Mentari mulai menampakkan sinarnya. Fahri perlahan mengerjapkan mata. Samar-samar ia melihat Sifa yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di tubuhnya, serta rambut yang basah.
"Mas Fahri sudah bangun?" tanya Sifa berjalan menuju ke lemari. Mengambil pakaian yang ada di lemari tersebut untuk ia kenakan.
"Iya," timpal Fahri singkat seraya mengusap matanya.
"Aku melihat ada obat-obatan serta kantong plastik yang berisi makanan ringan. Mas Fahri bisa membeli itu semua, apa Mas Fahri sudah terima gaji?" tanya Sifa dengan mata yang berbinar.
Fahri tersenyum miring. Bukankah istrinya sudah menyebutkan obat-obatan? Seharusnya yang ia tanyakan bukanlah masalah gaji, melainkan kondisi kesehatan sang suami.
"Aku dibayar harian. Lagi pula uangnya belum terkumpul banyak. Apakah kamu sudah ingin memintanya?" tanya Fahri.
"Iya, Mas. Uang gaji kemarin sudah habis. Lagi pula aku juga belum terima gaji dari tempat kerja," tutur Sifa seraya mengerucutkan bibirnya. Wanita tersebut telah berpakaian lengkap. Dan saat ini tengah mengeringkan rambutnya yang basah.
"Sepertinya uang lebih penting dari pada aku. Kamu bahkan tidak menanyakan kondisi ku saat ini, Sifa." Fahri berkata dalam hatinya.
Ia merasa benar-benar diacuhkan oleh sang istri. Bahkan orang asing yang tak ia kenal pun masih memiliki hati nurani untuk membelikannya obat dan menanyakan kondisinya. Sementara istrinya? Yang ada di pikirannya hanyalah uang, uang, dan uang.
Setelah mengkonsumsi obat yang diberikan oleh Arumi semalam, kondisi Fahri sudah lumayan membaik. Kepalanya tak lagi merasa terlalu pusing.
Pria tersebut bangkit dari pembaringannya, ia kemudian mengambil dompet yang ada di dalam laci nakas. Ia pun memberikan upah yang diterimanya selama bekerja di toserba.
"Cuma segini, Mas?" tanya Sifa setelah menghitung uang pemberian Fahri.
"Mau berapa banyak? Lagi pula Mas belum ada satu bulan bekerja di sana. Kamu juga tidak menanyakan kondisi Mas saat ini. Yang kamu tanyakan hanya uang saja," gerutu Fahri. Ia mulai kesal dengan sikap istrinya yang semakin hari semakin parah.
"Kenapa kamu marah padaku, Mas? Apa kamu tidak ikhlas memberikan uang ini padaku? Yang seharusnya marah itu aku, Mas. Kamu tak pernah mencukupi kebutuhanku! Aku lelah hidup dalam lingkaran kemiskinan ini, Mas!" tukas Sifa.
"Aku ikhlas memberikanmu nafkah. Aku ikhlas membanting tulang untuk mencukupi kehidupanmu, Sifa. Tapi ... tolong kamu hargai sedikit saja aku. Jika suami pulang, seharusnya kamu sambut aku. Aku tahu jika kepulanganku sudah cukup larut. Tapi, kamu bisa mengantarkan makanan untukku ke toserba. Bukankah kamu tahu di mana tempatku bekerja?" keluh Fahri. Ia merasa sikap Sifa sudah benar-benar keterlaluan.
Mendengar ucapan suaminya, Sifa tertawa keras dengan tatapan tajam. "Jadi menurut Mas Fahri, Aku lah penyebabnya? Seharusnya kamu mikir, Mas. Yang salah itu kamu bukan aku!" ketusnya.
Fahri tak ingin lagi berdebat terlalu panjang dengan istrinya. Ia memilih untuk meninggalkan sang istri, laki kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Fahri menghela napas dengan berat. Sifa tak bisa diberi masukan sedikitpun. Bahkan jika Fahri menegur istrinya, pasti akan berujung dengan adu mulut. Dan Fahri enggan untuk melakukan hal itu.
BRAKKK ...
Fahri cukup terkejut dengan suara keras yang baru saja di dengarnya. Ia dapat menebak, bahwa Sifa saat itu tengah membanting pintu keluar dari kamar.
Setelah usai membersihkan dirinya. Fahri pun keluar dari kamar mandi. Ia tak melihat keberadaan Sifa di dalam kamar. Pria tersebut langsung mengenakan pakaiannya, bersiap untuk pergi ke kantor.
Saat menuju dapur, ia tak menemukan apapun. Jangankan makanan, secangkir kopi pun tak ada di atas meja makan. Hanya ada obat-obatan serta makanan ringan yang masih terbungkus rapi di dalam kantong plastik yang ia bawa kemarin.
Pria tersebut membuka isi kantong plastik itu. Ia teringat selain makanan ringan, gadis semalam juga membeli beberapa bungkus roti. Fahri pun membuka plastik tersebut. Dan benar saja, ada dua bungkus roti di dalam kantong plastik itu.
Fahri mengambil satu bungkus roti. Memakan roti tersebut hingga habis, lalu kemudian mendorongnya dengan segelas air putih. Pria itu pun keluar dari rumahnya menuju ke kantor dengan berjalan kaki.
Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, Fahri tiba di depan kantor. Ia melihat beberapa rekan kerjanya memiliki kendaraan masing-masing, sementara pria tersebut hanya memiliki dua kaki yang menjadi acuannya untuk pulang dan pergi.
"Andaikan saja aku memiliki harta yang cukup, mungkin Sifa tidak akan memandangku sebelah mata," batin Fahri.
Fahri mengambil saputangannya di dalam saku, menyeka keringatnya sebelum memasuki gedung yang ada di hadapannya. Pria itu kembali memasukkan saputangan tersebut ke dalam sakunya. Ia melihat satpam yang tengah berjaga di tempat itu tersenyum ramah padanya.
"Wah Pak Fahri, kenapa tidak naik taksi saja, Pak. Gaji dari kantor dapat, dari toko juga dapat," ujar Satpam tersebut.
"Gaji saya serahkan semua ke istri, Pak. Biasa untuk kebutuhan sehari-hari," timpal Fahri seadanya.
Satpam tersebut hanya mengangguk seraya menepuk bahu Fahri pelan. "Kalau untuk keperluan anak sekolah memang selalu kurang, Pak. Tapi mau bagaimana lagi, pendidikan itu nomor satu."
"Maaf, Pak. Tapi saya belum memiliki anak," celetuk Fahri.
"Kalau begitu saya minta maaf, Pak. Saya kira Pak Fahri sudah memiliki anak. Duh, jadi tidak enak," ujar Satpam tersebut.
Fahri langsung merangkul pundak satpam yang saat ini tengah tertunduk karena merasa ucapannya terlalu lancang.
"Tidak apa-apa, Pak. Jangan merasa bersalah seperti itu," ucap Fahri seraya mengulas senyum.
"Ya sudah, kalau begitu saya ke atas dulu. Takut nanti ada Pak Indra datang," lanjut Fahri.
Satpam tersebut mengangguk pelan seraya menatap kepergian Fahri yang mulai melangkah pergi.
Fahri berjalan masuk ke dalam lift. Ada beberapa orang yang sudah berada di sana. Karena Fahri masuk paling akhir, ia pun memencet tombol lift tersebut.
Pintu lift baru saja hendak tertutup rapat. Tiba-tiba terbuka kembali. Fahri cukup terkejut dengan apa yang dilihatnya. Seorang gadis cantik, bertubuh langsing dengan rambut yang diikat pony tail tengah berdiri di depan lift. Fahri sangat mengenal gadis tersebut, gadis yang memberikan obat padanya. Orang asing yang lebih memperhatikan Fahri dibandingkan istrinya.
"Kita pakai lift selanjutnya saja. Terlalu banyak orang," ujar Samuel. Ia berucap demikian bukan tanpa alasan, akan tetapi karena pria itu melihat Fahri ada di dalam lift tersebut.
"Jika kamu ingin menggunakan lift yang lain, silakan kamu pergi sendiri saja! Aku akan tetap memakai yang ini," ucap Arumi tersenyum penuh arti kepada salah seorang pria yang ada di dalam ruangan sempit itu.
Arumi melangkah masuk ke dalam lift. Lalu kemudian berdiri sejajar di samping Fahri. Baru saja Samuel hendak mengikutinya, akan tetapi Arumi lebih dahulu menekan tombol pada pintu lift tersebut.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Erina Munir
hahaaa...samueel
2024-12-20
0
YK
gak njamin...
2022-10-18
1
Raflesia
kasian sam😅😅😅😅
2022-10-04
1