Mentari mengulurkan termos dan ransum makan seusai makan siang yang terasa menyenangkan bagi ia dan tamu losmen.
"Semoga awet sampai di puncak nanti, Maxime." kata Mentari tulus dan malu. Bagaimanpun baginya pertemuan singkat dengan Maxime sedikit membuka urusan pribadinya bersama Bisma.
"Sekali lagi gue yang terima kasih Mentari. Gue suka losmen ini, tapi gue sama temen-temen langsung cabut ke kota lain setelah turun gunung. Jadi ntar termosnya gue paketin aja ya."
Maxime merasa tidak enak hati, sudah nginap cuma beberapa jam, minta gratisan wedang uwuh satu termos plus dibonusi ransum makan masih bawa termosnya pergi.
"Santai saja Maxime, lagipula itu termos milik tamu losmen yang ketinggalan. Sudah lama, jadi bawa saja jalan-jalan karena termos itu lebih suka naik mobil daripada di dapur sama ibuk!" seloroh Mentari disertai senyum hangat.
Maxime tersenyum sembari memastikan tak ada barang yang tertinggal di losmen idaman. Tempatnya sejenak melepas lelah dan mandi sebelum pada akhirnya singgah yang terasa cepat dan kilat itu menyisakan sedikit kisah di losmen idaman.
"Saya yang terima kasih kalian sudah memilih losmen idaman menjadi tempat singgah kalian. Hati-hati, Max."
Belum sempat Maxime menyahut, pria berkaca mata yang telah menghidupkan mesin mobil dan melajukannya meneriaki namanya.
"Buruan, bro!"
Maxime mengumpat sembari berlari kecil mengejar mobilnya, ia melompat ke dalam bak mobil seraya berbalik untuk melihat Mentari.
"Gue janji gue bakal balikin termos ini, Mentari. Thanks banget buat hari ini!" teriak Maxime yang kontan di timpuk adiknya dengan pisang rebus dari Mentari.
"Mirip monyet lu kak, berisik banget!"
Maxime merampas ponsel adiknya untuk memotret dua perempuan muda yang melambaikan tangan kepada mereka. Mentari dan Dara.
"Semoga nanti kamu suka dengan jurnal yang aku buat, Mentari. See you very soon calon....!"
•••
Angin berhembus lembut menciptakan suara gemirisik di antara dedaunan pohon-pohon yang menaungi pekarangan losmen.
Kepergian satu-satunya tamu losmen membuat suasana kembali sepi. Tak ada aktivitas lagi selain kegiatan rumah tangga biasa yang terjadi di rumah pribadi keluarga Mentari, dan satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukan kala sepi adalah duduk santai seperti dua gadis di undakan halaman losmen.
"Cakep ya, Tar." Dara memuji entah siapa sembari tersenyum lebar.
Kening Mentari tampak berkerut.
"Siapa?" tanyanya sembari menarik ponsel dari saku celana. Pekerjaannya yang fleksibel sebagai resepsionis online dan real life mengharuskannya membawa benda pipih itu mengecek surel dan keperluan promosi.
Kening Mentari semakin mengenyit dengan kepala yang kemudian memandang ke sebarang arah.
"Tamu tadi yang namanya Maxime kayaknya jomblo Tar, sendiri gitu dibanding temen-temennya yang punya gandengan." komentar Dara, seusai itu ia meringis, "minta nomernya boleh? Pengen kenalan." imbuhnya tak tahu malu meski tersenyum jengah.
"Gak bisa, Ra." Mentari berdiri, "kamu kan tau kode etik menjaga identitas pelanggan losmen. Gak bisa di comot gitu aja."
Dara mengendus sembari mengikuti Mentari berjalan cepat ke pohon rambutan di sudut terluar losmen.
"Kenapa, Tar? Ada apa?" tanya Dara panik sembari meraih lengan Mentari menahannya agar berhenti.
"Mas Bisma, Ra. Dia masih ngintipin aku terus. Nih lihat...," Mentari menyodorkan ponselnya tepat di wajah Dara.
Dara mengumpat, dipandanginya lagi foto itu dengan saksama, jelas tidak menggunakan drone, pikirnya sembari mengingat daun pohon yang cukup jelas.
"Untung kamu batal nikah sama dia, Tar. Kalau enggak, gak tau deh aku bayanginya gimana pernikahan kamu sama dia, mungkin ya kalau ada emak-emak mandi di sungai di intip juga sama dia." Dara berrecih, "kelakuan kayak lutung gitu!"
Dara menarik tangan Mentari dan membawanya ke tempat yang ia sangat tahu dimana.
"HEH, LUTUNG! TURUN KAMU!" teriak Dara sambil mendongkak.
Bisma yang masih nangkring di dahan pohon mengumpat kata yang sama.
"Lutung-lutung kepalamu, Ra! Jaga bicaramu."
Dara berdecak lagi sembari mendorong bahu Bisma sewaktu laki-laki berkumis tipis itu melompat dari pohon rambutan.
"Ngaca dong mas, kamu itu udah punya istri. Mau kamu digebuki warga karena masih gangguin Mentari?"
"Udah, Ra." potong Mentari, "nanti panjang urusannya."
"Gak bisa, Tar. Dan aku sahabatmu gak bisa diem lihat kelakuan cowok brengsek kayak mas Bisma ini."
Bisma nyaris menampar pipi Dara jika gadis itu tidak segera menangkis tangan Bisma dengan raut yang sudah terpancing emosi.
"Kamu udah selingkuh, mau jadi laki-laki kasar lagi. Udahlah mas Bisma, daripada kamu nangkring terus di atas pohon kayak lutung mending pulang aja. Urus istrimu yang hamil itu jangan ganggu Mentari lagi!" kata Dara bernada sinis.
Bisma mendengus kasar, bagaimana mungkin ia melupakan Mentari yang menatapnya kesal itu dengan cepat.
"Mentari, bisa kita ngomong berdua aja?" tanya Bisma dengan raut wajah berharap, tak acuh kepada Dara yang memang galak mirip ibu tiri.
Mentari menggeleng sembari beringsut ke belakang Dara. Sahabat segala rasa itu pasti akan menyalak lagi jika Bisma macam-macam.
"Benar apa yang Dara bilang mas, mas harusnya bisa jaga hati istrimu sekarang. Toh itu sudah keputusan mas kan, mas nyakitin aku demi kesenangan sesaat dan aku gak mau keadaan di desa ribut lagi. Jadi mas Bisma pergi dari sini!" kata Mentari tegas.
Sebersit rasa kecewa tertoreh di permukaan wajah Bisma.
"Tapi kamu harus dengerin dulu penjelasanku Mentari, aku mau kamu dengar dulu kalau aku hanya khilaf dan aku berharap karena cintamu yang besar kepadaku kamu bisa maafin aku." Bisma berusaha meraih tangan Mentari.
"Ciatttt." Dara menepis tangan Bisma secepat ia menangkis lalat hijau menyebalkan. "PERGI! Kalau enggak aku bakal kesurupan dan nguber-uber kamu sampai minta ampun!"
"Yang harusnya pergi itu kamu, Ra! Ngapain kamu masih disini? Gak punya tempat tinggal? Ngaca dulu kamu siapa, cuma anak pungutan aja songong banget kamu." Bisma menonyor kepala Dara.
Sejenak amarah yang kian membumbung tinggi membuat Dara mendorong tubuh Bisma hingga lelaki itu terjatuh di permukaan tanah berbatu.
"Aku dan Mentari akhirnya bisa bersyukur dan bernapas lega kalau selama ini mas Bisma yang begitu di banggakan banyak orang ternyata, cuihh..." Dara meludah, sikapnya yang kadang kasar dan kurang sopan ini membuat Mentari kadang bergidik ngeri, namun kadang-kadang sikapnya itu sekarang membuatnya merasa sedikit tenang.
"Dan satu lagi ya mas Bisma yang terhormat, meskipun Mentari gak pernah sedikitpun marah sama kamu, tapi dia sudah tidak mau lagi sama kamu. Kamu ini udah mirip lutung yang suka nangkring di pohon, eh brengsek lagi. Jadi tolonglah lupain Mentari atau desa ini kembali heboh dengan pemberitaan anak pak kades yang selingkuh lagi! Malu mas Bisma malu, mau di taruh mana muka bapakmu itu?"
Bisma mengepalkan tangan, namun ia yang kadung cinta sama Mentari membodohi dirinya sendiri.
"Apa gara-gara laki-laki itu tadi, Mentari? Laki-laki yang foto sama kamu?" Bisma berdiri, mengiba.
Mentari gelagapan. "Maxime," gumamnya dalam hati.
"Jawab, Mentari? Kamu udah move on dari aku?" paksa Bisma lagi.
Dara pun ikut penasaran siapa laki-laki yang di maksud lutung jadi-jadian itu.
"Siapa, Tar? Tamu tadi?"
Mentari beringsut mundur dan memilih berlari menuju halaman losmen.
"Aku sumpahin kamu bintitan kalau masih ngintip Mentari lagi! Awas kamu!" ancam Dara seraya melengos pergi.
Bisma menendang udara disertai kalimat umpatan. "Aku gak bisa tenang, Mentariiii!"
•••
To be continue and happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Rose_Ni
cie calon
2022-11-20
0
Ersa
calon?
2022-10-24
0
Reiva Momi
waahhh...calon apa tu 🤔🤔
2022-10-16
0