Tiba-tiba ponselnya berdering, sedikit malas dia meraih ponselnya "Halo." "Jilena, ini Tante Dewi." Kebetulan sekali tantenya menelpon pada waktu yang tepat. Jilena menghela napas sejenak untuk merespon. 'Tumben tante meneleponku, mungkin ini pertanda baik' batin Jilena. "Aku baru saja memikirkan tante, apa kabar?"
"Sayang, tante punya kabar buruk." ujar Tante Dewi. Sial! Tepat saat aku berpikir segalanya akan baik, justru menjadi lebih buruk. Dia meremas jemarinya dan mencoba menguatkan diri, "Apa itu, tante?" "Itu.....papa mu, sayang. Dia kena serangan jantung tadi pagi," dia berhenti sejenak dan berdeham, tapi masih ada suara yang tercejat saat dia--melanjutksn, "Papa mu sudah meninggal."
Mulut Jilena menganga. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak satu katapun terucap. Dia membeku. Dia sangat menyayangi sang papa, tetapi hubungan mereka renggang selama dua belas tahun terakhir, mereka seperti orang asing, bahkan saat dia datang berkunjung. Terakhir kali dia bertemu papa nya saat pemakaman mama nya, dan bahkan saat itu sang papa menutup diri darinya. Air mata mengaburkan pandangannya, sekilas Jilena melirik ke foto berbingkai orang tuanya diatas meja. "Jile, apa kau mendengarku?"
Dewinta Ginanjar biasa dipanggil Tante Dewi adalah adik perempuan dari Rafael Ginanjar, papa nya Jilena. Dia tinggal di kota kecil Lembayung, dimana orangtua Jilena dan Sarah kakak perempuannya tinggal, dan dikota itu pula Jilena menyelesaikan sekolah menengah. Tante Dewi telah menikah tiga kali, suaminya sekarang seorang pengusaha yang lebih kaya dari suaminya sebelumnya.
Suami terakhirnya meninggal karena serangan jantung saat perjalanan bisnis di Eropa. Dia pernah bercerita dengan Jilena betapa ia menyesali tidak berada disisi suaminya saat dia meninggal. Tante Dewi memang jarang mendampingi almarhum suaminya setiap pergi ke Eropa untuk urusan bisnis dan bertemu klien -- dia sudah pernah perhi menemani almarhum suaminya dua kali dalam perjalanan bisnis ke Eropa, dan baginya itu sudah cukup.
"Ya, tante. Aku mendengarmu." Jilena seraya menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan rasa linglung. "Maaf tante, aku tidak tau harus berkata apa. Ini sangat mengejutkan."
"Untukku juga, sayang."
"Apa yang terjadi, tante?"
"Dari apa yang saya dengar dari orang dikantornya, papa mu sedang berada diruangan kantornya bekerja, dia sedang memberikan arahan pada sekretarisnya, tiba-tiba dadanya nyeri dan terjatuh. Sekretarisnya mencoba menelepon 911 untuk panggil ambulance, tapi sudah terlambat."
Kata-kata itu menghunjam Jilena seperti sayatan pisau tajam, menggores dadanya. Dia coba menarik napas dalam-dalam. Berusaha mengingat-ingat kebersamaan yang pernah dia lalui dengan sang papa. Kenapa harus sekarang papa pergi? Rasa bersalah menjalari dirinya. Mengapa dia tidak pernah mencoba memperbaiki hubungan mereka sebelumnya?
Ayahnya, Rafael Ginanjar berprofesi sebagai pengacara di kota Lembayung. Dia membawa keluarganya pindah dari Jakarta ke kota Lembayung dan membuka kantor biro hukum saat Jilena berusia lima belas tahun. Saat itu, Jilena sangat kecewa dan sedih karena terpaksa berpisah dengan teman-temannya, tak ada seorangpun yang bisa menghiburnya.
Keputusan sang papa membawa keluarganya pindah ke kota Lembayung agar bisa punya kehidupan yang lebih aman dan lebih baik. Mereka akan mendapatkan teman baru, dia telah berjanji, dan mereka memiliki rumah yang lebih besar dan lebih bagus dari sebelumnya. Tante Dewi memang telah tinggal disana selama beberapa tahun, dia sering membujuknya untuk memindahkan keluarganya kesana.
"Kurasa aku tidak begitu kaget," kata Jilena. "Papa selalu merahasiakan semua hal dari orang-orang."
Sayangnya, Jilena memiliki sifat yang sama dengan sang papa yang tidak suka membebani siapapun.
"Mungkin papa terlalu stress dengan pekerjaannya, tante." jawab Jilena lagi.
"Ya, kamu mungkin benar. Tante tau jika hubungan kalian berdua tidak begitu baik beberapa tahun terakhir ini, Jilena.....tapi kamu tau kan kalau papamu sangat menyayangimu, sayang," Tante Dewi terisak.
"Papa tidak pernah peduli ataupun sayang padaku," Jilena mengatupkan bibirnya rapat. Tanpa disadarinya, dia telah mengucapkan kalimat yang terdengar begitu datar dan dingin, terlanjur mengucapkannya sebelum berpikir.
*Hi readers....terimakasih atas dukungannya ya 🙏🙏 tolong di like & support terus ya biar up & author lebih semangat lagi*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Nur Cahyani
kenapa nasipnya begitu amat si
2024-07-22
0
beby
apa yg terjadi sehingga tidak ada sedih
2023-03-17
1