Pram menarik rem tangan setelah memarkirkan mobilnya di depan bangunan Galaxy Futsal dengan wajah carut marut.
"Pokoknya mak dan bapak pulang saja ke kampung, Pram yakin suatu saat nanti Pram akan nikah tapi tidak dengan Susi atau perempuan pilihan emak!" kata Pram ngegas di depan speaker mobil.
"Emak gak yakin dengan pilihanmu, Pram!" pekik Asih yang jengkel dan malu setelah gagal lagi rencananya.
"Aku punya Pevita, Mak. Kapan-kapan aku kenalin. Mak tenang aja ya, dia lagi syuting di Bali." dusta Pram sembari menahan kekehan. Maaf ayang Pevi, kamu aku bawa-bawa dalam masalah ini.
Dan tentu saja Asih yang mendengar nama PEREMPUAN disebut-sebut oleh Pram membuat jiwa-jiwa ngegasnya menjadi kalem.
"Kamu serius, Pram? Anak mana Pevita?" tanya Asih penasaran. Bagyo mendekat untuk menguping pembicaraan istri dan anaknya. "Pram punya Pevita, mas." jelas Asih semringah.
"Yakin, Mak. Nanti aku kirim fotonya biar emak tenang di kampung." Pram terbahak-bahak tanpa suara sambil membenturkan kepalanya di setir mobil. "Ayang Pevi, sudikah kamu menjadi istri pengusaha ternak sepertiku?" batin Pram. "Mustahil ya ayang?"
Pram mencari foto terbaik Pevita Pearce yang ia simpan di galeri foto seraya mengirimnya ke nomer Asih.
"Sudah aku kirim, Mak. Dilihat dulu fotonya biar nanti terkesima betapa cantiknya Pevita." kata Pram buru-buru.
Panggilan terputus, Asih dan Bagyo saling bertatapan.
"Coba kita lihat gimana cantiknya Pevita mas." kata Asih.
Bagyo mengangguk dan begitu melihat bagaimana menawannya dan cantiknya seorang Pevita Pearce, Bagyo menepuk jidatnya.
"Cantik-cantik kok mau sama Pram. Aku jadi tidak yakih, Sih. Pram pasti bohong." tukas Bagyo sembari melototi foto Pevita. "Tidak mungkin spek bidadari begini mau sama anak kita." katanya tidak percaya.
"Biarin saja mas, namanya juga cinta!" Asih memasukkan ponselnya di tas, "putar balik mas Jum, kita nginep di rumah Pram. Mak penasaran gimana mereka ketemu."
Mas Jumali yang dahinya benjol mengiyakan. Sekalian nanti aku balas perbuatan mas Pram, pikir Jumali. Mobil berkelok dengan anggun di persimpangan jalan.
•••
Pram terengah-engah sembari menendang bola sekuat tenaga ke arah gawang hingga penjaganya lari menghindar.
"Woy... bro, kesambet setan apa lu!" umpat teman Pram, ia meraih bola dan menendangnya ke arah tengah lapangan.
"Ya kali elu gak ingat masalah terbesar di hidup juragan empang ini, bro." sahut teman lainnya, terkekeh seraya meniup peluit. "Istirahat ajalah, daripada ribut. Males gue."
Pram menendang udara dengan kesal, "Gak peduli gue kalian mau bilang apa."
Pram menyaut handuk kecil seraya mengusap wajahnya, lehernya dan mencampakkan setelahnya. Ia duduk dengan gagah dengan napas terengah.
"Gue heran apa cuma orang tua gue yang ngebet punya mantu! Orang tua kalian gimana?" tanya Pram kepada teman-temannya.
Gerombolan lelaki yang kurang-lebih seusianya itu mengendik sembari terkekeh. Beberapa nampak ada yang duduk selonjoran di lantai dan sebagian lagi di kursi semen. Salah satu temannya yang paling dewasa bernama Roni mengulurkan air mineral kepadanya.
"Makasih." kata Pram, ia memutar penutup botol seraya meneguknya kuat-kuat sampai bulir air itu berceceran membasahi dagu dan lehernya.
"Bukannya gue mau menghakimi lu atau orang tuamu, Pram. Cuma karena rata-rata kita semua disini udah ada istri atau pacar. Masalahnya udah beda lagi, Pram." jawab Roni dengan bijak. "Lagian kenapa sih lu susah buka hati? Mapan udah, warisan banyak. Apa yang lu takutkan, Pram? Coba lu share sama kita-kita, siapa tau kita bisa bantu dari drama orang tuamu itu."
Ck.
Pram meringis. "Ya kali gue curhat sekarang, gak mbois banget bro." jawabnya. "Lanjut futsal lagi lah, yuk, lumayan bikin pusing gue berangsur-angsur ilang." aku Pram sambil berdiri.
"Ntar dululah, lu main udah kayak banteng ngamuk. Sat-set-sat-set pakai emosi." Roni mengingatkan. "Maksud orang tuamu mungkin baik, Pram. Cuma karena elu mungkin keras kepala jadi mereka kehilangan akal buat bujuk lu."
"Masalahnya pilihan emak gue suka absurd banget, bro. Bulan kemarin ngenalin gue sama cewek SMA. Dan tadi sebelum gue kesini ngenalin gue sama anak temennya waktu SMA. Bodi sih yahud, depan belakang maju, cuma ya itu. Terlalu terbuka, sedangkan gue anaknya penasaran."
Roni menggelengkan kepala. "Terus sampai kapan lu tahan jadi lajang, Pram. Nikah itu seru kok dan lu harus memanfaatkan kesempatan yang ada seperti insting kebanyakan cowok."
Pram menatap jengah teman-temannya yang mengiyakan seraya membanjirinya dengan tawaran untuk berkenalan dengan teman-teman perempuan mereka.
"Thank you, bro. Tapi mimpi gue tetep satu, nikah sama Pevita Pearce." Pram terkekeh sembari menghindar dari bola yang melayang ke arahnya.
"Mimpi lu ketinggian, Pram. Anjirrr..."
"Namanya juga mimpi dan gue ogah membuka sesi mak comblang. Jadi awas lu pada kalau tau-tau ntar ada yang nongol di rumah gue apa chat gue." ancam Pram seraya menendang bola ke lapangan. Mereka melanjutkan sesi rebutan bola itu di jam yang tersisa.
"Habis mandi ngopi di kafe biasanya bro, gue traktir." kata Roni. "Gue menang tender kemarin jadi kita party dulu sebelum gue party di kamar sama istri." Roni meringis.
"Aseekkk, makan gratissss..." seru gerombolan itu menggema di kamar mandi.
"Tapi tolong Pram, rambut lu biasa aja. Tangan gue gatel pengen jambak!" teriak Roni yang langsung disambut kekehan teman-temannya.
Pram tergelak di bawah pancuran air. "Pevita KW juga boleh kalau kepepet umur. Yang penting rambutnya panjang, hitam, senyumnya manis dan kulitnya mulus."
Pram selesai berkemas seraya memacu mobilnya untuk bergabung dengan teman-temannya di kafe yang berjarak lima kilometer dari Galaxy Futsal. Mereka melanjutkan ngobrol-ngobrol. Bisnis, wanita, kerjaan, dan makan terus sampai kenyang hingga matahari meredup perlahan.
"Gue cabut duluan, besok ada pengiriman bibit ikan jadi gue harus mantau karyawan gue." Pram berdiri setelah menyeka mulutnya dengan serbet.
"Semangat bro."
"Yoi. Thanks all." Pram mengepalkan tangan seraya meninjukan kepalan tangannya ke tangan teman-temannya yang terangkat ke atas. Pram melangkahkan kakinya dengan tenang sambil tersenyum lega.
"Futsal kelar, emak dan bapak pulang. Ah, nikmatnya. Gak ada yang ganggu aku dan khayalanku dengan Pevita di kamar."
Pram mengemudikan mobilnya sambil bersiul menirukan lagu yang mengisi kesendiriannya sampai di depan gerbang biru yang menjulang tinggi menutupi rumahnya yang sengaja digelapkan. Tak ada lampu yang menyala kecuali belakang rumah.
Gerbang itu tertutup rapat. Hanya Pram dan orang tuanya yang memiliki kunci rumah. Pram turun dari mobil, ia membuka pintu samping dan sontak Avanza hitam yang kerap kali membuatnya dongkol terparkir di depan rumah. Pram urung masuk ke dalam rumah, ia mengunci lagi pintu samping seraya menghenyakkan tubuhnya di dalam mobil.
"Ya Allah, cobaan apalagi ini. Batal lagi bayangin ayang Pevi nanti." rutuk Pram.
Mobil bergerak menjauh dari rumah, ia yang tidak tahu harus kemana akhirnya berhenti di warung kopi pinggir jalan.
Segelas kopi dihidangkan kemudian untuk menemani malamnya yang kalut sebelum setumpuk brosur di atas meja kayu sebagai ganti alas gorengan menarik perhatiannya.
"Ambil saja mas, itu punya tetanggaku di kampung. Nitip promosi penginapannya. Tapi karena gak ada yang tertarik jadinya aku pakai buat alas gorengan." aku penjualnya, terkekeh.
"Jujur bener." pikir Pram. Ia tersenyum dan melipat selembar brosur itu sembari memasukkan ke dalam kantong celana. "Ntar gue baca di rumah."
•••
To be continue and happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
ImNick
pak Bagyo... klo ngomong sk bener dah 🤣🤣
2022-12-24
0
Ganuwa Gunawan
eeh nih bapak mu Pram ga percayaan
2022-12-13
0
Ersa
🎵yo ndak mampu aku, dudu spek idaman mu, Pram🎶😂😂😂
2022-10-24
0