Makan malam hampir selesai. Tante Dewi membawakan sebotol air es lagi dan hendak menuangkan ke gelas didepan Jilena.
“Sudah cukup, tante,” kata Jilena. Dia menghabiskan salad Caesar-nya isi ayam panggang, roti gulung dan mencoba untuk mengingat kapan terakhir kali dia menikmati makan seenak itu. “Aku harus segera pergi.
Aku akan mengecek meja kerja papa dan lemari arsip sebelum saya tidur. Mungkin aku bisa menemukan surat wasiat atau dan permohonan terakhir soal pemakamannya.” Sarah dan Ramira memutuskan menginap di rumah Tante Dewi, jadi mereka tidak merasa kesepian malam ini.
Ramira berstatus masih lajang, belum pernah menikah. Sebenarnya, dia belum pernah berpacaran, namun dia masih berharap dan optimis akan menemukan seorang kekasih. Sering kali Jilena berpikir apa yang kurang dari Ramira.
Gadis itu cantik memiliki senyum manis dan mempesona. Saat ini, Sarah juga masih lajang. Dia seorang gadis yang baik hati, wajah cantik dan periang, dianugrahi rambut berwarna madu gelap dan mata coklat lembut, Sarah lebih mirip dengan Tante Dewi ketimbang ibunya sendiri.
Sarah lebih pendek sedikit dari Jilena, punya tubuh ramping dan mungil. Sarah menikah pada usia dua puluh satu tahun, yang membuat orangtuanya kecewa, dia—bercerai saat berumur dua puluh tiga tahun. Beberapa tahun terakhir, Sarah menjalin hubungan dengan beberapa pria, tapi sejauh yang Jilena tahu, tak satupun yang serius.
Jilena berdiri. “Kurasa aku harus pergi.” Ia akan bermalam, sendirian, di rumah orang tuanya. Dia tidak keberatan dengan kesendirian—dia sudah terbiasa. Faktanya, dia sangat bersemangat untuk mencari sesuatu di ruang kerja papa, berharap menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar permintaan terakhirnya.
Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada ketiga wanita itu, memberikan pelukan hangat, dia meninggalkan rumah tantenya dan mengendarai mobil bututnya menuju rumah peninggalan orang tuanya. Rumah orangtuanya terletak beberapa blok dari sekolah menengah, berada di lingkungan yang terawat baik, komplek kelas atas, perumahan lama. Meskipun komplek perumahan itu tidak semewah lingkungan kediaman Tante Dewi namun lingkungan perumahan ini tetap indah.
Saat Jilena melewati sekolah lamanya, dia seperti melihat bayangan dirinya bersama Noah Arsyanendra, duduk di tangga depan, berpegangan tangan. Noah memakai jaket letterman sebagai quarterback bintang tim sepak bola.
Terdapat kolam kecil dipenuhi ikan di taman sekolah. Dulu Noah sering datang kesekolah untuk menjemput Jilena dan mengantarnya pulang. Tak jarang Noah membawanya keatas bukit menikmati pemandangan indah.
Sekolah itu telah berdiri disana sejak tahun sembilan belas empat puluhan. Gedung dua lantai dengan bata merah yang sedikit memudar warnanya, ada ukiran patung dibagian depan dan gapura batu berwarna krem melengkung di atas gerbang masuk utama, tangga batu dengan keramik model lama.
Terdapat halaman rumput yang luas di depan, dengan pohon cemara yang tinggi, tepat di bagian tengah gedung depan ada pintu utama terbuat dari kayu yang berat, ada air mancur melingkar, dengan beberapa pasang bata tebal untuk tempat duduk.
Flashback on
Keluarganya pindah ke kota kecil Lembayung pada awal tahun kedua di sekolah menengah, terasa seperti sudah sangat lama sekali sekarang. Jilena mulai tertarik pada Noah saat pertemuan pertama tak lama setelah pindah ke sekolah baru — pesona Noah sulit untuk dilewatkan — mereka mulai berkencan saat memasuki akhir tahun pertamanya dikota itu.
Noah berusia tiga tahun lebih tua darinya, dia adalah putra dari orang terkaya di kota itu, Noah melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dengan beasiswa dari sepak bola.
Sementara Jilena disibukkan sebagai pengurus mading sekolah dan juga pengurus OSIS, dia menyadari sejak dini kegemarannya menulis dan mengejar sebuah cerita. Saat itulah dia memutuskan melanjutkan kuliah mengambil jurusan jurnalistik setelah tamat sekolah menengah.
Jilena meminta Noah menjadi pasangannya diacara prom. Rasanya seperti bermimpi saat Noah mengiyakan.
"hmmmm....bang Noah. Mau gak jadi pasanganku di acara prom nanti?" tanya Jilena sambil menatap Noah sang kekasih. Hari itu Noah datang mengunjungi Jilena. Seperti layaknya sepasang kekasih.....yeah mereka memang pacaran dan Noah datang pada akhir pekan jika ia tidak sibuk dengan kuliahnya.
"Kapan acaranya Jil?" tanya Noah.
"Minggu depan sih. Bisa kan jadi pasanganku di acara nanti? Masa aku ngajak cowok lain?" Jilena sambil tersenyum manja.
"Boleh donk babe, entar aku jemput kamu. Sudah punya gaun untuk dipakai nanti belum?"
"Belum sih, entar mama mau ngajakin aku shopping." kata Jilena.
"Beneran ditemani sama mama? Bukan sama yang lain?"canda Noah.
"Kalau ada yang lain, mau sih," goda Jilena. Dia suka menggoda Noah, bikin pria itu cemburu dan menurut Jilena itu sangat menggemaskan.
"Ehemmm....aku pengen liat siapa cowok yang berani ngajakin kamu jalan." Noah mulai terpancing dengan kata-kata sang pacar. Dia tau banyak pria diluar sana yang menyukai Jilena. Pasti! Dia gadis yang cantik, pintar, ramah, periang dan tidak sombong.
"Ada tuh, namanya Arsyanendra,"....Noah langsung menimpali "Arsyanendra yang mana? Kayaknya cuma ada dua pria dengan nama itu dikota ini?"
"Ya iyalah....Noah Arsyanendra. Masa papa Arsyanendra..ha ha ha." Jilena terkekeh.
Noah langsung mendaratkan ciuman dibibir gadis itu saking gemesnya. Tangan kirinya menekan belakang tengkuk Jilena. Ciuman lembut yang berlangsung agak lama, Noah ******* bibir ranum itu sedangkan tangan satunya meremas payudara Jilena hingga gadis belia itu mendesah 'ahhhh...mmm'
Detak jantung keduanya berdebar kencang, saat Noah menyesapkan lidahnya kedalam mulut Jilena memainkan lidahnya dan merekapun bertukar saliva. Noah melepas ciumannya setelah Jilena mendorongnya karena Jilena takut kebablasan. Pesona Noah sangat kuat sulit untuk menolak saat kedua mata elangnya menatap tajam.
"Maaf ya sayang." ucap Noah lembut. Bagaimanapun dia mencintai Jilena dan tak ingin mengecewakan gadis itu. Malam itu mereka lalui dengan kebahagiaan, menjelang pukul 9 malam Noah pamit pulang.
Mama Jilena mengajaknya ke kota beberapa minggu sebelum pesta dansa untuk membeli gaun. Tepat di hari yang dinanti-nanti, Jilena mengenakan gaun panjang strapless, warna pink diacara prom. Mamanya juga mengajak Jilena ke salon untuk menata rambut, rambutnya digerai bergelombang dengan jepitan mutiara dibagian samping, poni tipis dibiarkan jatuh di wajahnya.
Noah muncul didepan rumahnya terlihat sangat tampan dengan tuksedo hitam dan dasi kupu-kupu dengan korsase mawar warna merah muda untuk pergelangan tangannya.
Ibunya mengambil kamera dan tersenyum penuh semangat dengan sedikit memaksa untuk mengambil beberapa foto pasangan itu sebelum mereka pergi ke acara prom.
"Jil...rapat dikit ke Noah. Noah tangannya melingkar dipinggang Jilena ya. Senyum....satu dua tiga." Mama Jilena memberi intruksi saat mengambil foto mereka bak seorang photographer profesional 😊
Malam itu mereka memang terlihat sangat serasi. Tak dipungkiri, sepanjang acara semua yang hadir memandang takjub pada pasangan itu. Jilena masih ingat ayahnya berdiri di belakang pintu, mengawasi keduanya dengan wajah tenang namun ada sedikit rasa cemas. Sebagai seorang ayah, pasti takut jika terjadi sesuatu pada anak gadisnya.
Flasback off
*visual rumah peninggalan orangtua Jilena
Seketika kenangan itu hilang sesampainya didepan rumah lamanya dan masuk melalui jalan utama bergaya Tudor Inggris yang dibangun tidak lama setelah dia duduk dibangku SMA. Sebelum orang tuanya menempati rumah itu, pemilik sebelumnya sudah merenovasi total bagian dapur dan kamar mandi, bahkan semuanya lantai dilapisi kayu keras yang dipoles dengan indah.
Dia ingat hari ketika mereka pindah, ayahnya dengan puas berkomentar bahwa itu adalah rumah yang cocok untuk seorang pengacara yang sukses. Ungkapan itu selalu melekat padanya —rumah yang pas.
Setelah memasukkan kunci membuka pintu, dia mendorong pintu kayu berukuran besar yang mengeluarkan suara aneh saat terbuka. Saat itu sudah malam, secercah cahaya menembus masuk lewat jendela, ia menyalakan lampu ruangan.
Jilena menyeret koper dan tas jinjingnya menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamar tidur berada. Suasana didalam rumah tua besar itu sangat hening dan sepi, hanya ada Jilena disana. Perasaan aneh mengaliri tubuhnya, dia seperti merasakan kehadiran papanya.
Memasuki kamar tidurnya yang sudah lama kosong, kapan terakhir kali dia ada di sana, terlihat meja rias dan sofa di lapisi debu. Ketika mamanya masih hidup, dia selalu membersihkan kamar itu, menyedot debu dan mengganti seprai setiap kali putrinya pulang berkunjung. Jelas terlihat tidak ada seorangpun yang menginjakkan kaki dan membersihkan kamar ini sejak kepergian sang mama.
Setelah mengambil satu set seprai bersih dari lemari linen, Jilena membersihkan dan merapikan tempat tidur. Menyedot debu yang memenuhi kamar, dia memutuskan untuk membersihkan bagian lainnya di pagi hari. Dia sangat ingin masuk ke ruang kerja papanya yang terletak di lantai dasar untuk memeriksa dokume-dokumen yang ada disana.
Tak terasa airmatanya mengalir membasahi pipi. Dia turun duduk ditepi ranjang sambil menyeka airmata dengan jari-jarinya. Papa telah pergi. Kenyataan ini membuatnya sangat sedih. Tidak akan ada lagi pertengkaran, tidak ada lagi sikap dingin, tidak ada lagi kesempatan untuk menebus semua kesalahannya.
Matahari hampir terbenam saat dia turun kelantai bawah. Dia menyalakan beberapa lampu sambil berjalan mengelilingi ruangan dalam rumah, melangkahkan kaki memasuki ruang kerja sang papa, duduk bersandar di kursi kerja dengan meja antik besar. Sensasi menakutkan berdesir diruangan itu, seakan sang papa sedang menatapnya tajam saat dia duduk di sana tanpa izin dan entah mengapa dia merasakan kehadirannya disana.
Jilena merinding, berusaha menepis perasaan itu. Dia menarik salah satu laci samping dan mengobrak-abriknya, memeriksa isi folder dan dia melihat file yang berisi kasus hukum yang masih dalam proses. Kemudian dia membuka laci kedua.
Tidak ada yang berharga di sana. Dia menarik laci bagian tengah, tapi terkunci. Dia melihat sekeliling. Di mana kuncinya? Tidak terpikirkan sebelumnya, sembari bertanya-tanya di mana barang pribadi papanya—pakaian, dompet, kuncinya. Apakah papa meninggalkan mobilnya di tempat parkir? disebelah kantor biro hukumnya?
Dia membuat catatan di kertas tempel kuning sebagai pengingat tentang hal-hal yang akan dilakukan keesokan harinya. Mungkin Tante Dewi sudah menyimpan barang pribadi papa sekembalinya dari ruang jenazah.
Ada beberapa foto kecil berbingkai yang diletakkan di sudut meja. Satu foto keluarga, sebelum mereka pindah ke kota Lembayung. Dua foto lainnya, foto dirinya dan Sarah kakak perempuannya setelah mereka pindah. Jilena sedikit kaget melihat fotonya ada disana. Apakah papa benar-benar ingin melihat wajahku setiap hari?
Dia setengah berharap akan menemukan foto Ramira di meja itu, tapi tidak ada. Selanjutnya, dia mengalihkan pandangannya ke lemari arsip empat laci yang ada di sudut ruangan, di sebelah kanan jendela besar yang menyuguhkan pemandangan terawat halaman belakang. Dia dengan susah payah membuka dua laci teratas, file demi file, halaman demi halaman, tapi tidak menemukan apapun.
Hari semakin larut dan dia bersiap untuk tidur. Lelah, Jilena duduk kembali di kursi eksekutif papanya sambil mengedarkan padangan mengitari ruangan. Menyandarkan kepala di kursi kulit warna hitam, samar-sama dia mencium aroma khas aftershave-milik sang papa. Kemudian, dia menggerakkan tangan di atas meja menyentuh tas kulit warna coklat gelap, ada kerinduan tersirat. Dia menghabiskan banyak waktu di ruangan ini, Jilena merasakan kehadirannya. Air mata mengalir lagi, jatuh membasahi pipi.
Dia takkan pernah menatap wajahnya lagi, atau memiliki kesempatan untuk memperbaiki apa semua kesalahannya. Menyandarkan kepala dan meletakkan tangan disandaran kursi di ruangan kerja papanya, menangis dan terisak. Saat tak ada lagi air mata tersisa, dia mematikan lampu meja dan berjalan keluar.
Setelah mematikan semua lampu di rumah, kecuali di lorong tengah, dia perlahan menaiki tangga menuju kamar. Besok dia akan memerika dua lemari lain di ruang kerja itu, tapi pertama-tama dia harus melamar pekerjaan sebagai reporter kemduian akan kembali memeriksa barang pribadi papanya.
Setelah menanggalkan pakaian, memakai baju tidur pendek, melepaskan ikatan rambut, melepas arloji dan anting-anting emasnya, membuka laci atas lemari untuk menyimpannya. Ta sengaja tangannya menyentuh sesuatu saat dia membuka laci. Aneh. Meletakkan tangannya dibagian belakang dan atas laci, jari-jarinya menyentuh sesuatu seperti selembar kertas kaku. Menariknya perlahan agar tidak robek, dan menariknya keluar.
Seketika tubuhnya membeku, tenggorokan tercekat karena kaget saat membalikkan kertas itu dan melihat. Dia hampir tidak bisa bernapas. Diatas kertas itu tercetak fotonya bersama Noah saat malam prom, salah satu foto yang diambil mamanya. Seingatnya, dia sudah membakar semua foto-foto, dan barang lain yang mengingatkannya pada Noah.
Sudah berapa lama gambar itu terselip dibagian belakang laci itu? Dia melemparkan foto itu ke laci, membanting laci hingga tertutup. Seharusnya ia membuang foto itu ketempat sampah, foto itu terselip disana selama bertahun-tahun, satu hari lagi berada di laci itu tak masalah.
Dia menarik selimut menutupi tubuh, mematikan lampu, berbaring diranjang. Menghembuskan napas panjang, mencoba memejamkan mata, berharap bisa tidur nyenyak. Kenapa aku harus menemukan foto Noah tepat sebelum aku pergi tidur? Pertanda apa ini?
Hal itu hanya membuat darahnya mendidih. Dia menarik selimut menutupi kepalanya dan meringkuk—menghela napas panjang dan keras. Selama bertahun-tahun mencoba melupakan sikap sombong, egois, angkuh seorang Noah. Malah kini, dia mungkin akan memimpikannya
*Halo semua, terimakasih atas dukungannya ya 🙏🙏 mohon di like....supaya cepat up & author makin semangat 👍😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
beby
ada apa sih dgn masa lalu dgn noah
2023-03-17
0