Dua insan tengah memadu kasih bertempatkan di sebuah ranjang. Terdengar lenguhan-lenguhan kecil dari dua manusia yang saat ini hendak menuntaskan hasrat mereka.
Pakaian mereka berserakan. Kamar itu hanya disinari oleh lampu tidur yang tak begitu terang. Baik Fahri maupun Sifa saat ini telah bermandikan keringat karena aktivitas panas mereka malam itu.
Fahri melaksanakan tugasnya, memberikan nafkah batin pada sang istri yang saat itu juga menginginkan sebuah kehangatan dari suaminya.
Setelah keduanya mencapai puncaknya, keduanya pun terbaring lemas di atas kasur tersebut. Fahri mengakhiri permainannya dengan mengecup lembut kening istrinya.
Setelah cukup lama terbaring, Sifa pun beranjak dari tempat tidurnya. Ia memungut pakaiannya yang berserakan, lalu melangkah menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Setelah Sifa keluar dari kamar mandi, Fahri langsung masuk ke dalamnya. Pria itu juga membersihkan dirinya seusai melakukan aktivitas panas yang baru saja mereka laksanakan.
Beberapa saat kemudian, Fahri keluar dengan kondisi yang lebih segar. Ia melihat sang istri mengambil sesuatu dalam laci nakasnya. Sifa menelan sebutir obat lalu kemudian menenggak segelas air yang ada di atas nakas.
"Kau masih meminum obat penunda kehamilan?" tanya Fahri dengan raut wajah yang sedikit kecewa.
"Iya, Mas." Sifa menjawab pertanyaan suaminya dengan begitu santai.
"Sampai kapan kau akan menundanya? Pernikahan yang kita jalani sudah hampir dua tahun," ujar Fahri.
Sifa memutar bola matanya dengan malas. Berbalik lalu kemudian menatap sang suami yang tengah berdiri di belakangnya.
"Mas, untuk makan sehari-hari saja kita masih kurang, apalagi nanti kalau punya anak. Pastinya kita harus mengeluarkan biaya untuk membeli pakaiannya, membeli popoknya, belum lagi susu formulanya," papar Sifa.
"Anak itu rezeki dari Tuhan, Istriku. Kau tidak boleh berkata seperti itu. Rezeki untuk anak itu pasti ada, asalkan kamu mengurangi pengeluaran yang tidak penting," jelas Fahri dengan sangat bijak.
"Apa? Tidak penting? Kalau begitu sebaiknya Mas jangan menikah saja! Mas berkata seperti itu seakan Mas Fahri memojokkanku sebagai istri yang tidak bisa mengatur keuangan suaminya," cecar Sifa.
Sifa memberikan tatapan tajam pada suaminya. Ia beranjak dari tempat duduk, lalu kemudian melangkah pergi meninggalkan Fahri sendirian di dalam kamar.
Fahri memijat keningnya. Ia tidak berniat untuk melukai perasaan istrinya. Hanya memberikan teguran kecil agar Sifa bisa menghemat pengeluarannya.
Sebagai seorang suami, Fahri juga ingin kehadiran buah hati diantara mereka. Ia ingin membangun keluarga kecil di rumahnya, mendengar suara gelak tawa saat ia menimang sang buah hati.
Drrrttt ...
Pandangan Fahri teralihkan pada benda persegi dengan layar yang menyala berada di atas nakas. Rupanya Sifa lupa membawa ponselnya saat ia keluar tadi. Perlahan Fahri mendekati benda pipih yang tergeletak begitu saja di atas meja nakas. Pria itu dapat melihat pesan masuk karena isi pesan tersebut terpampang di layar depan, hingga Fahri bisa melihat pesan itu tanpa menyentuh ponsel istrinya.
Aku tunggu di tempat biasa.
Fahri mengernyitkan keningnya saat melihat kontak yang dinamai oleh Sifa tersebut adalah Aldo. Pria itu seketika mengingat nama itu. Nama yang pernah diceritakan oleh mertuanya seminggu yang lalu.
Ia mencoba menahan amarahnya dengan menekuk bibir bawahnya ke dalam. Ia tak menyangka jika istrinya kembali bertukar pesan pada mantan yang pernah diceritakan oleh mertuanya.
Fahri memilih untuk menjauh dari nakas. Ia menatap keluar jendela kaca sembari meredam rasa kekecewaan pada istrinya.
Tak lama kemudian, Sifa datang. Wanita itu masuk ke kamar dan mengambil ponselnya. Ia mengotak-atik layar ponsel tersebut. Fahri dapat menebak bahwa Sifa saat ini tengah membalas pesan singkat dari mantan kekasihnya itu.
Setelah membalas pesan singkat itu, Sifa pun kembali meletakkan ponselnya di atas nakas. Lalu kemudian wanita itu merebahkan dirinya di atas kasur, tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada sang suami.
Fahri mencoba menghirup oksigen dengan rakus. Berusaha menghilangkan rasa sesak yang ada di dadanya. Namun, sesak itu masih memenuhi rongga dada .
Merasa tak bisa mengontrol emosinya, Fahri pun memilih untuk keluar dari kamarnya. Pria itu keluar dari apartemen. Dengan berjalan kaki, ia menuju ke toserba. Fahri membeli sebungkus rokok untuk menghilangkan rasa kesalnya. Persetan dengan menghemat, kali ini ia ingin melupakan hal-hal yang membuatnya sesak.
Pria tersebut duduk di depan toserba itu. Ia menghidupkan pemantiknya, lalu kemudian membakar sebatang rokok, menghirup asapnya dengan dalam sebelum dihembuskan.
Matanya sedikit memerah, tetapi ia berusaha menahan laju air matanya. Ia bukan pria yang lemah. Hanya saja ingin menghargai perasaan wanitanya walaupun dirinya harus menggenggam seribu luka.
"Kenapa sabarku dibalas seperti ini? Mengapa aku menjadi pria yang serba salah di mata istriku sendiri," batinnya seraya mendongakkan wajah, menatap langit gelap gulita yang bertabur bintang.
Setelah cukup lama berada di luar, Fahri pun berjalan kembali menuju apartemennya. Pria tersebut melihat Sifa yang sudah tertidur pulas. Istrinya bak bayi meringkuk di balik selimutnya. Perasaan kesal Fahri seakan menguap begitu saja.
"Sungguh dalam rasa cintaku padamu. Bahkan untuk membencimu saja aku tak sanggup," batin pria itu.
Ia mengusap surai panjang istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Lalu kemudian mendaratkan kecupan yang cukup lama di kening Sifa.
Fahri menarik sudut bibirnya, tersenyum melihat istrinya yang begitu terlelap. Pria itu pun menaikkan selimut Sifa yang sedikit tersingkap.
Fahri mengganti pakaiannya yang tercium bau asap rokok. Setelah melalukan hal tersebut, pria itu pun berbaring di samping istrinya, sembari melingkarkan tangannya di pinggang ramping Sifa.
"Istriku, aku hanya bisa berjuang untuk tetap baik-baik saja di hadapanmu. Aku selalu berharap bahwa kelak kamu akan menyadari betapa besar dan dalamnya cinta yang ku miliki," ujar Fahri dalam hati.
Tanpa sadar, setetes air mata jauh dari sudut matanya. Fahri kembali menekuk bibirnya ke dalam untuk menahan tangisnya.
Tak lama kemudian, Sifa berbalik. Wanita tersebut memeluk Fahri dengan begitu erat. Sifa tampak sangat nyaman bersandar di dada Fahri. Membuat pria itu semakin merasa bersalah jika harus memperbesar masalah tadi.
Satu pesan singkat dari mantan Sifa, tak mampu meruntuhkan rasa cinta yang Fahri miliki untuk wanitanya. Ia memeluk erat tubuh Sifa, tak ingin kehilangan wanita satu-satunya yang kini ia miliki.
"Mas, kamu terlalu kuat memelukku. Aku merasa sesak," ujar Sifa dengan suara serak. Pelukan Fahri membangunkan wanita itu.
"Maafkan aku, Sayang." Fahri melonggarkan pelukannya agar istrinya tak merasa sesak lagi.
"Tidurlah, Mas. Besok kamu kan kerja, aku juga kerja," ucap Sifa.
"Iya, Istriku."
Sifa selalu saja melupakan kejadian beberapa jam lalu, disaat ia beradu argumen dengan suaminya. Hal itu lah yang membuat Fahri bertahan dan seolah tidak terjadi apa-apa. Fahri hanya ingin melupakannya, melupakan luka yang sempat tertoreh di hatinya. Yang harus ia lakukan adalah memperdalam cintanya, agar perih dari luka itu tak lagi terasa.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 187 Episodes
Comments
Erina Munir
kpk ada yg goblok ksya fahri ya...bacanya aja gw pegel....mang ga pegel apa fahriii...liat istri luh kaya gituuh...udh jelas2 baik juga ada maunyaa
2024-12-20
0
Yuen
Bodoh sama cinta buta emg beda tipis
2023-06-04
0
Sulfia Nuriawati
jgn cersi sblm gila😏😏
2022-11-23
0