"Gimana salam emak untuk Pevita, Pram? Dibalas apa sama dia?" Asih menghampiri anaknya yang semringah tanpa beban.
Pram meringis senang, ia menumpuk satu kakinya ke atas kaki lainnya sembari menaik-turunkan alisnya. Rasanya bukan main setelah mendapatkan pacaran bohongan dalam waktu sekejap dari selembar brosur kusut di warung kopi pinggir jalan.
"Ayang Pevita siap untuk dihubungi, Mak. Tapi jangan tanya yang aneh-aneh, ayang Pevita baru sibuk baca skrip drama jadi takutnya nanti dia gak mood syuting terus marah sama kita, gawat Mak." dusta Pram yang terlihat begitu meyakinkan Asih hingga ia merasa jantungnya berdebar menunggu tanggapan ibunya.
Maaf, Mak. Maaf aku bohong terus.
Asih pindah ke samping Pram sambil menganggukkan kepala patuh.
"Iya emak janji, jadi buruan telepon dia, emak mau ngobrol-ngobrol sama Pevita. Mau tau dia syuting dimana, kalau masih di Bali. Kapan-kapan kita nyusul kesana aja Pram, di kampung emak habis panen padi dan ayam. Jadi uang emak banyak."
Pram terenyak memikirkan keinginan ibunya, begitupun jawaban Mentari nanti. Sontak pikirnya tidak bisa berpikir jernih, kemungkinan-kemungkinan yang sendirinya muncul di kepala seakan menakuti dirinya sendiri. Takut terbongkar dan lagi-lagi ide konyol ibunya akan menghantuinya setiap bulan.
"Cepetan di telepon, Pram. Nanti dia keburu syuting terus emak gak bisa tidur nyenyak mikirin pacarmu." desak Asih.
Dada Pram mengembang sewaktu menghirup napas dalam-dalam. Tak ada salahnya untuk mencoba peruntungan, pikir Pram, sembari memfokuskan diri pada layar ponselnya.
"Sebentar Mak." Pram membuang napas sewaktu sambungan teleponnya tak kunjung tergantikan dengan suara resepsionis losmen idaman.
"Kamu dimana Pevita KW? Baru juga jadi pacar bohongan udah pinter bikin gelisah." batin Pram dengan mata meredup.
Selagi Pram menunggu teleponnya yang ke tiga kali terangkat. Mentari keluar dari kamar mandi sembari bergegas mengambil ponselnya di atas meja rias.
Ditariknya sebuah kursi tepat di hadapannya. "Pram." Mentari mengembuskan napas dalam-dalam sembari menyunggingkan senyum ramah lalu menyapa dengan nada yang begitu lembut.
"Selamat siang, Pram."
Kok Pram sih, batin pemilik nama itu sambil tersenyum sedih.
"Ayang gitu, jangan Pram terus ayang Pevi, sekali-kali yang mesra dong." Pram menginterupsinya sembari melirik Asih yang sudah terlihat ingin segera bergabung dengan mereka berdua. Kekasih bohongan.
Mentari menjauhkan ponselnya dari telinga sambil mengernyit.
"Ayang? Ya ampun, aku benar-benar harus menjadi pacar bohongannya? Kenapa jadi begini, kasian si Pevi." gumamnya lirih.
"Ayang, bicara dong. Oh iya, ini aku baru sama emak. Kamu mau bicara dengannya ayang?" sahut Pram menahan tawa sampai perutnya mengeras, merasa gila sendiri dan tak membayangkan apa yang di pikir Mentari sekarang terhadapnya.
Semoga lu gak nganggep gue gila ya, Mentari. Gue terpaksa begini.
"Baik ayang." kata Mentari. Sontak Pram meloloskan tawanya yang begitu membuncah suasana sampai-sampai Mentari dan Asih heran dan ikut tertawa mendengar nada suara Pram.
"Ya Allah, begitu kan manis. Ha-ha, makasih ayang." Ampun parah banget dah, kekeh Pram sampai terengah-engah kehausan.
"Jadi dimana ibu kamu, ayang?" tanya Mentari meski berat hati. Dia hanya berusaha acuh tak acuh terhadap Pram dan dustanya kepada ibunya dengan iming-iming losmennya akan memiliki tamu. Sebuah kerjasama di atas dusta yang menguntungkan semuanya.
"Mak, nih ayang Pevi mau ngomong." Pram mengulurkan ponselnya. Asih dengan sigap menerima dan memasang wajah kekanak-kanakan.
"Aku ambil minum dulu, Mak!" Pram berbalik menuju dapur, sementara Asih dengan lembut menyapa Mentari.
"Assalamualaikum, geulis."
"Waalaikumsalam, ibu. Apa kabar?" Mentari berdiri, bergeming di jendela yang terbuka, matanya mengekspos pohon-pohon di belakang rumah sembari mendengarkan Asih bicara dengan santun.
"Emak baik geulis, emak senang bisa ngobrol dengan kamu karena sudah lama lho emak nunggu momen ini." aku Asih sembari tersenyum senang.
Pram menyilangkan kakinya sembari bersandar di kusen pintu. Tangan kanannya menggenggam segelas air dingin dan telinganya mendengar ibunya ngobrol. Senang dan gembira.
"Dasar debt collector mantu." rutuk Pram dalam hati, "Gak habis pikir gue kalau sampai Mentari jujur, gawat! Semua langsung ke bongkar."
Seketika Pram langsung kembali ke samping ibunya.
"Udah ya Mak." katanya sembari menengadahkan tangan.
"Lho sebentar lagi, emak baru asik ini ngobrolnya."
Demi apapun, Mentari yang tidak tahu menahu soal syuting, Bali, artis dan apapun itu tentang kekasih bohongan Pram ikut-ikutan menjadi pembohong fasih dan segera ingin menyudahi obrolan tidak santai mereka.
"Iya ibu, aku sudah harus ambil gambar dengan sutradara film. Jadi kapan-kapan kita ngobrol lagi ya." sahut Mentari, melerai perdebatan Asih dan Pram yang keduanya bersikukuh untuk menyudahi dan lanjut terus ngobrol.
"Tuh kan, Mak. Ayang udah mau syuting lagi jadi udah ngobrolnya. Kasian dia masih harus make up dan baca skrip lagi kalau emak gak peka-peka. Putus ntar." imbuh Pram sambil meraih ponselnya dari genggaman ibunya.
"Tanyain dia syuting di Bali sebelah mana, Pram!" seru Asih sewaktu Pram beranjak dan menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Huft, sorry banget ya, Mentari. Emak gue pasti nyusahin kamu." kata Pram, menghempaskan tubuhnya di ranjang dengan rasa penat yang luar biasa. Sortir bibit ikan yang jumlahnya seabrek-abrek, belum ditambah Asih yang terus menanyakan kekasih bohongannya. Lengkap sudah penderitaan batin dan fisik yang Pramoedya Aji rasakan hari ini.
Mentari tersenyum, kehadiran Pram dan Asih cukup menghiburnya dikala Bisma masih menjadi titik atensi masa lalu yang terus bersemayam di sudut hatinya paling bawah, di dekat ulu hati yang kadang-kadang masih menimbulkan nyeri.
"Saya tidak tahu masalah apa yang menimpamu Pram, tapi sepertinya ibumu tadi sangat mengharapkan pertemuan dengan perempuan bernama Pevita."
Pram sengaja berdiam diri agak lama untuk menimbulkan rasa penasaran bagi Mentari.
"Pram, maaf, saya harus kembali bekerja. Saya tutup teleponnya ya." sahut Mentari, ia punya jemuran di luar yang harus segera di angkat kala awan mendung sudah bernaung di atas losmen.
"Eh, nanti dulu, Mentari." potong Pram cepat sembari memeluk guling di sebelahnya. "Gue mau berterima kasih atas bantuanmu hari ini. Makasih ya, emak gue pasti tenang sekarang punya calon mantu." Bohongan, imbuh Pram dalam hati.
"Eh maksudnya apa?" sekonyong-konyong Mentari gelagapan, "Bercandanya jangan kebangetan, Pram!" ucapnya tegas. Wajah Mentari mulai pucat.
"Dih, ada juga yang takut nikah ternyata." Pram terkekeh kecil, "gue punya temen." selorohnya tanpa tahu sebab apa yang dialami Mentari hingga kata nikah menjadi terdengar mengerikan.
Mentari menghela napas, "Sudah ya, Pram." kata Mentari buru-buru.
"Gue tunggu nomer rekeningnya untuk booking kamar dan bantuanmu tadi Mentari." sahut Pram, dia merasa ada ketergantungan pada Mentari atas kebaikan tadi.
"Tidak perlu." tolak Mentari, ia menaruh ponselnya buru-buru sewaktu rintik-rintik hujan dan angin mulai membasahi dedaunan yang bergemerisik liar hingga menjatuhkan daun-daun tua ke atas tanah.
Pram terpaku, menyangka Mentari tersindir dengan ucapannya.
"Sial, malah salah paham gini." gumam Pram, memandang ponselnya yang tidak terputus namun tak ada suara yang menyahutinya.
"Mentari?" panggil Pram. Menunggu dengan sabar hingga suara keranjang yang di taruh dengan cepat membuatnya kaget sendiri.
"Mentari?"
"Astaga belum kamu matiin teleponnya, Pram?" tanya Mentari heran. Tubuhnya basah kuyup kehujanan.
Pram tersenyum, napas yang terdengar ngos-ngosan itu menyingkirkan rasa khawatirnya.
"Gue takut kamu salah paham dengan maksud gue tadi, makanya gue tungguin kamu balik lagi. Sibuk ya atau ada tamu?" tanyanya penasaran.
"Hujan disini, sudah ya. Saya harus mandi." Mentari meraih handuk dari gantungan baju dan mulai menelanjangi dirinya di kamar.
Mandi? Pram menyeringai.
"Gue tunggu daftar harga penginapannya. Selamat mandi Mentari yang kehujanan." kata Pram sembari meringis senang.
Tanpa sadar Mentari menyunggingkan senyum lembut di bibirnya, ia menaruh ponselnya di meja dan segera melangkah ke kamar mandi. Susah dan senangnya hari ini adalah bagian hidup yang tak seindah melodi alam hari ini.
"Pacar baru? Menikah?" Ehm, Mentari meninggalkan kamar mandi, meraih pigura foto pertunangannya dengan Bisma seraya membuangnya ke tempat sampah.
•••
To be continue and happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Rose_Ni
aku juga ikutan ketawa😂
2022-11-20
0
Ersa
☀️🌧️
2022-10-24
0
adek jelek
gitu dong tari buang tuh mantan move on
2022-10-08
1