Semalaman gus Umar menunggu kabar dari mbak Ning, namun wanita yang bekerja di warung bibi Aini itu tak ada menghubungi Laila seperti pinta nya kemarin.
Sedangkan gus Umar sendiri, malam itu tak mungkin meninggalkan acara selamatan di kediaman nya karena keluarga ning Zahra juga hadir di sana.. dan orang tua ning Zahra sekaligus pamit memboyong ning Zahra untuk pulang dari pesantren kyai Abdullah, karena ning Zahra harus di pingit sampai hari pernikahan nya nanti.
Karena cemas, gus Umar memutuskan untuk kembali ke kediaman bibi Aini sebelum sholat shubuh.. dan berharap, akan mendapatkan informasi tentang keberadaan bibi Aini serta kondisi nya terkini.
Dengan kecepatan tinggi, gus Umar melajukan kendaraan nya di jalanan yang masih sepi itu.. hingga tak butuh waktu lama, gus Umar telah tiba di kediaman bibi Aini.
Setelah memarkir mobil nya, gus Umar mengetuk pintu rumah bibi Aini karena mbak Ning memang menginap di sana bersama putra semata wayang nya yang masih kecil.
Tok,, tok,, tok,
Gus Umar mengetuk pintu dengan pelan, karena khawatir membangunkan tetangga bibi Aini yang lain.
Setelah beberapa saat menunggu, terdengar langkah kaki seseorang yang berjalan kearah pintu.
"Assalamu'alaikum mbak Ning,," sapa gus Umar setelah pintu di buka, dan mbak Ning muncul dari balik pintu. "Maaf kalau kedatangan saya mengganggu istirahat mbak Ning, saya cuma mau tanya.. apakah bu Retno belum ada pulang?" Tanya gus Umar langsung pada tujuan nya.
"Oh, nggih gus,,, tadi saya menunggu sampai jam dua belas, tapi bu Retno dan sopir nya ndak ada pulang je. Saya juga bingung gus, ndak tahu mau tanya sama siapa lagi?" Balas mbak Ning dengan wajah khawatir nya.
Gus Umar menarik nafas dalam dan menghembus nya kasar, hati nya semakin gundah. "Aida,, dimana kamu sekarang? Kamu pasti sedang kebingungan saat ini, dan aku.. aku tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu mu," gumam gus Umar dalam hati, pemuda tampan itu merasa sangat menyesal.. mengapa kemarin siang tak langsung mengejar Aida.
Gus Umar menyandarkan tubuh nya di dinding, di samping pintu utama kediaman bibi Aini. Kaki nya seolah terasa lemas, dan tak mampu menopang bobot tubuh nya.
"Gus, monggo pinarak dulu. Kita tunggu di dalam, siapa tahu bakda shubuh nanti bu Retno pulang," ucap mbak Ning dengan sopan mempersilahkan gus Umar untuk masuk.
Gus Umar menggeleng, "tidak perlu mbak, terimakasih. Biar saya menunggu di sini saja, mbak Ning kalau mau lanjut istirahat silahkan," balas gus Umar seraya beranjak menuju bangku yang berada di teras bibi Aini.
"Baik lah gus, saya mohon undur diri." Mbak Ning kemudian masuk kembali tanpa menutup pintu rumah tersebut, karena masih ada gus Umar di teras.
Gus Umar duduk termenung, pikiran nya terus tertuju pada Aida dan ibu nya. Nyamuk-nyamuk nakal yang menggigit kulit putih nya, tak hiraukan nya. Sensasi rasa panas dan gatal akibat gigitan nyamuk tersebut, tak sebanding dengan penyesalan yang dirasakan nya saat ini.
Hingga kumandang adzan shubuh dari masjid di kejauhan, membuat gus Umar tersadar.. bahwa dia harus segera pulang, sebab tepat pukul setengah enam nanti gus Umar dan keluarga nya harus berangkat ke bandara.
Gus Umar kemudian pamit kepada mbak Ning, dan tak lupa kembali berpesan pada wanita itu agar segera menghubungi Laila begitu ada kabar tentang Aida dan bibi Aini.
Setelah pamit pada mbak Ning, gus Umar segera naik kedalam mobil nya dan melaju dengan kecepatan tinggi untuk kembali pulang ke kediaman nya.
Gus Umar tiba di kediaman nya tatkala para santri baru saja selesai menunaikan ibadah sholat shubuh di masjid yang berada di dalam komplek pesantren putra, dengan tergesa gus Umar masuk kedalam rumah untuk segera menunaikan kewajiban nya itu.
Ketika baru saja masuk, sang umi telah menanti dengan tatapan menyelidik, "gus, pagi-pagi buta begini sampean dari mana?" Tanya nyai Robi'ah.
"Umi, assalamu'alaikum,," ucap salam gus Umar seraya menyalami sang umi dan mencium punggung tangan nya dengan takdzim. "Maaf umi, Umar belum sholat.. nanti Umar ceritakan," lanjut nya seraya meninggalkan sang umi dengan tergesa-gesa menuju kamar nya, dan nyai Robi'ah hanya bisa berdiri termangu menatap kepergian nya.
Sesampainya di kamar, Gus Umar langsung membersihkan diri nya dan kemudian segera menunaikan sholat shubuh yang sedikit terlambat itu.
Usai sholat, gus Umar segera bersiap karena waktu telah menunjukkan pukul lima lebih. "Kak, di tunggu abah dan umi untuk minum teh dulu," panggil Laila dari luar pintu kamar nya.
"Iya, bentar lagi dik.. nanti kakak nyusul," balas nya.
Gus Umar menatap diri nya dari pantulan cermin yang berada di pintu almari pakaian nya, pemuda tampan itu mendesah kasar. "Aida, saat ini yang bisa kulakukan hanya lah mendo'akan mu. Semoga kamu dan bibi Aini baik-baik saja," lirih gus Umar seraya mengusap kasar wajah nya.
Gus Umar kemudian segera keluar dari kamar nya dan menuju ke ruang keluarga, "abah, umi,," sapa gus Umar, dan kemudian ikut duduk di sofa bersama keluarga nya itu.
"Gus, apa sampean tadi ke rumah bibi Aini lagi?" Tanya nyai Robi'ah pada putra nya.
Gus Umar menatap sang adik,,
"Maaf kak, Laila sudah cerita sama abah dan umi," ucap Laila pelan.
Gus Umar mengangguk, "nggih umi," balas gus Umar singkat.
"Bagaimana gus, apa sudah ada kabar tentang mereka?" Tanya kyai Abdullah, yang juga penasaran tentang kondisi bibi Aini.
Gus Umar menggeleng lemah, "belum ada bah," balas gus Umar dengan lesu.
Abah menarik nafas dalam, laki-laki sepuh itu pun terlihat bersedih atas apa yang terjadi pada Aida dan ibu nya. Karena bagi kyai Abdullah dan keluarga nya, Aida dan ibu nya sudah seperti keluarga nya sendiri.
"Di minum dulu teh nya gus, mumpung masih hangat.. biar sampean tidak masuk angin." Nyai Robi'ah memberi kan segelas teh hangat pada putra nya, gus Umar menerima nya dan kemudian meminum teh tersebut.
"Makasih umi," ucap gus Umar tulus, atas perhatian kecil yang selalu di berikan oleh wanita yang sangat di sayangi nya itu.
Hening menyapa ruang keluarga tersebut.
"Sebentar lagi kita harus berangkat, mari kita berdo'a dulu untuk bibi Aini agar beliau di berikan kesembuhan.. dan juga untuk Aida, agar dia di berikan kesabaran dalam menjalani semua nya," kyai Abdullah mengangkat kedua tangan nya dan berdo'a dengan khusyuk, dan keluarga yang lain mengaminkan nya.
@@@@@
Sementara itu di rumah sakit besar di ibu kota propinsi, Aida masih saja terus menangis hingga mata nya menjadi bengkak. Pasal nya sang ibu masih belum sadar juga dari pingsan nya, padahal mata hari sudah terbit di ufuk timur.
Bu Retno yang masih menemani Aida pun, ikut-ikutan tidak tidur semalaman. "Nduk, sudah ya.. jangan nangis terus, nanti ibu mu jadi sedih lho kalau tahu kamu seperti ini?" Ucap bu Retno dengan lembut, mencoba menghibur Aida.
Namun tangis Aida malah semakin menjadi, sebab yang dipikirkan Aida saat ini bukan hanya tentang kondisi ibu nya yang belum juga sadar,, namun juga biaya perawatan ibu nya yang pasti nya sangat mahal, sebab bu Retno memilih kamar VIP untuk perawatan sang ibu meski saat ini biaya tersebut di tanggung oleh bu Retno.
Bu Retno adalah orang terkaya di lingkungan bibi Aini tinggal, beliau memang terkenal suka mengulurkan tangan nya untuk membantu tetangga yang membutuhkan. Namun bu Retno selalu meminta imbalan lebih dari apa yang telah di lakukan nya, hingga orang-orang menjuluki nya dengan lintah darat.
bersambung,,,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Ita rahmawati
kasian bgt si kmu aida 😭😭😭
2023-06-05
1
Maulana ya_Rohman
jan... bahaya.... bahaya.... bahaya....🤦🏻♀️🤦🏻♀️🤦🏻♀️
2023-05-23
1
Rapa Rasha
waduh tu Bu Retno nolong sudah dan buat ada sesuatunya
2023-04-04
1