Malam datang begitu sempurna, berawan dan berbintang seakan waktu memihak Pram yang telah mengatur rencana sedemikian rupa untuk pergi tengah malam nanti. Pram tersenyum sembari menarik ke belakang kursi di ruang makan.
"Makan yang banyak, Mak, Pak." kata Pram sabar.
"Kamu yang makan banyak, Pram. Emak dan bapakmu sudah puas makan apa saja sampai setua ini." Asih menaruh tiga centong nasi putih ke piring anaknya, ayam goreng dan tumis kangkung. Satu piring itu terlihat menggunung sampai Pram meringis senang yang dipaksa megar di wajahnya.
"Gak masalah, itung-itung nanti aku gak usah berhenti di warung pinggir jalan. Emak emang paling pengertian." batin Pram. Setelah mencuci tangannya, dia melahap semua yang telah ibunya siapkan dengan cinta dan tanpa firasat apa-apa.
"Emak dan bapak mau apa setelah makan?" tanya Pram basa-basi.
Koper besarnya tidak bisa ia turunkan dari kamar jika kedua orang tuanya belum tidur atau setidaknya pergi keluar.
"Tumben tanya-tanya emak sama bapak mau apa, emangnya kamu mau ngajak kita jalan-jalan disini Pram?" tanya Asih lekat memandang anaknya.
"Kalau emak dan bapak mau ya ayo aja, mau kemana?" tawar Pram santai.
Jika orang tuanya kelelahan, nanti tidurnya semakin nyenyak dan tidak akan tahu dia keluar rumah, pikirnya gesit, toh sudah kejepit umur dan dustanya sendiri membuatnya harus berpikir keras untuk menghindari paksaan dari debt collector mantu itu dengan cara yang kalem.
"Wah kebeneran kalau gitu, Pram. Emak maulah jalan-jalan ke mal." sambutan meriah dari Asih itu membuat Pram semakin ditekan rasa bersalah. Tapi tak ada kata batal baginya setelah apa yang sudah ia lewati demi memenuhi keinginan ibunya terlalui begitu sulit dan mengurangi kewarasannya.
Pram mengiyakan, begitu semua selesai bersiap dan Avanza ibunya ia kemudikan dengan fokus. Pram menghubungi Ari via aplikasi chatting.
Mas Ari, tolong turunkan koperku warna biru di atas lemari dan sembunyikan di semak-semak bawah pohon mangga. Pastikan Mbok Sum tidak lihat!
Ari kontan bertindak seperti musang yang ingin memburu anak ayam, terus mengawasi pergerakan Mbok Sum sembari mengendap-endap menuju kamar Pram. Sementara Mbok Sum yang sebenarnya bisa dikata, dia pun tak mengetahui kemunculan Ari di dalam rumah Pram malah terkekeh-kekeh di kamar saat nonton sinetron kesayangannya.
Ari mengayunkan pintu dengan ekspresi tegang, seakan benar-benar mempertaruhkan nyawanya demi sebuah koper biru.
"Lah, kok kopernya biru semua. Mana yang harus aku turunin?"
Ari berkacak pinggang sembari berpikir, karena tidak jelas mana yang harus ia ambil, Ari menurunkan tiga koper berwarna biru itu semuanya. Dia membawa satu persatu koper itu ke semak-semak di bawah pohon mangga dengan ekspresi yang sama. Tegang, seolah benar-benar menjadi maling dadakan.
Ari berkacak pinggang sembari menghela napas. "Ribet banget dah, padahal tinggal bilang mau piknik aja repotnya kayak tahanan mau kabur!" rutuknya sembari meninggalkan semak-semak.
•••
Di mal, Asih memilih satu cincin bertahtakan permata kecil berwarna pink sewaktu membeli perhiasan di gerai emas dan berlian yang disorot lampu-lampu cerah hingga membuat kilau emas dan berlian itu berpendar indah.
"Cocok untuk Pevita ini, Pram." Asih meraih tangan Pram seraya menaruh kotak kecil untuk Pevita dengan penuh semangat. "Jangan lupa hadiah ini kasih ke dia, bilang dari emak biar dia tahu emak juga sayang dan enggak galak."
Pram menerimanya dengan senyum resah. Bagaimana tidak resah, jari yang harus disematkan cincin itu tidak ada. Pevita hanya kekasih bohongan, khayalan semata dari seorang laki-laki bujang yang rindu akan belaian lembut kasih sayang meski masih takut mencoba pasca hati di ambang mati.
"Kalau kekecilan atau kebesaran gimana, Mak? Aku belum pernah pegang tangannya." aku Pram sembari menatap putihnya kotak beludru halus di genggaman tangannya. Sehalus kapas yang kerap ia torehkan di wajah manis Tatiana kala menghapus make up tebal yang menutup mulusnya kulit wajah kekasihnya.
"Di tukar dong, Pram. Ada garansinya." jawab Asih, "tapi garansinya emak bawa, kamu bisa ambil setelah cincin itu sudah Pevita coba dan ditunjukkan ke emak."
Pram menjejalkan kotak kecil itu ke dalam saku celana. Dan ketika ia telaah lebih jauh, Pram semakin sadar, setiap dusta yang ia lakukan terus akan berimbas pada dirinya sendiri. Logikanya berpikir sembari berjalan mengikuti langkah-langkah renta orang tuanya mengitari mal.
Mau sampai kapan aku sanggup bohong sama emak?
Pram mengacak-acak rambutnya hingga si Pevita ASLI sangat asli di depan matanya, menapak eskalator berpapasan dengan keluarganya.
"Ayang?" Pram melihatnya sampai lehernya berputar sembilan puluh derajat. Tapi bukannya senang berpapasan dengan pujaan hati, Pram dengan gelagapan merangkul kedua bahu orang tuanya.
Jangan sampai emak dan bapak ngeh.
Fyuh, diam-diam Pram menarik napas lega sewaktu berlalu tanpa kehebohan.
"Cantiknya." gumam Pram, Asih menoleh. "Siapa Pram?"
"Cincinnya tadi, Mak. Cocok banget buat Pevita."
Kontan pujian itu membuat Asih kembali menggebu-gebu memintanya untuk segera memberikan cincin itu kepada Pevita.
"Sabar, Mak. Aku usahakan secepatnya." Pram menoleh ke belakang, "sebelum terlalu jauh, gue harus foto sama dia."
Pram menyuruh orang tuanya masuk ke toko baju serba mahal sebelum dengan kecepatan orang mengejar impian ia mencari Pevita ke semua arah.
"Dik Pevita." teriak Pram.
Pevita tersenyum formal. "Hai." balasnya ramah.
Mendadak lutut Pram meleleh, dia tidak mimpi juga tidak percaya bisa-bisanya ketemu idola di mal yang memang kerap di sambangi artis-artis ibu kota.
"Boleh minta foto bareng dik?"
Gak ketulungan bagaimana muka Pram sekarang, antara malu dan mau, antara lupa diri dan sadar bahwa Pevita Pearce tidak bisa ia miliki.
Pevita tertawa spontan.
"Yah boleh mas, asal jangan 200 kali, ntar gue pasang tarif lagi. Emang mau?"
Mereka terkekeh. Dengan gerogi Pram berdiri disamping Pevita. Mereka tersenyum manis sebelum pada akhirnya pertemuan pertama sekaligus perpisahan yang begitu singkat itu membuat Pram mempunyai alibi kuat saat kabur nanti.
"Udah belum, Mak?" tanya Pram di belakang ibunya.
Asih yang sedang melihat-lihat koleksi baju panjang yang tergantung di rak menggeleng.
"Gila, Pram. Mak baru cari harga yang ramah di kantong." celetuk Asih.
Pram tersenyum geli, begitupun pramuniaga toko yang menjamu mereka dengan setelan pantalon dan jas.
"Pilih satu, nanti Pram yang bayar."
Asih kontan menarik salah satu baju panjang yang katanya sewaktu Pram bayar tadi untuk ngelamar Pevita nanti.
Pram mendesah lelah. Ada perjuangan ekstra keras untuk menghindari konsekuensi dan risiko-risiko terjelek dari dustanya itu. Tapi di titik itulah konsekuensi dan risiko menyajikan cerita yang menarik untuk di lalui.
"Udah ayo pulang, emak dan bapak harus istirahat." pungkas Pram sembari memastikan jam sudah pukul setengah sepuluh malam.
Asih dan Bagyo langsung setuju. Dalam hati Pram nyengir, kayaknya sudah tiba waktunya ke losmen idaman?
•••
To be continue and happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
Elisanoor
Kayak laki gw dulu suka ama Julie Estele yg lagi usum flm kuntilanak si Julie yg maen, asal godain laki saya, berat saingan gw kuntilanak 🤣
2024-01-01
0
Rose_Ni
sudah hilang debt collector mantu muncullah debt collector cucu
2022-11-20
0
Ersa
debt collector mantu ..Ono-ono wae kowe Pram
2022-10-24
0