Taman Bangau terletak di tengah kota, dan banyak ditumbuhi pohon-pohon tua yang tinggi dengan dahan-dahan yang melengkung seperti kanopi sebagai naungan. Taman ini sering dipakai menjadi pusat kegiatan lokal, tetapi hari ini taman itu hampir kosong.
Hanya terlihat sepasang suami istri lanjut usia sedang duduk di meja piknik yang terbuat darikayu, dan seorang ibu muda yang sedang mendorong gadis kecilnya di ayunan diarea taman bermain. Taman itu dinamai taman bangau, karena ada danau kecil ditengah taman dimana banyak bangau disana. Selain bentuk danau yang melingkar-lingkar terlihat seperti bentuk bangau.
*visual taman bangau
Jonathan dan Jilena duduk berdampingan di salah satu meja piknik, di bawah pohon elm yang sangat besar, Jilena dan Jonathan membongkar kotak makanan mereka dari Restoran Paradise dan melanjutkan makan siang mereka yang terganggu oleh kehadiran Noah.
"Maaf ya, acara makan siang kita terganggu."
"Tidak apa-apa. Kita masih bisa melanjutkannya disini, iyakan?"
"Kamu tidak keberatan untuk ceritakan semua padaku?" tanya Jonathan lagi. Dia tidak ingin gadis itu merasa sedih dan terluka, namun ia ingin tahu semua tentangnya.
"Iya, baiklah."
Jilena melanjutkan ceritanya tentang apa yang terjadi setelah Jilena dan Noah memberitahu kedua orang tua mereka tentang kehamilannya dan bagaimana reaksi dari keluarga Arsyanendra. Bahkan ayahnya sendiri malah mengirimnya tinggal bersama neneknya.
"Aku benar-benar tidak tahu," kata Jonathan dengan suara lirih. Bisa dia bayangkan betapa terlukanya gadis itu.
Setelah Jikena melahirkan, dan menyerahkan anak laki-lakinya untuk di adopsi, dia berusaha untuk melupakan semua dan mencoba mengobati lukanya. Untuk sementara waktu dia tinggal di rumah neneknya, tapi sang nenek tidak membiarkannya terpuruk terlalu lama. Dia mendesak Jilena untuk melanjutkan hidupnya, setelah tamat SMA, dia melanjutkan kuliah di perguruan tinggi di ibukota, mendapatkan gelar sarjana di bidang jurnalisme.
“Aku bekerja di sebuah surat kabar kecil selama beberapa tahun, tapi kemudian aku dipekerjakan oleh surat kabar yang lebih besar di ibukota.”
"Selama bertahun-tahun aku hidup sendiri, menutup hatiku, melupakan rasa sakit hatiku."
Jonathan tampak serius dan terpaku mendengar ceritanya. Dia kini tahu alasan kenapa hubungan hubungan Jilena dan ayahnya renggang. Pria itu makin mengerti semua rasa sakit dan kesengsaraan yang dialami gadis itu.
Akhirnya dia pun beranikan diri bertanya “Bagaimana reaksi orang-orang padamu saat tahu kamu hamil?"
“Mama tentu saja sangat sedih—sangat kecewa. Dia tidak menginginkan itu terjadi padaku.”
“Bagaimana dengan ayahmu? Yang aku tahu jika aku membuat seorang gadis hamil saat remaja, ayahku akan menyamak kulitku, lalu dia akan menceramahiku setiap hari selama sisa hidupku.”
“Ayahku malah membangun tembok diantara kami. Dia menjauhiku.”
"Tembok?" Alisnya berkerut dengan ekspresi bingung.
“Baginya aku sudah tidak ada lagi. Aku mungkin sudah mati baginya. ” Dia menyibukkan tangannya dengan serbet kertas di pangkuannya, tanpa berpikir melipatnya menjadi persegi kecil. Matanya diturunkan saat dia berbicara. “Papa jarang mengucapkan lebih dari dua kata-kata padaku. Dia bahkan tidak tahan melihatku.”
"Maksudmu saat awal kejadian?" tanya Jonathan.
Jilena mengangkat wajahnya yang penuh air mata, menatap Jonathan dan melemparkan serbet yang terlipat di atas meja. "Tidak, maksudku sampai hari dia meninggal."
Mereka duduk di bangku, tidak mengatakan sepatah kata pun, untuk waktu yang lama keduanya diam. Kemudian Jonathan melingkarkan lengan di Jilena "Saya mohon maaf." Merogoh sapu tangan dari kantung celana dan menyeka wajah gafis itu yang masih basah oleh airmata.
Jilena menyandarkan kepalanya ke bahu lebar pria itu dan merasa sangat nyaman. Setelah satu atau dua menit hening, dia akhirnya duduk dan menyilangkan jarinya pipinya untuk menghapus air mata yang jatuh di sana. “Aku merindukan mamaku.”
“Aku ingat pernah membaca berita tentang kecelakaan mobilnya waktu itu. Saat peristiwa itu, aku sudah kembali ke kota ini. Aku pikir kamu akan berada di kota untuk pemakamannya.”
"Tentu saja, tapi itu terakhir kali aku di sini."
“Aku bahkan tidak bisa membayangkan—”kata Jonathan menatap gadis disampingnya.
“Sangat mengerikan.” Jilena mengusap pipinya dengan serbet. "Papaku menyalahkan saya.”
"Aku tidak paham. Kenapa dia menyalahkanmu?”
Jilena menjelaskan bagaimana tahun itu sangat menyiksanya, dia menolak untuk pulang ke rumah untuk merayakan Natal bersama keluarga, jadi ibunya pergi menemuinya. "Kecelakaan itu terjadi saat dia mengemudi kembali ke kota ini."
"Itu gila, itu murni kecelakaan."
“Tidak masalah. Papa sepertinya menyalahkanku untuk semua hal setelah aku hamil. Dia menyukai dunianya yang indah dan rapi—tanpa drama, tanpa rasa malu. Persepsi masyarakat tentang dia adalah hal yang paling dia pedulikan.”
"Aku tidak tahu keadaan menjadi begitu buruk di antara kalian." Suaranya adalah lebih dalam dan tangannya meraih jemari Jilena, meremasnya seolah memberikan kekuatan pada gadis itu, perhatiannya terlihat tulus. “Pasti sulit tinggal di rumah lamamu lagi.”
“Banyak kenangan di sana—baik dan buruk.” Tatapannya jatuh ke pangkuannya lagi. "Tapi setidaknya gratis tidak perlu bayar sewa untuk saat ini. ” Dia tertawa setengah hati.
"Berapa lama kamu akan tinggal dikota ini?"
Dia mendongak dan senyum nakal melengkung di bibirnya. “Kamu belum dengar? Aku mendapat pekerjaan di The Lembayung Post. Jadi untuk sementara aku menetap disini."
Mata Jonathan berbinar mendengar berita itu, dan wajahnya menunjukkan kegembiraan dengan mengungkapkan dengan kata-kata “Aku bahagia mendengarnya. Sangat menyenangkan kamu kembali. ” Sebelum dia tahu apa yang terjadi, kedua lengannya melingkari tubuh Jilena dan menariknya ke dalam pelukannya.
Jilena merapatkan kepalanya didada bidang milik Jonathan. 'Cup' bibirnya mendarstkan kecupan dipuncak kepala gadis itu.
"Maaf ya, aku menumpahkan semua unek-unekku padamu." seraya membalas peluksn Jonathan.
"It's ok. Aku senang, kamu mau berbagi cerita denganku. Setidaknya bisa mengurangi bebanmu." Jonathan menundukkan kepala menatap jilena tepat saat itu, jilena mendongakkan kepala. Keduanya saling menatap, Jonathan mendekatkan wajahnya dan mencium jilena.
Entah apa yang terjadi, ciuman itu disambut oleh Jilena. Keduanya hanyut dalam ciuman yang berlangsung lama. Saling ******* bibir dan bertukar saliva. Satu tangan Jonathan, memegang dagu jilena, menciumnya lebih intens.
Wajah gadis itu merona, menyadari apa yang baru terjadi. Melepaskan ciuman "Ma--maaf, Jo."
"Kenapa? Harusnya aku yang minta maaf sudah lancang menciummu."
"Kamu malu ya? Pipimu memerah." canda Jonathan saat melihat wajah jilena yang memerah.
Memeluk kembali tubuh gadis itu erat. Mengelus rambutnya lembut. Jilena memejamkan mata, menikmati kebersamaan dengan Jonathan. Dia merasa sangat nyaman berada disampingnya. Seakan bebannya ringan dan dia merasakan ketulusan pria itu.
"Apa kamu keberatan, jika kita sering bertemu?" tanya Jonathan. Dia ingin selalu dekat dengan Jilena. Menginginkan kehadiran gadis itu untuk mengisi kekosongan hatinya.
Dia memang sudah menyukai Jilena, sejak masa sekolah. Inikah yang dinamakan takdir? Mempertemukan mereka kembali, yang sama-sama pernah terluka?
"Tidak sama sekali."
Bagaimanapun aku harus mulai membuka hatiku, Jonathan juga pria yang baik dan tulus, gumamnya dalam hati.
"Terimakasih ya." kata Jonathan mengecup kening Jilena yang disambut senyum manis. Mereka menikmati kebersamaan hingga tak terasa hari sudah menjelang sore. Terlihat keduanya terus berpelukan, seperti ada chemistry diantara mereka. Sementara itu ada sepasang mata yang melihat dari jauh kemesraan mereka.
Rahangnya mengeras menatap tajam. Marah, sangat marah melihat Jilena bersama pria lain. Tak sengaja dia lewat di taman kota dan melihat Jilena bersama Jonathan berpelukan.
Pria yang tak lain adalah Noah, tidak terima atas penolakan Jilena hari ini. Dia masih mengharapkan gadis itu akan kembali padanya setelah bertahun-tahun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
beby
akhirnya jadian
2023-03-18
1