Pram terseok-seok mengikuti langkah Asih yang tak peduli dengan sakitnya dijewer, diplintir dan ditarik-tarik.
"Ikut kemana, Mak? Udah deh gak usah jewer-jewer telinga gue." protes Pram kesal, "gue bukan anak kecil lagi!"
Mendengar kata 'gue' Asih meradang, ia menambah kekuatan untuk menjewer telinga Pram.
Pram mengerang kesakitan. "Durhaka emak sama anak!" serunya.
Asih menggeser pintu. Mereka melewati dapur, berbelok ke ruang makan, menyusuri koridor kamar sepanjang lima meter sebelum berakhir di ruang tamu.
Bagyo cemberut sambil melipat koran pagi. Kacau sudah ritual membacanya, padahal ada kasus yang sedang ia ikuti. Hewan ternak seperti sapi sedang terserang penyakit mulut dan kaki. Serangan wabah itu membayanginya siang-malam, ia takut sewaktu-waktu wabah itu juga menjangkiti ternaknya. Sapi. Komoditas ketiga setelah ayam potong dan petelur.
"Gue - gue, kebanyakan gaya kamu, Pram." balas Asih galak. Bagyo mengembalikan koran ke bawah meja seraya bersedekap memandang peperangan yang akan terjadi.
"Emak sudah baik-baik minta kamu nikah. Emak bebaskan kamu mencari wanita yang penting bukan wanita malam. Lah kamu, lihat..., Lihat kelakuanmu! Bocah. Bukannya nyambut emak dan bapak baik-baik kamu malah ngumpet. Malu Pram sama usiamu." cerocosnya sambil menghenyakkan tubuh di sofa.
Pram mendongkak sambil menggaruk kakinya. "Lah itu Mak tau aku masih bocah, kenapa masih di suruh kawin. Emak gimana sih, kasian ntar cewek yang aku nikahin. Ngurus bocah!" sindirnya telak.
Asih berdecak sambil menarik lagi telinga Pram dengan gemas. Rahangnya mengeras dan dengan kesal ia membetulkan kerudungnya.
"Ya Allah, jangan engkau jadikan aku ibu durhaka!" ucap Asih sungguh-sungguh. "Hamba sahaya hanya tidak ingin Pramoedya Aji, arjunaku menjadi lajang separuh baya!"
Sum terkekeh-kekeh sambil menaruh es jeruk dan ubi goreng di meja.
"Budak kasep, di suruh nikah saja tidak mau, aneh bener." kata Sum turut protes. "Kawin itu enak, mas. Mbok saja sampai punya lima anak." akunya gamblang. Sum meringis senang.
Pram terus menggaruk-garuk sampai kulitnya nyaris lecet. Asih, walau kesal dan pegal melihat tingkah laku anaknya, dia merogoh tas tentengannya. Botol minyak kayu putih, benda ajaib yang wajib dia bawa kemana saja setelah menyandang gelar sebagai lansia baru.
"Tiga puluh lima tahun itu bukan bocah lagi, Pram. Usia itu sudah layak membangun rumah tangga." kata Asih perhatian.
Dalam keadaan normal obralan seperti itu seharusnya Pram yang memijat kaki ibunya sambil merayu untuk merestuinya menikah. Tapi keadaan yang tidak normal ini membuat semua terbalik. Asih mengusap bekas gigitan semut itu dengan minyak seraya memijat kaki Pram.
"Tetangga emak di kampung udah ada yang punya anak dua. Adik-adikmu juga sudah nikah. Rame rumahnya Pram, gak seperti disini. Mirip kuburan. Sepi nyenyet." ungkap Asih, tak gentar membujuk Pram melepas masa lajangnya.
Tatapan Pram jadi menerawang, menebus awan, sambil terus terbang tinggi ke galaksi Bima Sakti.
"Rame, ribet pasti. Udah gue bayangin anaknya kecil-kecil, seliweran, teriak-teriak, mirip adek-adek gue dulu. Gue jadi tambah males nikah." batinnya, "jadi mending rumah ini mirip kuburan. Ayem tentrem dan nyaman." Pram mengangguk setuju.
"Kamu setuju, Pram?" sahut Asih.
Pram menghela napas, dia slalu benci harus bersikap serius dan percakapan seperti ini. Bisa dia hitung, dalam setiap bulan orang tuanya akan datang ke Jakarta demi hanya menyerangnya dengan pernyataan yang sama ;
'Pram gimana, sudah punya pacar?'
Setiap Pram berkata belum, ibunya akan membalas ;
'Emak malu setiap arisan trah terus-terusan ditanyain kapan ngunduh mantu Jeng Asih? Kapan Pram nikah. Mak kehabisan dusta, Pram. Ayolah kerja samanya. Kamu nikah. Emak kasih sawah satu hektar.'
Pram mengacak-acak rambutnya. Semakin kacau semakin keren, kata gadis-gadis yang menjadi karyawannya.
"Aku bukannya mau jadi anak durhaka, Mak. Cuma, jangan paksa aku untuk menikah. Aku belum menemukan gadis yang tepat untuk menghadapi mertua sepertimu, Mak." aku Pram.
Asih mengucurkan minyak dan mengoleskannya ke mulut Pram sambil mendengus sebal.
"Justru itu yang bikin kamu durhaka sama emak, Pram. Kamu asal-asalan!"
Pram terkekeh-kekeh sambil mengusap bibirnya, ia meneguk es jeruk sampai habis. Dia tahu ibunya tidak bisa tidur nyenyak kalau dia tidak juga nikah. Tapi nikah? Bayang-bayang akan menjaga hati, mencintai istri sepenuh hati, belum lagi memiliki buah hati, rasa-rasanya berat badannya akan susut perlahan-lahan saat itu terjadi.
"Mak." Pram menjatuhkan tubuhnya di atas karpet, menyejajarkan posisinya dengan ibunya. Pram bersila sambil mendesah lelah untuk hari ini. Sadar, urusan seperti ini tidak akan pernah usai sebelum dia nikah, kawin, punya anak dan menjadi pejantan tangguh keluarga Subagyo Sudiro Atmojo.
"Nikah itu nyari apa sih, Mak? Enak juga cari uang yang banyak, bisa happy-happy. Hidup bahagia. Lagian kalau emak maksa, nanti Allah marah. Mak menyalahi takdirnya dengan memaksaku nikah cepet-cepet padahal belum waktunya." kata Pram serius.
Asih tak pernah berhenti mendoakan anaknya yang ini, tapi kenapa doa itu belum terkabul? Kosasih mengira-ngira, iyakah Pram juga berdoa dengan khusyuk untuk menolak doanya?
Asih kontan merasa frustasi sendiri. Membujuk Pram seperti membujuk kungkang untuk lari. Mustahil.
"Pokoknya emak harus ngunduh mantu secepatnya! Mak gak mau kalah sama Wirasti, bulikmu sebenarnya lagi tuntas tanggung jawabnya, sedangkan emak? Ya Allah, ya Robbi. Sekarang, kamu mandi, dandan yang kasep lalu ikut emak." Asih menghela napas sambil menepuk bahu Pram.
Pram mengernyit. "Kemana, Mak? Aku ada jadwal futsal nanti."
"Pokoknya ada dan kamu harus nurut! Kalau enggak. Pram enaknya kita apain mas?" tanya Asih pada suaminya.
Bagyo berlagak mengiris lehernya dengan ekspresi dramatis.
"Tamat riwayatmu, Pram!"
Pram mendengus seraya beranjak. Mukanya benar-benar malas dan lelah dengan drama orang tuanya.
"Punya emak dan bapak kok gini-gini amat, Ya Allah. Untung juragan, kalau enggak. Aku sudah minggat dari dulu ke luar negeri jadi TKI. Alhamdulillah untung-rugi yang penting bisa ketemu Barbie seksi dan menghindari drama keluarga humoris ini."
•••
Asih mengunyah ubi goreng sambil menunggu Pram mandi.
"Kita harus gercep mas, pertemuan dengan keluarga Jeng Nia harus berhasil. Bahaya si Pram kalau jadi bujangan seumur hidup. Bisa-bisa warisannya nanti cuma buat foya-foya atau nanti jatuh ke tangan saudara-saudaramu yang serakah itu, Mas. Emak gak mau itu terjadi. Pokoknya Pram harus nikah."
Bagyo mengembuskan napas, "Terserah, Sih. Yang penting Pram tidak kamu siksa. Kasian dia, sudah dari kecil kita ajak prihatin."
Asih mengangguk pelan sambil mengangkat kedua jempolnya tinggi-tinggi. "Beres mas, bisa ku atur."
•••
To be continue and happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 119 Episodes
Comments
ImNick
ahahhahahha... "mak kehabisan dusta"
2022-12-24
0
zha syalfa
aha . ha... ha. bisa ja emak ini
2022-11-11
0
Etik Etik
Jane Iki aku Kate masak loh,berhubung Moco nopelmu masak ku tak ulur
2022-11-02
1