Lonceng kecil berdenting saat pintu depan terbuka dan Ramira melihat ke belakang Jilena untuk melihat pelanggan yang datang. "Maaf, tapi kami akan tutup."
“Aku hanya ingin minum kopi.”
Aku kenal suara itu. Jilena membeku dan detak jantungnya makin cepat. Berharap dia salah, dia balikkan tubuhnya perlahan. Didepannya berdiri seorang pria jangkung berusia sekitaran 30 tahun dengan rambut hitam bergelombang dan mata elang yang menatap tajam.
“Jilena?”mata pria itu berbinar melihat Jilena disana.
Jilena menelan salivanya, memandang seseorang yang berdiri didepannya—bahu lebar dan senyum menawan sama seperti yang dia ingat. Pria yang dulu pernah memberi cinta dan luka yang dalam.
“Noah?”
Sudah lama sejak Jilena bertemu mantan pacarnya terakhir kali, dia tumbuh menjadi pria yang sangat tampan. Noah merentangkan tangan dan melangkah ke arahnya. Jilena membiarkan Noah memeluk sebentar, bertanya-tanya apakah Noah bisa merasakan kekakuannya.
#Ini visual Noah Arsyanendra....pria tampan mantan pacar Jilena.💕🥰😊
Dulu dia selalu merindukan pelukan hangat pria ini. Dia ingat dia menangis sepanjang perjalanan dan berharap riasan wajahnya tidak berantakan. Sudah bertahun-tahun sejak dia tidak bertemu Noah, dan ini bukan cara yang dia inginkan saat bertemu mantannya lagi.
"Aku mendengar kabar tentang papamu dan aku sangat sedih," kata Noah.
“Kau sudah mendengar?” tanya Ramira.
“Tuan Rafael adalah pengacara ayahku,” jawabnya, mata hitam cemerlangnya berbinar—menatap Jilena. “Ayahku meneleponku mengabarkan tentang hal itu. Aku pikir mungkinkah kamu akan kembali ke kota ini."
"Apa kamu pikir aku tidak akan datang untuk pemakaman papa?" bentak Jilena.
"Yah, pasti kamu datang, meskipun aku tahu kalian berdua tidak akur."kata Noah.
"Ya, betul. Terima kasih padamu karena kaulah penyebabnya," dengus Jilena.
“Kau tahu, Ramira,” Noah mengangkat kepala memandang kearah Ramira,“Kurasa aku mau—
akan membayar untuk kopi itu.” Dia meletakkan sejumlah uang lantas berjalan ke pintu, mengalihkan padangannya lagi ke Jilena. "Aku benar-benar minta maaf tentang ayahmu." Noah berbalik dan melangkah ke luar. Ada rasa rindu yang tersisa dihati Noah, berjumpa Jilena lagi membuatnya bahagia.
Jilena memandangnya lewat jendela etalase besar saat Noah berjalan sampai tidak terlihat lagi. Itu bukan apa yang dia bayangkan, bertemu mantan pacar. Dia coba mengingat kembali semua hal yang ada dalam pikirannya selama bertahun-tahun— apa yang akan dia katakan jika bertemu, apa yang akan Noah katakan, baju apa yang dia pakai agar lihat luar biasa dimata Noah. Jilena tidak menginginkan Noah kembali. Malah sebaliknya, Jilena ingin agar Noah yang mengharapkannya kembali dan memohon dihadapannya, dia mau Noah bisa merasakan luka dan rasa sakit yang dia torehkan dihatinya saat itu.
Semua tampak sangat konyol sekarang. Mereka adalah sepasang kekasih semasa di sekolah menengah, mereka masih abg pada saat itu, cinta monyet tepatnya. Jilena menggelengkan kepalanya mengingat hal itu. Noah mungkin sudah move on, mungkin dia berkencan dengan banyak mahasiswi cantik di perguruan tinggi dan mungkin sekarang sudah punya pacar yang cantik.
“Soal apa tadi itu?” Ramira mengangkat alis padanya.
Jilena mengalihkan pandangannya dari jendela. "Aku tidak tahu. Aku tidak tau kenapa bersikap seperti tadi saat bertemu lagi dengannya. Hanya mendengar suaranya saja langsung mengingatkanku pada masa lalu kami yang kotor.”
"Setelah sekian lama?"tanya Ramira
"Ya. Gila, ya.” Jilena meringis.
“Yah, aku yakin dia akan melupakan kejadian tadi. Semua akan jauh lebih baik saat kamu bertemu dia lagi nanti." Ramira mencoba menghibur.
Dia menatap mata Ramira sambil tersenyum. Sahabatnya selalu optimis. "Mungkin."
Ramira berjalan kembali ke belakang konter. “Toko harus tutup. Kenapa kamu tidak pergi ke rumah Tante Dewi dan beri tahu dia bahwa aku akan menyusulmu.”
Jilena menyayangi Tante Dewi. Sejak kepergian ibunya, Tante Dewi selalu berusaha untuk masuk sebagai perantara antara Jilena dan ayahnya kapan pun dia bisa. Tetapi Tante Dewi tidak selalu bersikap manis, kadang-kadang bicaranya agak pedas dan sedikit memaksa, dia bersikap seolah-olah dia tahu apa yang terbaik bagi semua orang. Jilena bergerak ke arah ke pintu. "Oke, sampai jumpa di sana."
Jilena berhenti di jalan masuk yang panjang di depan rumah megah Tante Dewi di Komplek Monte Vista , lingkungan yang dipenuhi dengan rumah-rumah besar dan mewah dengan design Eropa. Dia menurunkan kaca jendelanya, mobilnya tersendat beberapa kali saat dia mematikan mesin. Memarkir mobil di bawah naungan pohon-pohon tinggi yang berjejer sekeliling properti, dia berharap tidak ada barang di kotak di jok belakang yang akan meleleh di bulan Juli yang panas membara. Dia menyeberangi halaman depan dan berdiri di depan bangunan dua lantai dengan bata warna merah design Georgia dengan trim putih bersih dan daun jendela hitam. Sesaat setelah dia menekan bel, pintu hitam lebar itu terbuka.
Sarah, kakak perempuannya membuka pintu dan langsung memeluk Jilena dan terisak di bahunya. "Aku pikir kau tidak akan pulang, aku hampir menyerah,” kata Sara. "Kenapa lama sekali baru sampai?"
#visual Sarah Arabella....kakaknya Jilena
“Aku sangat senang bertemu denganmu kak,” jawab Jilena.
“Masuklah, gadis-gadis,” dia bisa mendengar Tante Dewi sayup-sayup memanggil dari dalam rumah. "Kamu membiarkan udara panas masuk, ayo masuk." Sarah melangkah ke samping agar Jilena masuk dan mengikutinya melewati lorong lebar. Setelah melewati tangga besar, mereka terus menyusuri lorong dengan design warna agak gelap, lantai kayu yang dipoles, serangkaian foto keluarga dan karya seni digantung di kedua sisi. Tante Dewi duduk di kursi bar di ruang makan mewah dengan countertop granit yang menutupi setengah dari dapur luas yang baru saja direnovasi.
Saat kedua gadis itu mendekat, Tante Dewi turun dari kursi dan merentangkan kedua tangannya ke Jilena, menariknya dan memeluk erat. Jilena memandang wajah Tante Dewi terlihat maskara sedikit belepotan dan matanya memerah. "Aku masih tidak percaya dia sudah pergi," kata tantenya terdengar kesedihan yang mendalam. Dia melepaskan pelukannya pada Jilena, mengusap air matanya dengan sapu tangan putih.
“Aku tidak tahu dia punya sakit jantung. Dia tampak sangat sehat." Meskipun, harus diakui Jilena, dia sudah lama tidak bertemu dengan papanya.
“Pekerjaannya cukup melelahkan dan membuatnya stres,” kata Sarah,“Papa yang mengurusi masalah legal untuk Tuan Bastian Asyanendra. Papa selalu yang membereskan semua masalahnya.”
Papa? Jilena sudah sangat lama dia tidak memanggilnya dengan sebutan itu, hubungan antara Sarah dan sang papa berbeda dari yang dia miliki dengan ayahnya. Perasaan cemburu menusuk hatinya.
"Perjalanan yang panjang," kata Jilena. “Bolehkah aku menyegarkan diri dulu?”
"Tentu, sayang, kamu tahu jalan ke kamar mandi." Tante Dewi mengelap hidungnya perlahan dengan saputangan.
Jilena menutup pintu kamar mandi dan berdiri di depan cermin. Dia meneteskan air mata untuk ayahnya sepanjang perjalanan, tidak ada lagi rasa takut yang muncul saat ini. Dia bertanya-tanya apakah Ramira, Sarah, dan Tante Dewi mungkin berpikir—jika dia tidak peduli — tentu saja kesedihan dan rasa kehilangan yang sangat besar dirasakan oleh ketiga perempuan itu. Ya, dia berduka atas kematian ayahnya, tapi dia juga merasa lebih bersedih atas apa yang telah terjadi di antara mereka. Saat ini, dia hanya merasa mati rasa.
Setelah menarik napas panjang, dia menghembuskan perlahan, merasakan sebagian dari bebannya pergi seiring dengan udara yang melewati bibirnya. Dia menggerakkan jarinya menyibak rambutnya, menyeka sedikit maskara yang belepotan di bawah mata, memulas bibir dengan lip gloss. Semburat merah di bagian putih matanya membuat warna coklat matanya lebih intens, senanda dengan warna rambutnya.
Saat dia menatap diri di cermin, dia teringat pertemuan tak terduga dengan Noah, secepatnya dia membuang pikirannya tentang pria itu. Saat ini ada duka yang mendalam, mereka harus mengatur rencana pemakaman, dan keputusan yang harus diambil untuk masa depannya. Sekarang bukan waktunya untuk meratapi cinta yang hilang.
Saat dia keluar dari kamar mandi, Ramira sudah sampai. Dia dan Sarah duduk di sofa bunga di ruang besar bersama Tante Dewi, mereka berbicara dengan suara pelan, ruangan itu dikelilingi oleh dinding dengan pintu model Prancis dan jendela berpanel putih yang memisahkan area taman dan kolam renang.
Terlihat ada penambahan ruang ke belakang dari bangunan rumah lama, ada dapur baru dan area sarapan, sedang dalam proses renovasi, pikir Jilena. Ramira mengangkat kepala menatap ke arah Jilena sambil berjalan “Kalau kamu lapar, aku ada bawa beberapa muffin dan bagel yang belum sempat terjual hari ini. Masih fresh koq."
"Terima kasih." Jilena mengambil bagel kayu manis dari tas kertas lalu bergabung dengan yang lain. Jilena menendang sandal jepitnya lantas menyilangkan kaki sesaat setelah menjatuhkan diri ke kursi empuk berwarna hijau yang bersebelahan dengan sofa. "Apa kalian sudah melihat jenazah papa?"tanya nya.
"Ya, sudah" jawab Tante Dewi. “Karena dia sudah meninggal saat paramedis tiba, mereka membawa jenazahnya ke kamar mayat. Salah seorang paramedis itu mengenalku, dia tahu kalau aku saudara perempuan Rafael—istrinya dan aku bertemu beberapa kali di acara amal—dialah yang meneleponku.”
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Sarah bertanya, matanya basah dan merah karena menangis.
"Apa kalian ada yang tahu permintaan terakhir papa? dalam hal pemakaman atau kremasi?" tanya Jilena sambil merobek sepotong bagel lantas mengunyahnya.
"Kami belum membahas soal itu," kata Tante Dewi. “Mungkin dia ada menulis surat wasit terakhir dan menyimpannya disuatu tempat. Biasanya pengacara seperti itu. ”
Jilena menelan ludah dan berdeham. “Aku akan memeriksa ruang kerjanya di rumah."
"Apakah kamu berniat tinggal di sana dek?" Sarah bertanya.
“Ya, rencanaku sih begitu.”jawab Jilena.
"Tante pikir lebih baik kamu tinggal di sini saja, sayang," Tante Dewi menawarkan. "Apa kamu yakin kamu ingin berada di rumah tua besar itu sendirian?”
“Kupikir lebih baik jika aku memeriksa barang-barang milik papa. Semoga aku bisa menemukan surat wasiat atau instruksi penguburannya.”
"Berapa lama kamu akan menetap, Jilena?" tanya Ramira.
"Selama aku menginginkannya."
“Bagaimana dengan pekerjaanmu?” Sarah bertanya. “Apa mereka tidak mengharapkanmu kembali setelah cuti beberapa hari?"
Jilena nampak ragu untuk mejawab. Dia tidak ingin mengatakan apapun, tetapi sekarang waktu yang tepat untuk memberitahu mereka. "Tidak juga. Aku dipecat beberapa minggu yang lalu. Aku sudah mencari pekerjaan lain, tapi belum beruntung.”
"Jadi waktunya tepat," kata Tante Dewi. “Tante harap kamu menetap di kota ini untuk waktu yang lama, sayang. Kami merindukanmu. Bukankah begitu?” Ramira mengangguk cepat setuju. Sarah mengangkat bahu.
"Bicara tentang waktu yang tepat," Ramira membungkuk dan menepuk lutut Jilena, “baru minggu lalu aku dengar kabar bahwa Lembayung Post sedang mencari reporter. Mungkin kamu bisa melamar kerja disana. ” Jilena memang butuh pekerjaan. Meskipun, dari segi karier, bekerja di koran kota kecil adalah langkah mundur, namun ia teringat wejangan ibunya yang selalu mengatakan padanya bahwa seorang pengemis tidak bisa memilih.
“Mungkin aku harus menunggu beberapa hari, sampai urusan pemakaman dan hal lainnya selesai.” Jilena berharap untuk menetap dan terbiasa dengan kehidupan kota kecil lagi sebelum pergi lagi dan mencoba mencari pekerjaan di kota lain.
"Jangan menunda," balas Tante Dewi. “Bisa saja peluang kerja itu sudah ada yang mengisi nanti. Jika kamu tidak punya kerja, kamu harus meraih setiap peluang yang ada, mumpung ada kesempatan.” Pengemis tidak bisa menjadi pemilih? Raih setiap peluang yang ada? Darimana datangnya kalimat-kalimat petuah seperti itu?
Jilena menarik sepotong bagel lagi dan mengunyahnya. Dia benar-benar tidak bisa pilih-pilih. Tadi pagi dia saja dia hampir memutuskan untuk bekerja sebagai pelayan agar bisa dapat uang. Seberapa burukkah koran kota kecil? Setidaknya bisa menghasilkan uang, dia sangat membutuhkan uang, mungkin setelah punya uang nanti dia bisa menservis mobilnya.
Sekarang rumah peninggalan orangtuanya kosong, dia punya tempat tinggal bebas sewa, setidaknya untuk sementara waktu. Pekerjaan, jika dia mendapatkan pekerjaan itu, setidaknya bisa memberinya waktu untuk memikirkan apa yang akan dia lakukan dengan sisa hidupnya. Dengan semua mata sedang tertuju padanya, dengan penuh semangat menunggu jawabannya, dia mengalah. "Baiklah, Aku akan pergi kesan untuk melamar pekerjaan besok. ”
“Dan kamu tidak perlu khawatir bertemu Noah lagi,” kata Ramira. "Dia bekerja di kantor real estate ayahnya, bukan di kantor surat kabar itu." Mata Tante Dewi terlihat berbinar. "Bertemu dengan Noah lagi?"
"Ceritakan semua pada kami," Sarah menimpali
“Sungguh, tidak ada apa-apa.” Jilena enggan membahas tentang Noah dengan mereka, atau dengan siapa pun soal itu. “Dia mampir ke The Upper Spot sebelum Ramira menutup toko dan kemudian dia pergi.”
"Hanya itu?" Sarah terdengar seperti tidak percaya adiknya.
Ramira mencondongkan tubuh ke depan. "Lebih tepatnya Jilena mengusirnya."
"Oh, gadisku sayang," Tante Dew menghela nafas. “Kamu gak mungkin tinggal di kota ini tanpa bertemu Noah Arsyanendra. Sebaiknya kamu berdamai dengannya atau kamu hanya akan membuat dirimu sengsara.”
Tante Dewi benar, tapi dia malas untuk membahasnya. Hasratnya untuk menghindari Noah begitu dalam membuatnya kehilangan keseimbangan, dia merasa emosi. Tidak seharusnya ia bertemu dengan Noah, sudah ratusan kali dia berpikir apa yang akan terjadi jika suatu hari bertemu Noah setelah bertahun-tahun sejak mereka putus.
Namun, seiring berjalannya waktu Jilena mulai lupa, sampai beberapa tahun terakhir dia tidak memikirkannya sama sekali—hingga tiba hari ini. Dia harus mencari cara bagaimana harus bersikap pada pria itu tanpa terlihat bersikap kasar. "Bisa tidak topiknya diganti, jangan membahas Noah?" Jilena memohon, sambil meraih bagel terakhir lalu memasukkan ke dalam mulut.
Saat sore menjelang, Tante Dewi memesan makanan secara online dari restoran lokal yang khusus menyediakan makanan segar dan organik, restoran itu biasanya tidak menerima pesanan langsung untuk delivery. Tapi Dewi Ginanjar bisa meyakinkan mereka, setelah menjanjikan tip yang cukup besar, bel pintu berbunyi tanda makanan yang dipesannya sampai.
Sarah dan Ramira membuka bungkusan makanan dan meletakkan piring dan gelas di atas meja diruang makan yang terletak diantara dapur dan ruang santai yang luas. Saat Tante Dewi mengisi kendi kristal dengan air dan es, Jilena mengambil serbet dan peralatan makan, menatanya diatas meja.
Ketiga wanita itu mengambil bagian menyiapak makan malam dan mereka pun menyantap makan malam bersama. Jilena menikmati makan malam bersama keluarganya, hal yang sudah sangat lama tak dia lakukan.
Meskipun bukan dalam situasi yang menyenangkan, namun terasa hangat dan nyaman—berbeda dengan tahun-tahun yang dilalui hanya makan makanan beku yang dipanaskan di microwave, sendirian di apartemen, terkadang dia makan sambil berdiri dekat wastafel dapur atau makan sambil bekerja dengan laptopnya. Masa itu dia hanya fokus pada pendidikan dan pekerjaan saja.
Dia tidak punya banyak teman bahkan dia tidak punya waktu untuk mencari pacar selama tinggal di Jakarta, bahkan di antara rekan kerjanya di surat kabar, Jilena yang lebih fokus bekerja sebagai reporter investigasi. Tugasnya sebagai reporter untuk meliput pernikahan bahkan gosip para selebritis dan kalangan atas, meliput acara sosial, dia telah buktikan kemampuan dalam menulis dan menggali kebenaran untuk menghasilkan cerita menarik minat pembaca.
Sebagai seorang gadis cantik, Jilena selalu menghindari menjalin hubungan asmara yang serius—tidak di perguruan tinggi bahkan setelah lulus kuliah. Dia pernah berkencan dengan beberapa pria sebelumnya, tapi setiap kali dia menyadari jika pria itu makin serius, dia selalu menemukan cara untuk memutuskan hubungan itu. Dia terlanjur telah memberikan hatinya kepada satu pria, Noah Arsyanendra, yang berakibat bencana bagi dirinya.
Untuk melindungi diri agar tidak terluka lagi, baik sadar atau tanpa sadar, dia selalu menghindari hubungan yang serius dan tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Saat berusia tujuh belas tahun, Jilena jatuh cinta, dia sangat mencintai Noah dengan sepenuh jiwa dan raga, cinta yang membuatnya melambung tinggi keatas awan dan hilang kesadaran.
Noah pun mencintainya, atau paling tidak Noah bilang jika ia mencintai Jilena. Tapi Noah menghancurkan hati dan hidupnya, hancur sehancur-hancurnya meninggalkan luka paling dalam dan Jilena tidak mau hal itu terulang kembali. Sekembalinya dia ke kota Lembayung, apakah dia akan siap untuk membuka hati untuk pria lain dan jatuh cinta?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
beby
luka apa ya
2023-03-17
1
nana laviestbelle
aku suka ceritanya, semangat jilena🤗
2022-06-07
3