. Dan hal yang Nindya lakukan untuk melepaskannya adalah dengan mendorong pria itu hingga tertidur di kasur dan cubitan Dafin di hidungnya juga sudah terlepas.

“Hidung Nindya udah mancung ya jangan di tarik-tarik terus, lama-lama kalau mancung kayak Pinocchio gimana?” omelnya yang kini tanpa sadar ikut terjatuh di pelukan Dafin.

Belum sempat Dafin berbicara, dari luar kamar terdengar teriakan emak-emak yang mengetuk pintu kamar mereka.

“Dafin tolong pelan-pelan aja jangan bikin Nindya jerit-jeritan.” suara dari Mamah Dafin membuat keduanya saling bertatapan.

“Tuh dengerin Mas, jadinya di omelin?” kata Nindya yang tak mengerti apa yang dimaksud sebenarnya oleh Mamah mertuanya.

“Kita tidur sekarang!” titah Dafin yang mengerti maksud ucapan dari Mamahnya itu.

Nindya sudah membaringkan dirinya di sebelah Dafin dan juga menyimpan ponselnya. Tapi baru hendak menutup matanya, hidungnya kini terasa gatal dan membuatnya bersin-bersin hingga tiga kali.

“Kamu baik-baik aja, kan?” tanya Dafin khawatir.

“Tangan Mas Dafin banyak bakterinya, jadi hidung Nindya gatal.” Nindya membalikan badannya memunggugi Dafin yang saat ini tersenyum.

...***...

Hari sudah berganti pagi, bahkan suara perbincangan dari dua wanita yang umurnya sudah masuk setengah abad itu sudah terdengar sejak tadi. Hanya saja tak ada yang membuat pasutri yang masih terlelap dengan nyenyak itu bergerak sama sekali.

Biasanya jam enam pagi keduanya sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing di kamar berbeda, tapi pagi ini keduanya masih memasuki alam mimpi yang begitu indah dari dunia nyatanya.

Keduanya masih berada di selimut yang sama dengan posisi yang juga sama menghadap ke arah kiri. Tangan Nindya sudah erat memeluk guling yang sebelumnya direncanakan sebagai benteng membatasi mereka tapi kenyataannya sekarang sudah berubah begitu terlelap.

Sedangkan tangan kanan Dafin tampak nyaman memeluk pinggang Nindya dengan erat seolah wanita itu adalah penganti guling ternyamannya yang membuat tidurnya semakin nyenyak meski matahari sudah terbit dari arah timur.

Terlelap dalam mimpi yang indah, suara getaran ponsel dari Dafin membuat pergerakan dari keduanya. Mata mereka perlahan terbuka dengan posisi yang belum berubah.

“Kamu, di sini?” Dafin begitu terkejut menyadari tangannya sudah berada di pinggang Nindya dan memeluknya. Sudah berapa lama ia melakukannya?

Berbeda dengan ekspresi dari Nindya, saat ini wanita itu mengusap matanya dan menatap ke arah Dafin sekilas. Melihat pria itu langsung duduk dan mengecek ponselnya, Nindya mempererat pelukannya pada guling dan kembali menutup matanya karena rasa kantuknya yang masih belum hilang.

Dafin baru saja mendapat notifikasi pesan yang di kirim oleh kekasihnya, Tania. Karena hari ini adalah hari sabtu mereka berdua sama-sama libur dan itulah juga alasan keduanya memilih bangun lebih lambat.

“Nin, nggak mau bangun?” tanya Dafin meletakkan kembali ponselnya.

“Masih ngantuk.” Jawabnya yang masih menutup matanya.

“Udah siang, Ibu sama Mamah sudah tunggu kita.”

Mendengar suara Dafin yang menyebutkan Ibunya, mata Nindya kini terbuka sempurna. Iya hampir lupa jika ia sudah berkorban tidur di kamar Dafin karena Ibu dan mertuanya menginap di sini.

Dengan posisi telentang, Nindya menatap Dafin yang sudah berdiri bersiap keluar untuk mencuci mukanya.

“Bangun sebelum mereka panggil.” kata Dafin.

“Bantuin.” Nindya merentangkan tangannya meminta Dafin menariknya agar terduduk.

Tak mau berdebat di pagi hari dan terdengar oleh kedua ibu mereka, akhirnya Dafin menurut saja menarik tangan Nindya hingga posisi terduduk.

“Kamu nggak buat pulau di bantal saya, kan?” Dafin langsung memeriksa bantalnya yang dipakai oleh Nindya.

“Kalau buat pulau juga bagus, nanti bisa di jual.” kata Nindya yang masih menguap.

Dafin menyentil kening Nindya, nyawanya belum terkumpul semuanya masih bisa saja menjawab ngada-ngada. Dari pada lama, Dafin memilih meninggalkan istrinya itu dan pergi keluar kamar lebih dulu.

“Jangan lupa bereskan dulu kamarnya sebelum keluar.” titah Dafin.

“Baik Yang Mulia,” jawab Nindya sambil menunduk untuk menggoda Dafin.

Mendengar jawaban istrinya tersebut, Dafin menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Nindya.

“Jangan banyak nonton drama Korea.” Katanya sebelum menghilang dibalik pintu.

Nindya hanya mengangkat bahunya acuh mendengar larangan Dafin. Mencoba melarangnya menonton drama tapi dia sendiri masih hobby membaca komik apalagi komik Shincan.

Tak mau kena omel suaminya, Nindya akhirnya merapihkan tempat tidur sebelum ia beranjak keluar kamar dan siap-siap untuk kembali berakting menjadi pasutri di depan Ibu dan mertuanya.

...***...

“Kalian libur kerja nggak ke mana-mana memangnya?” Mamah Dafin membuka suara saat keduanya sedang berada di meja makan.

“Libur waktunya kita istirahat di rumah, Mah.” jawab Dafin.

“Iya, tapi sesekali jalan-jalan keluar nggak apa-apa, kalian kan belum pacaran dulu langsung nikah.”

“Tapi kita suka pacaran kok di rumah,” jawab Nindya yang membuat Dafin melongo menatapnya.

“Pacaran di rumah itu ngapain aja?” Ibu Nindya tiba-tiba penasaran dengan jawaban anaknya.

“Kita lebih sering ngabisihin waktu di kamar, ya kan, Mas?” jawab Nindya tanpa beban dan menatap Dafin yang justru tersedak.

Padahal yang Nindya maksud sebenarnya adalah menghabiskan waktu di kamar masing-masing, tapi mungkin bagi kedua Mamah mereka mungkin jawaban Nindya terdengar sangat ambigu.

Ibu dan Mamah Dafin yang mendengar jawaban santai dari Nindya kini saling bertatap sambil tersenyum penuh arti. Mungkin bagi kedua orang tua tersebut pernikahan mendadak mereka ternyata berjalan dengan baik bagi keduanya.

Wajah Dafin sudah memerah merasa malu dengan kalimat yang Nindya sampaikan itu, apakah istrinya itu masih saja begitu polos dan berbicara apa adanya? Seharusnya Dafin melakukan briefing dulu tadi pagi agar jawabam Nindya tidak sekenanya.

“Ekhem, oh iya ngomong-ngomong gimana rencana resepsi kalian berdua? Kalian udah hampir sebulan nikah tapi belum ngadain resepsi,” Mamah Dafin menatap keduanya bergantian.

Kali ini Nindya tak bisa menjawab pertanyaan dari mertuanya itu, pandangan matanya yang tadi fokus pada makanan yang tersaji kini beralih menatap Dafin yang menatapnya sekilas.

“Kita lagi cari waktunya, lagi pula butuh waktu dan persiapan yang banyak dan kita masih ada banyak kerjaan.” Dafin menatap Nindya mengisyaratkan agar wanita itu juga membuka suaranya.

“Nindya masih ada proyek yang lagi dikerjakan jadi belum ada waktu untuk nyiapin acara resepsi,” kali ini Nindya tak berbohong karena memang ia sedang ditekan oleh proyek baru yang ia terima.

“Ibu tahu kalian sibuk dengan kerjaan, meskipun resepsi bukan kewajiban tapi kalau kita bisa dan mampu kenapa tidak diadakan apalagi kalian juga pasti ingin punya kenang-kenangan dan undang teman.”

Nindya dan Dafin kini terdiam, mereka bahkan belum mendiskusikan lagi hal ini sebelumnya. Padahal mereka sudah tahu kalau kedua orang tuanya sangat sepakat untuk mengadakan resepsi.

“Iya, Mamah takutnya keburu Nindya hamil nanti malah jadi bahan gosip orang-orang yang nggak tahu. Kalau kalian sibuk, kita berdua bisa ngatur semuanya.”

Keburu hamil gimana? Seranjang saja tidak pernah. Nindya dan Dafin kali ini merasa kikuk dengan obrolan orang tua mereka.

Mereka sepakat untuk mendiskusikan tentang resepsi mereka dilain waktu karena bersama orang tua mereka. Lagi pula keduanya juga akan pulang tepat di 40 harian Ayah Nindya.

Tapi meski begitu, mereka berdua tak bisa menyembunyikan rasa khawatir soal resepsi pernikahan. Bukan soal biaya yang siap dibantu pula oleh orang tua mereka, tapi undangan yang akan tersebar dan akan membuat pernikahan mereka akhirnya diketahui teman-temannya.

Nindya dan Dafin mungkin akan diberi predikat sebagai penghianat karena menikah disaat mereka masih memiliki tambatan hati masing-masing dan masih menjalani hubungan sampai sekarang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!