Di menit ke tiga puluh setelah memuja baju mahal dengan harga satu sepeda motor, Asih dan Bagyo masuk ke dalam kamar mereka di dekat ruang tamu. Pram mematikan satu persatu lampu utama di dalam rumahnya hingga tergantikan dengan lampu remang-remang.
Pram berjalan ke dapur. Segelas kopi hitam ia buat untuk menambah stamina matanya agar terus terjaga saat pelariannya nanti. Pram bersandar di dinding tanpa minat untuk sekedar duduk menikmati kopinya barang sesantai ngopi di kafe biasanya.
"Melihat kondisi yang biasanya terjadi setengah jam lagi pasti molor semua!"
Pram menyeruput kopinya sembari tersenyum lebar mengambil kotak beludru putih dari kantong celana jinsnya.
"Jari siapa yang mau gue kasih simbol dari tali silaturahmi antar dua keluarga ini?"
Pram menggeram, menyadari belum ada jari yang bersedia menerima cincin itu dengan senyum malu, penuh haru dan berkata, "Yes, i do. Mas Pram."
Di kembalikannya kotak putih lagi ke dalam celana, di habiskan kopi hitam itu sampai tak tersisa. Pahit, sepahit asmara yang kandas di puncak perjuangan hingga menghabisi kata, napas, sesak dan tidak berdaya.
Pram mendekat ke kamar orang tuanya, menempelkan telinganya di daun pintu. Terdengar Bagyo sudah ngorok dengan irama sampai membuat Pram nyengir lebar.
"Ready to go!!!"
Pram melesat cepat menaiki anak tangga. Menyaut jaket dan mengambil sejumlah uang cash dari brankas di dalam lemari.
Sejenak, dalam keadaan remang-remang, Pram mengindahkan semua hal-hal yang ia miliki.
"Sampai jumpa semuanya. Baik-baik di rumah sama Mbok Sum!"
Detik berikutnya Pram sudah berada di luar rumah. Dia menghampiri semak-semak di bawah pohon mangga yang kontan membuatnya menepuk jidat.
"Kampret, mau kabur seminggu aja bawaan gue kek mau kabur satu bulan!"
Pram berkicau panjang lebar sambil menaikkan koper-kopernya ke dalam mobil. Di rasa masih aman tanpa ada gangguan, dengan santai ia membuka pintu gerbang, mengeluarkan mobilnya dan masih sempat menutupinya lagi dan menguncinya.
Pram tersenyum, di ingat-ingat lagi kota mana yang menjadi tujuannya hingga Jeep Wrangler itu melesat cepat ke jalan bebas hambatan, membelah malam dengan perasaan campur aduk.
Bebas dan lepas, sedih dan tidak tega. Perkara batin manusia yang terus ada bahkan untuk hal-hal sepele. Tapi bagi Pram yang sumpek ditanyai tentang kekasih palsunya akhirnya bisa mencium angin malam. Bebas, lepas, dan merdeka.
Pram membuka sedikit kaca mobilnya, meneriakkan sebait lirik lagu dari musik R&B yang menghentak keras di mobilnya, "DON'T NEED TO BUY A DIAMOND KEY TO UNLOCK MY HEART" dalam lagu Hello milik Beyonce seraya ditariknya kuat-kuat udara jalan tol yang dilalui kendaraan dengan kecepatan super cepat. Pram tersedak namun tetap tersenyum sembari digas gila-gilaan mobilnya itu dengan kecepatan tinggi menuju batas kota Jakarta.
•••
Pukul setengah tiga dini hari yang terbilang sangat sepi dan menjadi momen dimana para penghuni dunia lain berkeliaran kesana-kesini tanpa peduli dengan pekerja malam. Pram berhenti di warung 24 jam di pinggir jalan. Dia mengambil beberapa keperluan pribadi dan sebotol kopi susu dingin seraya membayarnya.
Mata ngantuk dan bunyi tulang Pram saat merenggangkan tubuh membuat penjualnya tersenyum.
"Perjalanan jauh mas?" tanya bapak penjaga warung yang memakai sarung dan kupluk rajut untuk menghalau hawa dingin sembari menarik kursi untuk Pram duduki.
"Dari Jakarta saya, Pak." Pram tersenyum ramah. Dilihatnya keadaan sekeliling, hanya bunyi malam yang berpendar dan satu - dua kendaraan yang melewati jalan pintas antar kota di depannya.
"Istirahat dulu saja mas, silahkan." Penjaga warung itu juga tersenyum ramah.
Pram mengiyakan dengan spontan karena ia pun juga butuh waktu untuk tenang sembari mencari jalur alternatif menuju losmen idaman lewat google map.
"Bisa gue pastiin sampai sana udah pagi cerah. Terus siangnya bisa gue pake untuk tidur nyenyak." Pram tersenyum lega, "Dan entah kenapa gue penasaran sama cewek yang namanya Mentari. Suaranya manis, tapi entah gimana wajahnya nanti."
Pram menambah sisa waktu istirahatnya untuk meluruskan tubuh di kursi kayu panjang selama dua puluh menit sebelum kembali memacu mobilnya dengan kecepatan yang gila-gilaan.
"Gue udah pengen rebahan!"
Memasuki jalan yang lebih sempit dan mulai ramai dengan kegiatan pagi di sebuah pedesaan di sebuah kaki gunung, di Jawa tengah. Pram memperlambat kecepatan mobilnya. Dia terlihat menikmati suasana hari yang syahdu dengan panorama alam sembari tersenyum lebar.
"Punten. Losmen idaman dimana, Pak?" tanya Pram pada bapak pembawa cangkul di pundak yang hendak pergi ke sawah. Bukan ia tak tahu arah, karena disekitar tempatnya berhenti banyak sekali nama penginapan dengan embel-embel idaman.
"Masih lurus mas, pertigaan belok kiri. Penginapannya agak jauh dari gerbang masuk, jadi harus teliti carinya!"
"Nuhun." Pram mengangguk sopan seraya kembali melanjutkan perjalanannya ke arah yang bapak tadi sampaikan.
"Sepertinya itu."
Alis Pram mengkerut sembari mengamati baik-baik losmen idaman dari kejauhan. Bener, titik tuju di google map pun sama, pikir pram. Dengan yakin ia masuk melewati gerbang putih berkarat yang terbuka lebar. Mobilnya terasa bergoyang melewati jalan setapak hingga moncong Jeep Wrangler yang sudah menemani keluh kesahnya berhenti tepat di muka losmen idaman.
Pram mendesah lega sembari turun dari mobil. Dia mengamati sekeliling dengan takjub.
"Bener-bener kabur yang syahdu. Jauh dari kota, sepi, dan dingin. Lengkap sudah ketentraman hati ini." Pram meraih ponselnya di bawah rem tangan seraya menutup mobil.
Dia berniat menghubungi Mentari kala losmen itu seperti tidak berpenghuni.
Di kamar, Mentari meraih ponselnya dengan malas setelah semalam dia menghabiskan waktu di pasar malam sampai lelah.
"Pram?" Mentari mengerjap dan segera berdiri. "Selamat pagi, Pram. Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanyanya.
Pram terkekeh kecil mendengar nada malas gadis di dekatnya. Sangat dekat hingga ia tak sabar melihat bagaimana rupa kekasih bohongan yang membantu kebohongannya.
"Aku udah di depan losmen idaman. Bisa keluar sekarang?"
Mentari kontan melebar mata, seketika panik pun melanda.
"Mentari, hello...,"
"Aku belum mandi, eh..." ucap Mentari kelepasan.
"Gak masalah gue mau kamu mandi apa enggak, yang penting keluar sekarang. Gue butuh kamar dan istirahat!"
Mentari melempar ponselnya ke kasur dan mencari ikat rambut. Dengan asal ia mengikat rambutnya dan keluar dari losmen.
Sejenak yang begitu cepat, Pram mendapati gadis bernama Mentari keluar dari samping rumah sembari berlari kecil ke arahnya menggunakan kaos dan celana kolor.
"Pram?"
Deg.
Sorot mata yang memandangnya dengan takjub itu membuat Mentari sadar, lelaki yang sering ia panggil dengan Pram doang ternyata sudah berumur.
"Mas Pram, maaf"
Pram tersenyum maklum. "Pram doang, gue lebih suka di panggil itu tanpa mas!"
"Tapi...,"
"Sstttt, nurut ajalah. Ayo ke kamar."
•••
To be continue and happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
zha syalfa
kok ambigu ya mas pram 😅
2022-11-11
0
Ersa
eh eh koq lgsg ajak ke kamar sih🤭
2022-10-24
0
GW Widiarti
Jlo mbak Vivi gak jauh2 dr Jogja....pasti Merapi ini
2022-08-06
1