"Yakin apelnya gak mau di belah jadi dua, Mentari?" tanya Pram ketika makannya telah tandas, "aku gak enak."
Pram serius. Terbiasa berbagi dengan adik-adiknya kala menjadi warga biasa yang slalu pas-pasan dalam segi perekonomian dan mempengaruhi jumlah makan di keluarganya. Pram merasa harus membagi apel sebesar genggaman tangannya menjadi dua.
"Aku ada jeruk di dalam, Pram." Mentari selesai membereskan sisa makan sore mereka ke atas nampan. "Makan saja itu untukmu sebagai cuci mulut."
"Beneran?"
"Iya!"
Pram langsung menggigit apelnya kuat-kuat, tak tanggung-tanggung langsung hilang separuh ke dalam mulutnya.
"Aku tinggal ke dalam ya, Pram. Dan sebaiknya waktu magrib kamu masuk ke dalam kamar." ucap Mentari memperingati.
Pram langsung di landa kekhawatiran akan dugaannya tadi. Sarang kuntilanak! Mana semakin malam udara semakin dingin. Belum lagi alam semakin mengisyaratkan tempatnya berpijak adalah tempat yang menutup diri sebagai persinggahan ketenangan.
Pohon-pohon berjajar seakan sepakat dengan rimbunnya dedaunan menutupi sinar senja yang datang. Suara jangkrik berpendar, menambah melodi alam di bawah kaki gunung yang eksotisme keindahannya memukau para pendaki untuk segera menapaki setiap jengkal tanah yang menguji kesabaran dan kerja sama.
Sayangnya eksotisme keindahan itu terjadi kala matahari masih setia menemani. Dan kala matahari menghilang, nuansa gelap dan jauh dari keramaian menambah kesan keangkeran yang menciutkan nyali Pram. Dia akui, besar di ibu kota dengan daya majestic yang menyingkirkan kisah-kisah urban legend membuatnya tidak takut jika hanya berpetualang dini hari, tapi di losmen ini, eksotisme keindahan dan teduhnya sebuah penginapan sebelas dua belas dengan eksotisme gunung yang tak jauh dari rumah Mentari.
Indah juga menakutkan.
Lagi-lagi membuat Pram sadar, slalu ada sesuatu yang seimbang. Kecuali dia, belum seimbang karena masih sendiri.
"Kenapa harus di dalam, Mentari? Ada peraturan yang berlaku disini?" tanyanya panik, berdiri dengan mulut yang masih mengunyah apel tadi.
Sadar perkataannya cukup membuat Pram takut, Mentari tersenyum ramah.
"Tidak ada, hanya saja kamu mau apa magrib-magrib di taman sendirian Pram?"
Sorot mata Pram langsung melebar.
"Dikerjain gue. Tapi bener juga, ngapain gue disini magrib-magrib, mau nyatpam!" gerutu Pram dalam hati, "lagian siapa yang mau gue jagain. Cewek kayak Mentari gue lihat cukup berani ambil risiko jadi pelayan sendiri."
Pram menghabiskan buah yang memiliki nama latin malus domestica itu lantas membuang asal-asalan bijinya ke semak-semak.
"Oke deh, cuma aku emang agak-agak ngeri sama rumpun bambu itu Mentari. Gak ganggu kan? Maksudku, penghuninya. Kamu paham lah, masa enggak."
"Tidak ganggu asal kamu tidak lari-lari disana sambil teriak-teriak Pram!" urai Mentari serius, meski ada godaan untuk membuat Pram takut, "bercanda. Aku tinggal ya udah keburu malam."
"Jangan lama-lama boleh? Aku butuh adaptasi Mentari, setidaknya malam pertama disini." kata Pram dengan bibir nyaris tersenyum sewaktu Mentari mengindahkan permintaannya.
"Aku tunggu!" Pram berteriak mengiringi langkah Mentari menuju rumah pribadinya.
Mentari mengembuskan napas sembari berdiri gelisah di dalam kamar. Sudah mandi dan cantiknya gadis yang menyandang sebagai kembang desa itu tidak perlu di ragukan lagi. Hanya saja melihat ekspresi wajah Pram yang bergelagat aneh membuatnya sedikit was-was. Mentari sanggup menerima semua ajakan untuk sekedar ngobrol malam ini. Hanya saja, boncengan berdua di malam hari yang dingin sekali?
Mentari membuang napas, berdoa Dara segera pulang dan mengambil alih tugasnya karena dua orang itu tabiatnya hampir sama. Cocok dan asal nyablak.
"Mentari!" Pram berteriak di depan pintu, "Lampunya dihidupin!"
"Pram!" Mentari tergesa keluar rumah. Dia meringis melihat bagaimana gelapnya losmen sampai-sampai laki-laki itu menghidupkan lampu hp.
"Maaf - maaf, Pram. Pasti kamu tidak nyaman." Mentari bergegas menuju semua sakral seraya menghidupkan semua lampu-lampunya.
Pram mendesah lega. Rasa ngerinya karena rumpun bambu belum reda, menjelang magrib dia yang nyantai di tengah-tengah pintu mulai waspada ketika sama sekali tidak ada manusia yang masuk ke area losmen. Terang saja dia memilih terbirit-birit ke rumah pribadi Mentari mencari pertolongan.
"Akhirnya aku aman lagi." selorohnya lalu terkekeh. "Makasih, Tar."
Mentari mengangguk. "Tunggu di ruang tamu sebentar, aku ambil kunci motor dan dompet dulu."
Pram mengiyakan ragu-ragu. "Jangan lama-lama!"
Mentari berbalik lalu meringis. "Emang losmen ini kelihatan angker banget ya sampai cowok kayak Pram takut gelap." ringisan di bibir Mentari semakin lebar. Dia mendorong pintu, memakai jaket seraya memungut dompet, kunci dan menjejalkannya ke saku.
Mentari berlari kecil menuruni undakan, melintasi selasar kamar nomer, tujuh, enam, lima sebelum berbelok menuju kamar nomer satu yang menjadi kamar VIP losmen idaman.
"Pram...,"
"Bentar, baru pake jaket!"
Bohong si Pram, dia keluar dari kamar dengan aroma parfum lebih kuat dari sebelumnya meski memang ia memakai jaket.
"Aku siap!" katanya semangat.
"Iya." Mentari bisa melihat semangat Pram yang ingin buru-buru keluar dari losmennya.
Di jalanan setapak samping rumah, Mentari menghidupkan mesin motornya. Sejenak dia menatap Pram yang memperhatikannya dengan seksama.
"Kamu yang di depan ya, Pram. Nanti aku tunjukkin jalannya." kata Mentari, solusi terbaik dari ketakutannya sendiri.
"Gak usah kamu tunjukkin jalannya, aku udah tau Mentari." Pram meringis sembari menunjukkan ponselnya yang menunjukkan semua lokasi di sekitar losmen.
"Jadi ayo naik, aku pengemudi yang baik, kamu pasti aman." Pram tersenyum tulus, "aku pengemudi yang baik, sangat baik sampai gak tau di belakangku sendiri sahabatku menikung pacarku!" imbuh Pram dalam hati.
Dengan canggung Mentari naik ke atas motor, memandang punggung yang lebar dan tegap seolah mengundangnya untuk menyandarkan kepalanya di sana. Mentari mengembuskan napas, baru kali ini dia kembali berada satu jok yang sama dengan laki-laki setalah putus dari Bisma.
"Siap?" tanya Pram, menggeber motornya keluar setelah jawaban dari gadis itu membuatnya sejenak keluar dari ketenangan yang mencekam.
Pram menggeber motor dengan senang hati, jiwa petualangnya terpacu mengeksplor sepinya jalan sampai Mentari mengira laki-laki itu ingin cepat-cepat sampai ke tempat makan.
"Lesehan yang enak dimana Mentari?" teriak Pram. Motor berbelok ke kiri, menyusuri jalanan yang berpelita remang-remang.
"Tadi katanya makan nya oatmeal sama susu protein tinggi!" sindir Mentari.
"Gak kuat aku, Tar. Takutnya aku masuk angin dan tambah ngerepotin kamu!"
Benar juga, pikir Mentari. "Nanti deket mini market ada lesehan pecel lele. Makan disitu aja, Pram."
"Siap!"
Pram menggeber motornya lebih cepat dan mendelik ketika tangan Mentari mencengkeram jaketnya.
"Pram, hati-hati."
"Lupa!" Pram terbahak, "di Jakarta aku gak bisa kebut-kebutan begini Mentari. Maaf."
"Ya ampun!" komentar Mentari, dia kembali bersedekap sewaktu Pram mengurangi kecepatan motornya.
"Begini lebih enak?"
"Ya!"
"Oh jadi kamu suka yang sedang-sedang saja, Tar?"
"Untuk hal apa?"
"Semuanya."
Mentari mengangguk tanpa Pram ketahui. "Cepat atau lambat tergantung kebutuhan Pram, semuanya ada perhitungannya sendiri."
"Terus kalau kamu kedinginan, kamu lebih suka sedang-sedang saja daripada cepat-cepat?" komentar Pram, dia mengusap lututnya yang lembab dan benar-benar dingin.
Mentari menyunggingkan senyum. Mengerti jika perbedaan suhu antara Jakarta dan di kaki gunung sangat berbeda drastis hingga mau gak mau dia memperbolehkan Pram untuk tancap gas.
"Pegangan, Mentari!" teriak Pram.
"GAK!!!"
"Kok gitu, biar aman juga."
Sadar gadis dibelakangnya tidak mau dan memilih mencengkram pegangan tangan jok motor Pram terkekeh-kekeh.
"Bukan cewek gampangan!" pujinya.
Motor berhenti di depan mini market pedesaan. Gegas, Pram dan Mentari masuk ke dalam menuju tempat pencarian sereal dan susu.
"Ada gak susu protein tingginya, Pram?" tanya Mentari.
Pram menggeleng cepat. "Mungkin ini mini market di pedesaan jadi jarang ada susu merek itu, Mentari. Tapi gak masalah, besok siang aku bisa cari di kota atau beli online."
Senyuman Pram membuat Mentari lega. "Maaf, lagian kamu juga gak ngasih note permintaan penting jadi aku gak siap-siap!"
Pram tercengang. Sedikit protes itu membuatnya paham, Mentari tidak se-formal yang dia bayangkan. Profesionalitas kerja itu hanya tameng dari sisi lain Mentari yang tertutupi oleh keramahan seorang pekerja.
"Jadi kamu mulai protes karena susu?" komentar Pram seketika.
Muka Mentari langsung merah padam ketika susu disebut begitu jelas oleh laki-laki itu.
"Bukan - bukan seperti itu maksudku, cuma kalau ada catatan penting sudah dari tadi siang aku belinya." Mentari berbalik, menyambar sebungkus oatmeal untuk menghindari Pram.
"Ada yang mau kamu beli lagi Pram?" tanya Mentari.
Pram menyambar sebungkus kacang kulit dan dua bungkus rokok dari etalase toko.
"Yang ini aku bayar sendiri, mau sekalian?" tawar Pram sambil menunjuk bungkus oatmeal yang Mentari remet kuat-kuat.
"Apa kamu gak beli sesuatu untuk losmen, coba deh di ingat-ingat lagi kalau ada yang penting, sayang bensinnya jauh-jauh kesini cuma beli oatmeal."
Serasa diingatkan Mentari langsung mengambil keranjang belanja. Di tunggunya gadis itu dengan sabar dan senyum manis ala selebritis yang bergaya di depan lensa kamera.
"Sudah, maaf lama." Mentari menaruh keranjangnya di meja kasir dan berhubungan Pram sudah membayar biaya sewa full service dibelinya beberapa lampu yang cetar membahana.
Pram mengulum senyum. "Buat apa?" tanyanya pura-pura.
"Ada tamu penakut di losmen, jadinya mau aku ganti lampunya biar betah."
"Kuliah marketing?" tukas Pram, tidak apa-apa dibilang penakut, memang iya kok. Jujur seratus persen dia takut dengan bangsa dhedhemitan.
"D3 perhotelan di Jogja." Mentari meraba jaketnya, wajahnya sontak panik dan cemas. "Lho..., lho..m dompetku kok gak ada." katanya panik, meraba-raba semua kantong yang ada di pakaiannya.
Pram jadi jelalatan ke seluruh toko, tidak ada. "Aku cariin di luar, mungkin jatuh tadi waktu kita kebut-kebutan." katanya dengan nada menyesal.
"Aduh Pram masa iya kamu sendiri carinya. Aku gak enak."
Penjaga kasir menatap perdebatan sepele mereka sambil tetap menghitung jumlah belanjaan pelanggannya.
"Jadi gimana mas, mbak? Total seratus lima puluh ribu lima ratus." katanya tak acuh.
"Pakai ini, aku keluar, kamu pesan pecel lele. Aku dua porsi sama jeruk tanpa gula." Pram menaruh dua lembar uang pecahan seratus ribuan ke meja dan bergegas keluar.
Mentari termangu takjub menatap punggung laki-laki yang sigap menolongnya.
"Pram."
"Kenapa Mbak?"
•••
To be continue and happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Herlina Maharani
awal yang menggemaskan 🤣🤣🤣
2022-08-01
1
North🏷️
wkwkwkwkwkw lucu tapi sadis
2022-07-27
2
flowers city
🤣🤣😆😆😆
2022-07-01
0