Mentari mematut diri di cermin kamarnya sembari menyisir rambutnya yang panjang. Cermin setinggi seratus tujuh sentimeter itu memantulkan sepenuhnya tinggi badannya yang hanya setinggi seratus enam puluh sentimeter. Ia tersenyum, blus berwarna biru muda lembut dengan rok rempel warna putih membalut tubuhnya pagi ini. Mentari terlihat sederhana dan anggun.
"Tar, tamunya udah datang. Ayo buruan." panggil Dara, sahabat sekaligus pegawainya itu melongok dari ambang pintu dengan ekspresi buru-buru.
"Ini baru jam delapan, kenapa udah pada datang, Ra!" Mentari memasang wajah panik sembari menyempurnakan riasan di wajahnya yang tak berlebihan seperti kesukaannya sewaktu bersama Bisma. Tak ada eye shadow yang di bubuhkan di kelopak mata. Tak ada mascara yang melentikkan bulu matanya. Gadis itu hanya memakai bedak ringan dan lipstik dengan warna peach.
Dara mengendik, "Paling-paling mereka berangkatnya dari rumah kecepatan, Tar. Jadi sampai sini kepagian."
Huft.
Dengan langkah cepat keduanya gegas berpencar. Mentari masuk ke arah dapur sementara Dara kembali ke depan untuk menyambut tamu.
Mentari menyiapkan jajanan pasar yang di beli orang tuanya tadi di pasar tradisional seraya menuangkan welcome drink berupa wedang uwuh yang telah di seduh Purwati di tungku api.
"Ibuk..., Tamunya sudah datang. Persiapan makan siang sudah semua?" tanya Mentari sembari mengangkat nampan.
Purwati mengangguk sambil mengupas bawang merah, "Semua udah siap, Tar. Sudah kamu ke depan saja sana, jangan lupa senyum yang ramah biar pelanggan betah."
"Makasih ibuk...," Mentari meninggalkan dapur selagi wedang uwuh mengepulkan asap panas. Minuman yang cocok sebagai penghangat tubuh di kala udara dingin.
Di depan losmen yang memiliki bangunan dengan arsitektur klasik, tiga orang pemuda menurunkan tas carrier berukuran sedang sementara dua gadis belia dengan berani memakai celana hot pants di cuaca dingin begini.
Kulit badak, pikir Mentari. "Selamat pagi dengan pemesan kamar bernama Maxime dan kawan-kawan." sapanya ramah.
Maxime yang berparas kebule-bulean berbalik sembari menaruh tasnya di tanah.
"Gue Maxime." katanya sembari tersenyum menatap gadis desa yang menawan, pikirnya. "Sori kita datang kecepatan. Ada perubahan jadwal nanjak dari ranger gunung gue."
(Ranger gunung : penjaga hutan atau biasanya warga setempat yang bisa disewa para pendaki untuk back up dan penunjuk trek pendakian. Semacam tim SAR dalam skala kecil.)
"Tidak masalah, kami slalu siap melayani tamu losmen ini." komentarnya sembari tersenyum formal. "Silahkan masuk ke ruang tamu untuk isi data diri sebelum masuk ke kamar."
Maxime mengiyakan. "Guys, istirahat dulu terus prepare." katanya kepada teman-temannya yang sibuk berfoto-foto. "Oh iya, siapa nama kamu?"
"Mentari." jawab gadis yang masih membawa nampannya.
"Tolong untuk makan siang nanti kita mau yang gak pedes, bisa? Kita takut ntar waktu ndaki gunung kebelet pup. Gak lucu banget kan kalau diare?" seloroh Maxime.
Mentari membalas dengan senyuman geli yang menulari Maxime. Lelaki itu tersenyum ringan.
"Bisa, nanti saya bicarakan dengan ibu di dapur." jawab Mentari, ia mendahului tamunya masuk ke dalam ruang tamu sederhana yang memiliki jendela tinggi.
"Silahkan di nikmati, anggap saja ini welcome drink dengan rasa kearifan lokal." kata Mentari ramah sembari menyajikan wedang uwuh ke masing-masing tamunya.
Dua gadis tadi mengernyit memadang minuman yang mungkin tak pernah mereka jumpai seumur hidup di kota mereka.
"Minuman apa ini?" tanya gadis berambut cepak.
"Minuman herbal, sayang. Mirip-miriplah kayak jamu. Bagus untuk stamina dan daya tahan tubuh." kata seorang pria berkaca mata.
Mentari dapat melihat betapa besar cinta lelaki itu untuk gadis berambut cepak. Mentari tersenyum sedih, ia pernah begitu di sayangi Bisma, begitu di puja-puja namun...
"Arrghh..." Mentari menepis tangan yang menyentuh bahunya. "Maaf-maaf, saya kira..."
Maxime meringis dengan rasa geli di benaknya. "I am sorry, i touch you." katanya meminta maaf karena menyentuh Mentari.
Gadis itu menunduk dengan senyum canggung dan kepada Maxime yang ia anggap jomlo di antara dua pasang temannya, Mentari bertanya, "Maafkan saya melamun, ada yang bisa saya bantu?"
"Ehm, wedang uwuh ini enak." aku Maxime, "boleh gue minta lagi untuk di bawa naik gunung nanti dalam jumlah banyak?"
Mentari mengangguk. "Bisa, mau berangkat jam berapa nanti?"
"Setelah makan siang." Maxime menyomot combro dari piring. "Antar kita ke kamar sekarang bisa? Gue udah pegel berdiri terus."
Mentari mengambil kunci dari dalam laci seraya membawakan sepiring combro yang hanya disukai Maxime seraya memandu tamu mereka ke kamar.
Mentari bergeming di depan kamar nomer lima sembari menatap rikuh tamu-tamunya.
"Maaf sebelumnya, losmen ini tidak memperbolehkan laki-laki dan perempuan berada di satu kamar kecuali sudah menikah." gadis itu tersenyum sembari mengulurkan kunci kamarnya pada Maxime.
"Bisa gue atur." Maxime mengerti, "kami nginap disini hanya untuk transit bukan bikin anak!" sindirnya sembari melototi keempat temannya.
Mentari mengangguk, meninggalkan selasar kamar yang memiliki pemandangan pepohonan nan teduh dengan langkah gegas.
Hidungnya mengendus aroma masakan dari arah dapur.
"Ibuk udah masak?" tanyanya sembari membuka penutup wajan. Mentari sontak cemberut.
"Mereka maunya masakan yang gak pedes, buk. Jadi bisa gak kita bikin menu lagi yang gurih?" pinta Mentari diserahi pandangan penuh harap, namun benaknya yakin ibunya akan sebal dengan permintaannya itu.
"Demi bintang lima untuk losmen ini, buk."
Purwati mendengus sembari melihat jam di dinding. "Kenapa gak bilang dari tadi? Kalau begini siapa yang mau menghabiskan masakan sebanyak ini, Tari!"
Ibunya mengomel panjang lebar namun dengan cekatan menyiapkan bahan-bahan untuk membuat capcay udang dan perkedel kentang.
Mentari tersenyum kemudian dengan cepat ia menarik ponselnya yang bergetar di dalam kantong celana.
Mentari tersenyum kecut, usianya yang bisa di bilang tidak muda lagi membuat cara berpikirnya saat ini memang benar-benar berbeda setelah pertunangannya dengan Bisma berakhir tragis.
"Kenapa lagi mas Bisma, kenapa harus kirim-kirim fotoku dengan Maxime segala? Cemburu?"
Mentari mengabaikannya, takut istri Bisma marah-marah dan mendatangi losmennya seperti waktu Bisma kepergok mangkal di warung tak jauh dari losmen dan tak sengaja bertemu dengan Mentari.
"Kita gak bisa kembali, Mas! Jangan berharap ini mudah bagiku karena aku - aku semakin kecewa dengan kamu."
Gadis itu memilih memfoto masakan yang sudah ibunya masak untuk di pajang di situs losmen idaman. Mengalihkan atensi akan Bisma yang ternyata masih terdiam di sudut paling strategis mengintip Mentari.
•••
To be continue and happy reading.
Jangan lupa like dan komen ya.
Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Queeny
Yang paling menyesal dan merasa bersalah dari sebuah hubungan yg kandas adalah pihak yang salah dan meninggalkan kita, so semangat tari
2023-08-25
0
Reiva Momi
syukur kamu Mentari si Bisma kelihatan belang nya sbelum kalian menikah.. coba kalau udah menikah kan kamu yg rugi Mentari
2022-10-16
2
M akhwan Firjatullah
pengen d slepet ni si Bisma..
2022-10-08
0