Gus Umar hanya dapat menarik napas panjang lalu mengembuskan dengan kasar, seolah pemuda itu ingin membuang semua beban berat yang menghimpit dada, dan membuat pernapasannya menjadi sangat sesak.
"Kakakmu akan segera menikah dengan Ning Zahra," balas nyai Robi'ah, yang mengatakan kepada putrinya dengan sangat hati-hati.
Nyai Robi'ah kemudian menatap sang putra, yang nampak sangat kecewa dengan keputusan sepihak dari kakeknya itu. Sementara kyai Abdullah hanya bisa prihatin, melihat kesedihan di mata putra sulungnya.
Mendengar jawaban dari sang umi, Laila kembali terkejut. Laila menatap sahabatnya yang masih tertunduk itu, dengan perasaan bersalah.
'Maafkan aku Da, aku enggak tahu kalau akan begini jadi nya?' gumam Laila dalam hati. Laila nampak sangat sedih dan seakan ikut merasakan kesedihan hati Aida.
'Harusnya dari awal aku sadar, siapa diriku hingga aku tak perlu merasakan kekecewaan seperti ini,' bisik Aida dalam hatinya. Gadis berseragam putih abu-abu itu semakin menundukkan kepala. Ingin rasanya Aida menghilang dari peredaran bumi, tapi gadis manis itu tidak tahu bagaimana caranya.
Menyadari bahwa sang sahabat sudah tidak nyaman berada diantara keluarganya saat ini, Laila langsung mengajak Aida masuk kedalam kamar. "Maaf, Abah, Umi. Laila dan Aida ada tugas akhir yang harus segera kami selesaikan karena minggu depan kami sudah mulai ujian akhir sekolah," pamit Laila pada kedua orang tuanya.
"Da, yuk kita masuk!" ajak Laila seraya menyeret pelan lengan sang sahabat.
Aida hanya bisa nurut dan pasrah, mengikuti langkah kaki sahabatnya untuk meninggalkan ruang keluarga itu dengan menahan rasa nyeri di hati. Kyai Abdullah dan nyai Robi'ah yang tidak mengetahui apa-apa itu pun hanya mengangguk.
Sementara gus Umar menjadi merasa sangat bersalah pada Aida. Meski Gus Umar belum pernah menyatakan perasaannya secara langsung pada Aida, tetapi gus Umar yakin bahwa Aida sudah mengetahui jika dirinya menyimpan perasaan pada gadis belia, sahabat dari sang adik itu. Apalagi, sang adik sering bercanda menjodoh-jodohkan Gus Umar dengan Aida, dan sahabat Laila itu juga terlihat nyaman-nyaman saja dengan candaan adiknya.
Seringkali pula ketika Gus Umar melakukan panggilan video pada sang adik, Laila akan mengarahkan kamera ponselnya pada Aida seraya meledek sang kakak. "Kakak pasti kangen 'kan sama Aida, pakai pura-pura telpon Laila, dan nanyain gimana sekolah Laila?" Begitulah seringkali Laila meledek sang kakak dan Aida hanya akan tersenyum manis pada Gus Umar.
"Abah, Umi. Umar mohon izin istirahat di kamar," pamit Gus Umar pada abah dan uminya. Gus Umar merasa perlu untuk segera mengetahui apa yang terjadi pada Aida di kamar Laila, setelah Aida mendengar kabar bahwa kepulangannya kali ini karena perjodohan.
"Iya, Gus. Istirahatlah, sampean pasti lelah," tutur nyai Robi'ah dengan lembut.
Kyai Abdullah hanya mengangguk dan tersenyum pada putranya.
Gus Umar kemudian beranjak dari tempat duduknya dan segera melangkah menuju ke kamar. Putra sulung kyai Abdullah itu sudah tidak sabar ingin segera menghubungi sang adik dan menanyakan keadaaan Aida pada adiknya.
Sesampainya di dalam kamar, Gus Umar segera mengirimkan pesan pada Laila.
[Dik, lagi apa?]
Gus Umar berbasa-basi terlebih dahulu karena, dia merasa malu jika harus menanyakan secara langsung kepada Laila, bagaimana kondisi Aida saat ini.
Setelah menunggu beberapa saat, terdengar notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Buru-buru Gus Umar membuka pesan balasan dari sang adik.
[Kami sedang mengerjakan tugas.]
Balasan Laila yang pendek, sama sekali tidak seperti yang diharapkan Gus Umar. Pemuda berambut sebahu itu pun mengetikkan pesan kembali.
[Apa kalian baik-baik saja?]
Pertanyaan yang ambigu dia kirimkan pada sang adik. Sebab, tadi Gus Umar sudah bertemu dengan adik dan juga sahabatnya, dan kedua gadis itu baik-baik saja. Namun, merasa bingung, dan tidak memiliki ide pertanyaan lain untuk mengetahui bagaimana keadaan Aida, membuat Gus Umar bertanya demikian.
Cukup lama gus Umar menatap ponselnya dengan perasaan was-was, menanti jawaban dari sang adik. Beberapa saat kemudian, sebuah pesan dari Laila masuk. Gus Umar pun segera membukanya.
[Jangan khawatir kak, Aida bukan gadis cengeng yang akan nangis darah ketika tahu bahwa pemuda pujaan hatinya, ternyata sudah memiliki calon istri!]
Balasan dari Laila serasa menghakiminya. Adiknya itu juga menyertakan emoticon tertawa mengejek. Laila juga menyertakan foto Aida, yang tengah khusyuk mengerjakan tugas.
Gus Umar sejenak dapat bernapas dengan lega karena apa yang dikhawatirkan tidak terjadi. Namun kini, dia malah menjadi bingung sendiri.
'Kok, Aida santai banget, ya? Apa aku yang ke-geeran dan salah mengartikan senyum serta tatapannya padaku?' Gus Umar mengusap kasar wajahnya.
Pemuda tampan itu merasa sedikit kecewa karena ternyata, Aida tidak menyimpan perasaan apa-apa terhadap dirinya. Namun, Gus Umar sekaligus merasa lega karena setidaknya, perjodohan antara dia dengan gadis pilihan sang kakek tidak melukai hati gadis lain.
Gus Umar sejenak mengamati foto Aida yang barusan dikirimkan sang adik, seraya membaringkan tubuh lelahnya di atas ranjang yang empuk. "Memang tidak terlihat ada gurat kesedihan di wajah kamu, dik, dan itu artinya, aku telah salah menilaimu selama ini," gumam Gus Umar pada dirinya sendiri dan putra sulung kyai Abdullah tersebut kemudian menghapus foto Aida yang baru saja dikirimkan oleh Laila.
Sebelum memejamkan mata, Gus Umar membuka galeri ponselnya, dan mencari folder 'gadis impian'. Gus Umar membuka folder tersebut dan muncullah foto-foto Aida yang diambil secara candit, yang dikirimkan oleh sang adik kepada Gus Umar selama ini.
Gus Umar menghela napas berat. "Aku harus menghapus foto-foto Dik Aida karena aku tidak mau melukai hati wanita yang telah di jodohkan denganku jika aku masih menyimpan foto wanita lain di ponselku." Dengan perasaan kecewa, Gus Umar menghapus semua foto-foto Aida dari galeri ponselnya.
Memakan waktu cukup lama bagi Gus Umar untuk menghapus semua foto Aida dari galeri ponselnya hingga membuat gus Umar yang memang kelelahan karena habis melakukan perjalanan jauh, menjadi tertidur.
Sementara itu di kamar Laila, Aida masih berkutat dengan tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh guru. Sedangkan Laila, usai berkirim pesan dengan sang kakak, gadis itu masih terus menatap sahabatnya dengan perasaan bersalah.
"Da, maafkan aku ya?" pinta Laila tiba-tiba dengan suara tercekat.
Aida mengalihkan perhatian dari buku-buku pelajaran di hadapannya pada Laila. "Maaf? Untuk apa, La? Kamu tidak melakukan kesalahan apapun Laila. Kenapa harus minta maaf?" Aida pura-pura tidak mengerti maksud Laila dan menatap heran netra sahabatnya yang mulai nampak berkaca-kaca.
Laila menghambur memeluk Aida dan menangis dalam pelukan sahabatnya itu. Cukup lama Laila menangis seraya memeluk Aida dan Aida sengaja membiarkan saja. Sudah menjadi kebiasaan jika Laila gundah dan bersedih, Aida-lah yang akan menjadi tempat bagi gadis itu untuk mencurahkan segala kesedihan hatinya.
"La. Udah, ya, nangisnya. Nanti kamu jadi jelek, loh. Mata kamu akan terlihat besar dan jika umi tahu kamu habis nangis, umi pasti ikut sedih," bujuk Aida, setelah membiarkan Laila menumpahkan air mata beberapa saat lamanya.
Laila merenggangkan pelukan dan menatap Aida dengan tatapan dalam. "Jangan berpura-pura seolah kamu baik-baik saja, Da. Aku tahu hatimu bersedih 'kan?"
Aida tersenyum kecut, seraya menggeleng. Sikap sahabat Laila itu, sangat kontras dengan isi hatinya yang pedih, dan perih tetapi tidak berdarah.
bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
mama aya
mencintai dalam diam
begitu menyakitkan 😭😭😭
2024-05-22
1
sherly
cinta yg tak terungkap ya sakitlah, apalg dgr salah satunya mau nikah .. haduw hancur banget.. tp Aida hebat banget menyembunyikan sedihnya..
2023-11-16
1
Cah Dangsambuh
baru part dua udah jatuh cinta,,,plus mewek hehe,,,makasih kak author ,kenapa aku baru nemuin ini baru ya
2023-06-09
1