Mentari bersedekap menatap jalanan yang ia lalui bersama Pram. Gelanyar resah mengaduk-aduk benaknya sewaktu Pram pergi begitu lama.
"Jangan-jangan Pram kesasar?"
Ingin berlagak no problem dengan keberadaan Pram sekarang mengingat dia bukan bocah ingusan yang tahunya minta jajan, tapi dalam hati sesuatu menggelegak ingin segera mencarinya ke sepanjang jalan yang mereka lewati tadi biar menentramkan hati melihatnya lagi. Meski sebelah hatinya yang beku tak ingin dianggap naksir seperti yang disangka-sangka penjaga mini market tadi.
"Ya Allah, Pram. Gimana nanti kalau aku dipanggil polisi karena kamu hilang, teraniaya dan mati!" Mentari menginjak-injak kerikil-kerikil kecil hingga menimbulkan suara berderak.
"Pram, ayolah. Dompet itu isinya cuma nota-nota pembelian kebutuhan losmen dan uang kecil, gak masalah kalau hilang. Jadi kenapa kamu jadi blingsatan sendiri! Buruan datang." Mentari meraih kursi plastik. Naik ke atasnya biar lebih tinggi memantau kendaraan yang datang dari jalan yang menanjak lalu landai di depan sana. Sementara di jalanan yang remang-remang, Pram mengendarai motornya lambat-lambat dengan mata yang terus menatap ke bawah sampai pegal sendiri lehernya.
"Kenapa gue tadi gak tanya dulu warna dompetnya apaan! Ya Allah, niat jadi manusia yang berguna malah bingung sendiri." Pram berbelok, putar balik, menggeber motornya kuat-kuat biar cepat sampai ke mini market lagi.
"Lagian dicari waktu pulang kan bisa. Bego amat lu Pram tapi semoga belum di pungut orang!" rutuk laki-laki yang kembali memasang mata fokus mendapati Mentari nangkring di atas kursi dari kejauhan.
"Ngapain, Tar?" teriak Pram heran.
Pram menurunkan sandaran motor, Mentari melompat dari kursi dan kedua manusia yang saling merutuki diri sendiri itu bertatap muka dalam keadaan cemas dan malu sendiri.
"Ketemu?" tanya Mentari.
"Belum, aku gak tau dompetmu warna apa bahkan bentuknya aja gak tau aku."
Mentari membuang muka sambil tersenyum jengah. "Ya udah, biar saja Pram. Isinya gak banyak kok." katanya santai.
"Bukan masalah banyak apa enggaknya Mentari, jangan menyepelekan jumlah. Ini soal kepekaan!" aku Pram, menutupi rasa malunya sendiri sembari masuk ke dalam tenda pecel lele. Dan Mentari menganggap gagasan Pram itu sesuatu yang berasal dari hati, tidak sekedar mengingatkannya untuk bersyukur dan perasa.
"Iya nanti kita cari lagi kalau kabut gak turun, Pram. Kalau turun lebih baik kita pulang." balas Mentari, "kamu juga buru-buru perginya, setidaknya kan tadi tanya dulu ciri-cirinya."
Pram menyambar segelas jeruk tanpa gula di depannya lalu meneguknya cepat-cepat.
"Udah aku bilang ini soal kepekaan," sanggah Pram, "terus maksudmu apa tadi nangkring di atas kursi? Mantau gue, eh aku?" selidiknya, ditariknya kursi ke dekat Mentari.
Mentari menunduk, pura-pura mengaduk teh hangatnya dan begitu bapak penjual pecel lele ikut nimbrung senyum di kedua bibir pembelinya menjadi ringisan.
"Segitunya, pak?" tanya Pram.
"Iya mas katanya takut di panggil polisi kalau tamunya mati gara-gara dompetnya hilang. Lima belas menit Mentari nangkring di kursi sambil ngedumel terus."
Pram terbahak-bahak, terkesiap dan seketika menutup mulutnya dengan kedua tangan sewaktu wajah Mentari merah padam. Malu gak ketulungan.
"Makasih, Tar. Cuma aku gak akan hilang atau mati konyol karena begal. Aku hilang karena di culik wewe!" selorohnya namun langsung diam begitu tawanya di potong oleh penjual pecel lele.
"Lho mas daerah di dekat perempatan jalan yang ada pos rondanya itu rumah wewe. Suka nyulik cowok ganteng kayak mas ini."
"Mak...sudnya?"
Pram langsung memasang wajah tegang, ingat pos ronda itu belakangnya memang ada pohon randu besar yang begitu biasa-biasa saja tadi waktu seliweran di sana.
"Maksudnya cuma bercanda, Pram. Sudah makan, lelemu keburu dingin." Mentari menyembunyikan senyum gelinya di balik kata-kata ramah tapi sama sekali tidak menenangkan Pram.
"Gak ada jalan lain selain jalan tadi, Mentari? Aku takut diincar wewenya nih, aku ganteng soalnya." kata Pram datar namun mengundang gelak tawa Mentari.
"Ganteng menurut orang belum tentu ganteng menurut wewe, Pram. Bisa jadi malah bapak ini yang di culik karena lebih dewasa dan sepemikiran."
Ganti Pram yang terbahak melihat ekspresi bapak penjual pecel lele itu berkerut tidak senang.
"Cepet di makan biar aku cepat tutup warung!"
Mentari dan Pram meringis. Dan bukannya dimakan, Pram malah mengelus-elus kepala lele.
"Lihat lele aku jadi rindu rumah."
Mentari batal memasukkan segenggam nasi sambel ke dalam mulut. Di berikan lagi senyumnya kepada Pram yang mendadak sedih.
"Pulang aja kalau rindu rumah Pram."
"Enak aja pulang." sergah Pram, "kamu gak tau apa yang terjadi dengan lele dan rumahku, gak tau."
"Makanya karena aku gak tau aku cuma ngasih saran untuk pulang, Pram. Bukannya enak di rumah sendiri."
Pram menaruh satu lelenya ke bawah meja sewaktu kucing mengeong di kolong meja dan menggesekkan badannya di kakinya.
"Tidak saat ini Mentari, tapi aku gak akan sekedar cerita tapi juga minta tolong kalau udah siap ntar."
"Untuk?" Mentari menyipit, firasatnya semakin memberi peringatan bahwa sesuatu yang gak bagus pernah terjadi pada Pram. Wajahnya pun ikut menegang. Gawat juga kalau Pram minta tolong yang aneh-aneh seperti yang sudah-sudah.
"Sharing, Mentari." Pram tersenyum, "udah gih makan, bukannya nangkring di atas kursi juga melelahkan?"
Mentari terkesima. "Sama sekali tidak!" bantahnya sekedar memberi pengakuan namun segera lima belas menit kemudian pecel lele dengan tambahan satu telur dadar masuk ke perut Mentari dan Pram. Begitupun nasinya, nambah satu porsi.
Pram dan Mentari begitu menikmati sesaat momen makan malam itu dengan diam.
"Enak banget, pak!" puji Pram sambil berdiri.
"Besok kesini lagi, tapi awas kalau bahas wewe lagi!" ancam bapak tadi sambil memberikan uang kembalian.
Pram terbahak, "Untungnya aku disini cuma seminggu, pak. Kalau setaun? Bisa gawat lagi ceritanya."
Mentari mengulum senyum, lagi-lagi sikap profesionalitas kerjanya kembali bermain.
"Pram cari dompetnya besok pagi aja, kabutnya makin tebal."
"Yakin gak papa? Aku beneran gak enak Mentari kalau beneran ilang kamu yang rugi bukan aku."
"Aku yang gak enak Pram. Udah carinya besok saja, kita pulang sekarang." Mentari menggigit bibirnya, menahan dingin yang mulai melekat di kulit.
Tak buang waktu keduanya sama-sama naik ke atas motor, menebus dinginnya udara malam dan pos ronda perempatan dengan banyak-banyak doa.
Setibanya di jalanan samping losmen, Pram tersenyum penuh. "Makasih untuk perjalanannya barusan, Mentari. Ini seru banget."
Mentari menerima kunci motornya dan mengangguk. "Mau kopi atau teh panas Pram?"
"Apa saja."
Mentari mengiyakan dan pastinya layanan kamar sewaktu malam lebih mendebarkan hatinya. Pastinya karena Pram lagi-lagi meminta waktu untuk bersama.
•••
To be continue and happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Elisanoor
🤣🤣🤣🤣
2024-01-01
0
Anonymous
koplak pak lele nya...
2023-11-11
0
North🏷️
aku suka yg seperti ini
2022-07-27
2