"Tuan Manan?"
Laki-laki itu berbalik menoleh pada Jilena, sedikit terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. "Hai," katanya, dengan senyum tipis dan sedih. "Saya minta maaf, nona Jil, saya tidak punya pilihan lain, saya beri anda waktu tiga hari untuk keluar dari apartemen ini."
Dia melirik kembali ke catatan yang ditempelkan di pintu depan, dan menunjuk kearahnya. "Tidak, kumohon.....beri aku sedikit waktu," pinta Jilena dengan raut memelas. "Saya yakin saya akan dapat pekerjaan secepatnya."
"Maaf, tapi aku harus lakukan ini, Jil--ini kebijakan manajemen gedung. Jika terserah saya, saya akan memberimu waktu lebih lama, tetapi saya harus menjawab kepada pemiliknya, anda tahu kan?"
"Jil, andai aku bisa menolongmu".
"Tuan Manan, apakah aku bisa meminta nomor telpon atau alamat pemilik apartemenku? Mungkin aku bisa membujuknya untuk memberiku waktu."
"Maaf, kurasa itu bukan ide bagus, Jil. Kamu tau kan kalau dia itu pria brengsek? Bisa saja dia akan meminta tubuhmu sebagai bayaran."
Ya, aku kenal pria pemilik apartemenku, dia laki-laki bejat. Pria paruh baya berusia sekitaran 50 tahun, ya....meskipun boleh diakui dia memang memiliki wajah yang masih tampan diusianya, tapi laki-laki itu buaya darat. Dulu saja, dia pernah menggodaku saat datang menagih sewa." Ahhhhh benar-benar sial nasibku.
Tuan Manan mengetuk-ngetukkan jari yang gemuk pada pemberitahuan itu beberapa kali, sebelum akhirnya pergi. "Kamu punya waktu tiga hari -- bayar uang sewamu atau kamu harus keluar." Jilena membuka pintu dan bergegas masuk, mencoba menahan airmata. Dia mencoba yang terbaik tapi semua tidak berjalan sesuai keinginannya. Bahkan dia merasa makin terpuruk, seandainya dia bisa bicara pada ibunya.
Dia melepas jaket yang dipaksinya dan melemparkannya ke atas kursi. Lantas melepas sepatu dan menendangnya kesudut ruangan, dia melepaskan blus sutra yang sudah basah oleh keringat dan menjatuhkan diri di sofa, meregangkan kaki dan menyilangkannya di atas meja. Tenggelam dalam lamunan, menutup matanya, dan menyandarkan kepala ke bantal, berharap akan ada jalan keluar dari masalahnya.
Apa yang akan dia lakukan sekarang? Mungkin kakak perempuannya Sarah bisa meminjamkannya uang, atau mungkin Tante Dewi, meskipun dia merasa sangat enggan untuk meminta tolong pada mereka.
Setelah meninggalkan rumah pada usia tujuh belas tahun, Jilena selalu hidup mandiri, tidak pernah meminta bantuan orang lain. Orangtuanya bersikeras untuk membayar uang kuliahnya, tetapi dia menolak dan membiayai dirinya sendiri. Sekarang, hidupnya sangat terpuruk dan dia tidak tau apa yang harus dilakukan.
Andai, ibunya masih ada. Dia bisa bicara pada ibunya dan menangis di bahunya, bertanya padanya apa yang harus dilakukan. Tetapi, ibunya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Terbayang wajah ayahnya yang tegas, tidak mungkin meminta bantuannya dalam bentuk apapun.
Dia meraih ponsel dari tas nya, mencoba menghubungi Romi. Ya, Romi pasti bisa menolongnya secara dia anak orang kaya dan punya karir bagus meskipun pria itu dikenal seorang playboy.
"Hai, Jil. Tumben kamu nelpon? Kangen ya sama wajah tampanku?" cihhhh diakuinya dia enggan menelpon Romi jika bukan karena kepepet. "Koq diam? Kamu ada masalah? Butuh bantuanku? Atau memang kamu rindu ya?" rentetan pertanyaan itu membuat Jilena mencerucutkan bibirnya kesal.
"Kamu nanyanya kayak polisi aja". Ia mencoba tenang, meskipun dadanya bergemuruh. "Gak ada apa-apa koq, maaf yang ganggu waktumu". "Ehhh....tunggu, jangan tutup telponnya". Namun Jilena sudah terlanjur menutup telpon. Tak ada keberaniannya untuk meminta bantuan Romi. Yang ada malah nanti dia minta hal lain sebagai balasannya.
Ting.
Chat masuk dari Romi 'kenapa telponnya ditutup? Kalau kamu mau aku bisa menemuimu sekarang'. Enggan membalas, Jilena menyandarkan kepalanya di sofa sambil memejamkan mata. Berkali-kali ponselnya berdering, telpon dari Romi. Jilena mengacuhkannya, pikirannya lagi mumet dan tak ingin bicara dengan siapapun saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
beby
romi.. roti mini
2023-03-17
1