"Kamu pikir kantor adalah tempat bermainmu, hah?!" seru pria yang umurnya kisaran 35 tahun.
Fahri terkejut. Ia melihat pria yang saat ini menghampiri dirinya menatap ke arahnya dengan nyalang.
"Ma-maafkan saya, Pak." Fahri tertunduk, pria itu tak berani menatap mata atasannya.
"Jika kau tidak ingin bekerja lagi, sebaiknya berhenti saja! Atau kamu ingin langsung dikeluarkan dari perusahaan ini?" tanya pria itu.
"Saya mohon, Pak. Jangan pecat saya," ucap Fahri.
Pria itu pun melemparkan berkas-berkas yang ia pegang dengan kasar, hingga berkas-berkas tersebut berhamburan.
"Aku sebenarnya sudah muak menghadapimu," ujar pria tersebut sembari mengernyitkan keningnya.
"Aku juga akan memaafkanmu untuk kali ini. Ku harap, kejadian ini tidak terulang lagi untuk kedepannya. Begitu juga dengan staf yang lainnya!" lanjut pria tersebut dengan lantang sembari menatap beberapa pegawai yang ada di ruangan itu.
"Ambil berkas itu dan kamu input ulang. Aku melihat beberapa kesalahan. Data yang kamu ketik tidak valid. Sebaiknya perbaiki dan kamu cek kembali dengan teliti, TELITI!!" tukas atasan Fahri dengan nada yang penuh penekanan.
"Baik, Pak. Saya akan merevisinya kembali dengan sangat teliti," ujar Fahri tertunduk.
Sang atasan tak menggubris ucapan Fahri. Ia melenggang meninggalkan ruangan tersebut, berjalan menuju ke ruangannya.
Fahri langsung berjongkok memunguti semua berkas yang berserakan. Semua orang yang ada di tempat itu menatap Fahri dengan rasa kasihan. Namun, tak ada satu pun yang berani membantu pria tersebut. Jika mereka melakukan hal itu, maka mereka juga yang akan terkena imbasnya.
Fahri sudah cukup lama bekerja di tempat tersebut. Namun, pria itu tak pernah mendapatkan perlakuan yang baik. Selalu saja dipandang rendah oleh atasannya .
Fahri mengumpulkan berkas-berkas itu, menumpuknya menjadi satu. Bekerja di sini sama seperti menjatuhkan harga dirinya. Akan tetapi, ia tak dapat berbuat apa-apa, karena Fahri bukanlah hidup sendiri melainkan ia mempunyai tanggung jawabnya, yaitu Sifa.
Demi Sifa, Fahri membuang rasa egoisnya jauh-jauh. Demi wanita itu, Fahri juga rela menjatuhkan harga dirinya untuk mencukupi kebutuhan sang istri.
Sanggupkah pria lain di posisi Fahri? Adakah pria yang sesabar Fahri? Jawabannya hanya satu berbanding seribu.
....
Fahri baru saja menyelesaikan berkas-berkas yang harus ia perbaiki tadi. Pria tersebut merapikan berkas itu dan menumpuknya menjadi satu kesatuan untuk diberikan langsung ke ruang atasannya.
Ia beranjak dari tempat duduknya. Berjalan menuju ke ruang sang atasan untuk memberikan tugas yang telah ia selesaikan.
TOKKK ... TOKKK ...
Pria itu mengetuk pintu, setelah mendapat persetujuan dari dalam, suara yang menyuruh prianitu masuk, Fahri pun langsung memasuki ruangan tersebut.
"Ini ... berkas yang tadi Bapak minta," ujar Fahri seraya menyodorkan berkas tersebut.
Pria itu pun mengambilnya dari tangan Fahri. "Baik, aku akan mengeceknya nanti," ucapnya.
"Sekarang kamu boleh keluar!" titah atasannya setelah menerima dokumen tersebut.
Fahri pun menundukkan kepalanya sejenak, lalu kemudian berjalan keluar dari ruangan itu.
Waktu istirahat jam makan siang tiba. Namun, Fahri hanya memilih menuju pantry untuk menyeduh kopi saja. Rasa lapar ia tahan demi menghemat uang yang ada. Ia mengatasi laparnya dengan segelas kopi.
"Fahri, ayo kita makan siang!" ajak salah satu rekan kerja satu ruangan dengannya.
"Aku tidak lapar," timpal Fahri berbohong. Pria itu mengembangkan senyumnya.
"Kamu benar-benar pelit, Fahri."
Fahri hanya memberikan respon dengan mengulas senyum. Lalu kemudian berlalu dari hadapan rekan kerja yang berbicara dengannya tadi.
Pria tersebut membawa secangkir kopinya menuju ke meja kerja. Ia memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya, menyibukkan diri agar rasa laparnya dapat teralihkan.
Baru saja ia menatap layar komputernya, tiba-tiba ponselnya berdering. Fahri merogoh sakunya, lalu kemudian melihat layar benda persegi itu yang tertera nama 'Ibu Mertua' tengah meneleponnya.
Fahri pun langsung menerima panggilan tersebut. "Assalamualaikum, Bu."
"Fahri, bisakah kau jemput ibu di stasiun? Ibu sangat malas sekali jika harus mencari taksi untuk ke tempatmu."
Fahri melirik jam yang ada di tangannya. Jam istirahat makan siang tak cukup jika dipergunakan untuk menjemput mertuanya.
"Maaf, Bu. Fahri tidak bisa menjemput ibu. Masalahnya jam istirahat aka...."
"Sudah ... sudah ... bilang saja jika kamu tidak mau menjemput ibu. Banyak alasan kamu! Punya menantu satu, tapi tidak bisa diandalkan sama sekali!"
Sambungan telepon terputus. Fahri menghela napasnya. Pria itu selalu saja salah di mata mertuanya. Bahkan saat Fahri mengucapkan salam, mertuanya tak membalas salam dari Fahri.
Pria itu meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Ia menyesal kopinya, mencoba untuk menghilangkan beban pikiran atas ucapan mertuanya tadi.
....
Waktu telah menunjukkan pukul enam sore. Fahri telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia pun melihat ke sekelilingnya, banyak yang sudah pulang lebih dulu darinya.
Fahri mengirimkan laporan yang ia buat dalam bentuk file melalui email atasannya. Setelah itu, ia pun mematikan komputer, serta membereskan meja kerjanya. Menumpuk beberapa dokumen yang telah ia input menjadi satu.
Fahri pun berjalan keluar dari kantor itu. Namun, setibanya ia diluar gedung, tiba-tiba saja hujan turun dengan sangat deras, membuat pria tersebut harus terpaksa menunggu hingga hujan reda.
Sesekali Fahri menadahkan tangannya, merasakan air hujan yang membasahi telapak tangan. Pria itu tersenyum. Hujan mampu meneduhkannya. Rasa panas dari emosi yang tadi selalu menjadi beban pikiran, kini seakan menguap begitu saja.
Hujan cukup deras, pria tak memiliki mobil seperti yang lainnya untuk pulang. Jangankan mobil, kendaraan roda dua saja ia tak punya. Jika dipikir-pikir, gaji yang ia peroleh bisa saja ia kreditkan dengan satu unit motor, akan tetapi karena pengeluaran sang istri yang selalu saja berlebihan, membuat mereka selalu hidup dalam kekurangan.
Hujan mulai reda, hanya menyisakan rintik kecil yang tak terlalu membasahi. Pria itu memilih untuk berjalan kaki sampai di rumahnya. Sembari menatap sekeliling kota yang mulai disinari oleh lampu-lampu yang begitu indah.
Fahri menyusuri jalanan yang cukup lenggang, karena memang hujan baru saja reda dan beberapa orang memilih untuk menaiki kendaraannya ataupun kendaraan umum yang dapat mengantarkan mereka sampai di rumah.
Setibanya di sebuah penyebrangan jalan, Fahri melihat sepasang suami istri yang tengah bercanda ria. Wanita itu tengah berbadan dua sembari mengusap perutnya, sementara sang pria menatap istrinya dengan penuh cinta, seraya memapah jalannya.
Dalam hati Fahri ada rasa iri melihat pasangan itu. Pasangan muda yang mampu tersenyum seraya melangkah bersama. Sedangkan dirinya, seorang pria matang yang sekuat tenaga menjadikan istrinya seorang ratu.
Namun, perjuangannya sejauh ini seakan tak terlihat. Ingin rasanya menyerah, akan tetapi Fahri mengingat semua kenangan manis yang pernah mereka ciptakan dulu. Walaupun kini, rasa cinta sang istri sedikit hambar, tetapi rasa cinta Fahri untuk istrinya masih sama manisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Erina Munir
leg tuh cinta fahri..ayoo banguun banguun fahri...jngn merem trùus..melek dikiit liat sekeliling kamuu...kamu berhsk untk majuu..jngn lemah terhadap istri n mertua..ada kalanya ksmu sabar ada kalanya nggaa fahri...
2024-12-20
0
Chyka Asika
makan tuh cinta fahri,,,
huuuuhhhh,,,gw jadi emosi 😏
2023-01-11
0
Siti Fatonah
istri yang tak bersyukur...
2022-10-07
1