...LOSMEN IDAMAN...
..."Nyaman dan Tenang."...
Pram mengernyit sembari memandangi brosur sederhana dalam cetakan HVS selebar satu jengkal. Hitam putih tanpa warna, seolah menggambarkan tak ada gairah apapun disana. Hanya tenang dan nyaman yang bisa losmen itu tawarkan untuk pelanggan dari penginapan kelas hotel melati itu.
"Gimana orang mau tertarik nginep di sono, dari segi design promosi aja udah males banget. Wajar tuh abang warkop jadiin alas gorengan." komentar Pram, "tapi kenapa juga gue ambil, apa jangan-jangan brosur ini ada peletnya? Hiyyy---," tukasnya sembari menjatuhkan brosur itu ke lantai.
"Aneh banget kenapa hari gini masih pake brosur hitam putih, kenapa gak bikin iklan di sosial media? Apa jangan-jangan losmen itu bohongan." tanya Pram heran.
Lelaki itu bangkit dari kursi dan berjalan menuju balkon kamar sewaktu matahari pagi mulai bersinar di ufuk timur. Dari kamarnya di lantai dua yang tidak luas, ia bisa melihat tiga kolam ikan berukuran 6x10m di belakang rumahnya.
Pram bergeming. Jari-jari tangannya bergerak-gerak di bawah bibir, kebiasaan jika sedang memikirkan sesuatu dan berada di antara keraguan.
Apa gue harus telepon nomernya untuk memastikan? Tapi gue takut sih kalau yang gue pikir itu bener.
Sepuluh menit kemudian, Pram memungut brosur itu lagi yang mungkin jika Sum melihatnya langsung di buang tanpa pikir panjang.
Pram memijit nomer Mentari di keyboard di layar ponselnya dan menunggu.
...LOSMEN IDAMAN....
Gadis berambut gelap dan panjang meraba-raba nakas dengan mata yang masih terpejam.
"Selamat pagi dengan saya resepsionis losmen idaman. Ada yang bisa saya bantu?" katanya ramah, kebiasaan yang sudah ia lakukan sejak pertama kali meneruskan usaha keluarganya tiga tahun lalu. Sebuah penginapan kelas melati yang berada di dekat kawasan wisata kaki gunung.
Mentari Saputri, gadis berusia dua puluh lima tahun itu mengucek matanya dan menunggu jawaban dari seseorang yang meneleponnya sepagi itu.
"Halo, ada yang bisa saya bantu atau ehm..., Anda hanya iseng saja?" tukas Mentari, ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Udara berkabut yang begitu sejuk kontan menerpa wajahnya yang manis.
Suara serak-serak basah khas orang baru tidur itu melanda keraguan di hati Pram.
Cewek. Lembut banget suaranya.
"Pram." panggil Asih, ia keluar dari dalam kamar anaknya. "Bibit ikan udah datang tuh, kenapa kamu malah ngelamun disini!"
Dengan cepat Pram menurunkan ponselnya dari sisi telinga sembari mengembuskan napas lega.
"Aku baru telepon, Mak. Tar lagi aku turun."
"Pevita?" tanya Asih dengan suara senang, "coba Mak ikut denger suaranya, Pram."
Asih menyaut ponsel Pram. Eh-eh, Pram dilanda kepanikan yang luar biasa saat ibunya menekan loud speaker.
"Assalamualaikum, geulis." kata Asih ramah.
Ampun.
Pram menepuk jidatnya, "Malah kacau begini." rutuknya dalam hati tanpa berani mengambil ponselnya itu.
"Waalaikumsalam, ibu. Selamat pagi." jawab Mentari ramah.
Gadis itu acuh tak acuh dengan siapa yang meneleponnya pagi ini, ia hanya berusaha ramah dengan siapapun yang ingin terhubung dengan losmen miliknya.
Orang iseng kah, atau siapapun ibu itu dan Pram? Nama itu terngiang di kepalanya.
Asih kontan berlonjak girang. "Cakep bener suaranya, Pram. Manis mirip orangnya." pujinya terdengar sampai sebrang dengan jelas.
Mentari tersenyum dengan kernyitan di dahinya.
Manis mirip orangnya?
Pram mengangguk dan segera merebut ponselnya kembali. "Bisa salah tangkap kalau emak gue ngoceh terus," pikirnya sembari menutup lubang speaker.
"Emak ke bawah dulu biar aku ngobrol mesra sama eyang Pevi. Kangen nih aku sama dia, Mak. Pengen berduaan." dustanya yang terdengar menggelikan bagi dirinya sendiri.
"Bilang sama ayang Pevi Mak pengen ketemu, Pram. Bilangin jangan lupa!" Asih mengepalkan tangannya ke depan muka anaknya. "Awas kalau gak kamu sampein, emak ngambek ya, emak akan disini selamanya sampai kamu benar-benar nikah!" cerocosnya sembari masuk ke dalam rumah.
Pram bisa melihat binar senang dari wajah ibunya hanya karena klaim yang ia lakukan.
"Maaf Mak, ayang Pevi bahkan gak kenal Pram. Tapi aku juga gak bisa terus dipaksa nikah." Arrrgh, ampun. Pram mengerang sembari memasukkan ponselnya ke dalam celana sewaktu karyawannya dari bawah melambaikan tangan.
"SORTIR BIBIT IKAN, BOS!"
•••
Mentari mengernyit sembari memandangi ponselnya dengan tanda tanya besar. Paginya yang biasa tenang kini dirasa dengan keheranan.
"Pram?"
Mentari mengendikkan bahu, hanya nama itu yang bisa ia kenal dari penelepon asing hari ini.
"Pram." Mentari menyimpan nomer itu seraya terkejut. "Ibu kenapa tiba-tiba nongol di depan jendela! Bikin kaget tau." sergahnya kesal lalu cemberut.
"Siapa Pram?" Purwati yang membawa baki berisi sawi hijau dari kebun hidroponik di samping rumah mereka mengerutkan kening, "ibu tadi niatnya mau panggil kamu, tapi karena kamu sibuk dengan hpmu, kamu gak ngeh ibu melipir kesini!" jelas wanita berjilbab kuning itu.
"Tamu losmen, tapi gak jadi nginep disini." jawab Mentari asal-asalan. Pram dan ibunya masih menjadi orang misterius yang tak perlu terlalu acuh terhadap keduanya.
"Bukan pacarmu?"
Mentari menggeleng cepat. "Aku gak punya pacar, ibuk..., Sudah! Aku mau mandi dan siap-siap, nanti jam sepuluh ada tamu untuk kamar lima dan enam, ibu masak yang enak biar tamu-tamu betah nginep disini."
Telapak tangan Purwati yang dingin menahan lengan Mentari.
"Terus kapan kamu move on dari Bisma, Tar. Jangan terus-terusan beginilah, ibu dan bapak kepikiran dengan nasibmu kalau jadi perawan tua."
"Doanya aja ya, buk. Aku bisa move on dari mas Bisma." Mentari tersenyum kecut mengingat Bisma.
"Kalau saja Bisma bukan anak pak kades sudah ibu beri pelajaran dia, Tar." kata Purwati menggebu-gebu, "bisa-bisanya sudah tunangan kok ya punya pacar lain, hamil lagi. Ya Allah - Ya Allah. Nasibmu, Nduk."
Hati Mentari kembali seperti pepaya matang jatuh dari pohon. Hancur dan rusak. Karena bisa diibaratkan, ia dan Bisma tinggal mengunduh buah hasil dari setiap perjalanan asmara mereka dengan pernikahan, namun karena nila setitik rusak susu sebelanga yang dilakukan Bisma setelah pesta kembang api malam tahun baru kemarin seluruh rasa percayanya kepada laki-laki hancur berceceran mirip pepaya yang sudah jatuh, dicakar-cakar ayam pula.
Mentari tersenyum kecut. "Makanya tidak usah di bahas, ibuk. Jadi sensi kan."
Purwati meremas setangkai sawi hijau seraya mencampakkan ke tanah.
"Ibu itu gregetan karena setiap kali kamu sedih, ibu jadi ingat anak kurang ajar itu!" dengusan kasar terdengar kemudian. Purwati menghela napas. "Ibu kepinginnya kamu punya pacar lagi, Tar. Biar Bisma tau rasa!"
"Ibu doa yang baik-baik saja biar mentarinya ibuk bersinar lagi." pungkas Mentari sembari tersenyum lebar sembari berharap kalaupun punya pacar lagi bisa secepat es krim lumer di dalam mulut, ia bisa segera membuktikan pada Bisma dan istrinya bahwa ia baik-baik saja. Tapi bohong, nama yang terpatri diingatnya sejak SMA itu terus saja menyingkirkan kata baik-baik saja dalam hidupnya.
Gak semudah itu move on dari mas Bisma, ibuk. Dia masih suka seliweran di depan rumah!
•••
To be continue and happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
zha syalfa
ooh mentari saputri, tadi pas menekan nomer mentari kupikir mentari temannya indosat dan M3
😄
2022-11-11
0
Reiva Momi
senasib sama pram yg perjaka tua 🤭😁
2022-10-16
0
M akhwan Firjatullah
oh no...mentari nya meredup...
2022-10-08
0