Bisma melompat dari pohon rambutan disudut terluar losmen idaman. Pohon yang cukup tinggi untuk melihat halaman depan losmen itu telah menjadi tempatnya memantau Mentari sejak berakhirnya hubungan mereka.
"Semakin hari semakin cantik kamu, Tar."
Bisma membuang pandangannya ke sekeliling sebelum menarik sepeda motornya dari balik semak-semak. Bisma kemudian menggeber motornya menjauh dari lingkungan mantan kekasihnya dengan perasaan kalut.
"Aku gak akan nyerah sebelum kamu maafin aku, Tar."
•••
Di losmen, Mentari bergeming di depan pintu nomer lima seraya menunggu beberapa menit sampai kegaduhan yang menyenangkan di dalam kamar itu reda.
Mentari mengetuk pintunya, sekejap pintu berayun terbuka.
"Eh Mentari, layanan kamar?" tanya Maxime penasaran, lelaki yang sudah melepas celana gunungnya dan menyisakan boxer hingga menampakkan kakinya yang kokoh berbulu membiarkan pintu terbuka.
"Temen-temen gue pisah kamar, jadi kamu tenang aja kalau sekiranya kamu kesini untuk cek." kata Maxime pengertian seakan dia benar-benar memahami pepatah dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
"Ah iya terima kasih atas kerja samanya." Mentari tampak kikuk menatap Maxime setelah melongok ke dalam kamar.
"Tapi saya kesini mau minta tolong, Maxime." Ada keraguan di kalimat yang Mentari katakan walau terdengar ramah, "ini mungkin terdengar lucu, tapi aku perlu bantuanmu."
"Untuk apa?" desak Maxime dengan penasaran. "Bukan sesuatu yang nakal kan? Ntar gue mencoreng nama baik losmen ini karena ajakan pemiliknya." selorohnya seraya terkekeh melihat wajah malu gadis yang lebih muda darinya.
"Apa saya boleh foto denganmu?" tanya Mentari. "Untuk ehm, kamu tau rasanya di teror, Max? Oleh mantan."
Maxime tidak langsung menyahut, ia mendiskripsikan permintaan Mentari sambil memandangi mata sendu dan hidung yang cukup bangir sembari mencebikkan bibir. Mentari bukan titisan dewi khayangan tapi lumayan, pikir Maxime.
"Gue tau rasanya di teror mantan, cuma untuk apa gue harus foto sama kamu, Mentari?" Maxime berjalan ke taman di tengah losmen. Ada pohon anggur yang menaungi bangku taman hingga menambah kesan teduh losmen itu.
Maxime duduk dengan ekspresi menunggu.
Mentari tersenyum kecut. "Dia sudah menikah, Max. Istrinya baru hamil. Saya terpaksa melakukan ini demi kebaikan semua, juga berhubung losmen ini kedatangan tamu yang lumayan tampan sepertimu. Aku perlu mengabadikannya."
Maxime terbahak-bahak walau ia cukup terkejut Mentari punya keberanian memujinya secara langsung.
"Dengan imbalan apa nih? Gue juga ogah kalau cuma-cuma." pinta Maxime tak serius.
"Wedang uwuh satu termos dan ransum makan, gimana?" tawar Mentari dengan mata yang mulai berpendar sewaktu Maxime akhirnya mengangguk dibarengi tawa geli yang menyenangkan.
"Ya udah sini duduk di dekat gue. Lagian gak mungkin foto bareng jauh-jauhan." Maxime menyentuh bangku di dekatnya.
Sontak keadaan itu malah membuat Mentari canggung, ia tersenyum rikuh di dekat Maxime yang menyugar rambutnya biar tambah keren.
Mas Bisma harus tau rasa, harus tau pahitnya tersiksa karena rasa ini harus dipaksa mati perlahan!
Foto mereka yang terlihat seperti sepasang kekasih yang baru jadian sudah Mentari kirim ke nomer Bisma.
"Terima masih, Maxime." kata Mentari sambil tersenyum manis, ia merasa lega ada alasan membuat Bisma menjauh. "Andai kamu tidak keberatan tolong untuk yang satu ini tidak perlu direview di situs losmen idaman ya, Max." pintanya malu-malu.
Maxime mendesah sembari berdiri.
"Kirim ke nomer gue juga dong, biar gue jadiin side story di jurnal perjalanan gue karena sejujurnya gue petualang jadi gak pernah singgah di hanya satu tempat, dan hari ini, pemilik losmen yang gue kira bapak tua sarungan dan menyebalkan ternyata gadis patah hati yang takut mantannya balik lagi." akunya seraya meringis.
Mentari tergoda oleh kejujuran Maxime mengenai dirinya. Dia memang gadis patah hati yang malangnya lagi masih harus menghadapi mantan yang konon dari kabar yang berkembang dari warung ke warung, Bisma menyesal putus dengannya.
"Boleh, sekalian juga ini sudah mau mendekati jam makan siang. Kalian bisa ke ruang makan nanti karena kita mengedepankan self service untuk urusan makan." papar Mentari.
"Gue suka nih coz bisa makan sepuasnya." Maxime terkekeh, "thanks, Tar. Tapi gue juga minta tolong boleh gak?"
"Apa?" Mentari mengernyit. Mendadak ia di landa ketakutan kalau si Maxime yang tampan memiliki niat buruk kepadanya seperti yang pernah terjadi malam tahun baru. Mentari benci dimana malam itu menjadi malam kelam yang menodai kewarasannya sekarang. Mentari semakin panik, ia teringat dimana tangannya di cengkram paksa oleh pria bertubuh besar yang langsung menghempaskannya di kasur kala memberikan layanan kamar.
Mentari menepis tangannya sendiri dengan napas ngos-ngosan sembari melirik kesana-kesini.
"Kamu gak apa-apa, Tar?" potong Maxime curiga. "Mentari!" bentaknya kemudian sewaktu mendapati gadis itu semakin pucat dan panik.
Mentari tergeragap, lututnya yang lemas membuatnya memilih berjongkok.
Maxime yang iba ikut berjongkok. "Kenapa, Tar?"
"Maaf, Maxime. Saya - saya cuma..." Mentari tergagap dan berjeda untuk mengatur napas. "Maxime mau apa tadi?" tanyanya melupakan kejadian yang baru saja merenggut senyumnya.
"Kamu temenin gue makan disini, pake tiker. Gue sama temen-temen lebih suka suasananya. Bebas." jawab Maxime ragu, "cuma sepertinya kamu harus istirahat Mentari!"
Mentari memaksakan senyum yang tidak mengubah sedikitpun rasa iba Maxime kepadanya.
"Tidak apa-apa, Maxime. Hanya ada sesuatu yang menyebalkan yang memicusaya seperti ini. Tapi aku bisa menemani kalian makan disini." ucapnya meyakinkan.
"Kamu yakin?" tanya Maxime serius.
Mentari meletakkan telunjuknya di bibir dengan isyarat agar Maxime diam.
"Saya akan baik-baik saja, Maxime. Terima kasih atas perhatiannya." kata Mentari sembari berdiri.
Apa boleh buat, Maxime akhirnya membiarkan Mentari pergi dan ia kembali ke kamar untuk mengajak teman-temannya bersiap-siap.
Selang lima belas menit, kesibukan di taman tadi bisa Maxime dan teman-temannya lihat.
"Ngapain aja lu tadi, Max?" tanya lelaki berkaca mata sembari memakai sepatu gunung.
"Adalah, ntar lu baca aja jurnal gue." kata Maxime sembari tersenyum. "Yang jelas gue kagum dan kasian sama dia."
Lelaki berkaca mata tadi mengiyakan sembari berdiri. Toh kedatangan mereka hanya singgah, jadi tak mungkin rasa kagum dan kasian Maxime akan terjaga dengan lama.
"Ini semua buatan ibu saya. Selamat menikmati dan semoga bisa mengingatkan kalian akan rumah."
Mentari tersenyum penuh arti sembari duduk di depan Maxime, ia sudah berkali-kali menemui tamu losmen dengan tujuan yang berbeda-beda saat menginap. Dan petualang seperti kelima tamunya hari ini akan slalu merindukan masakan seorang ibu.
Maxime tersenyum sambil menyomot perkedel kentang dan memakannya.
Gue akan nginep disini lagi, Tar. Entah kapan yang jelas gue bakal kesini lagi.
•••
To be continue and happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
⏤͟͟͞R•Dḕɛ 🌸
😂😂😂😂😂😂
2022-12-22
0
Rose_Ni
stalking dipohon rambutan,keren amat Bis😆
2022-11-20
0
Ersa
calon sadboy nih
2022-10-24
0