Siang berguling dan dia berhenti di depan Restoran Paradise, hanya beberapa blok dari The Upper Spot Café. Jilena ingat pernah pergi ke sana beberapa kali saat remaja — salah satunya adalah berkencan dengan Noah.
Ketika dia masuk ke restoran yang berada dibangunan kuno zaman kolonial itu, terlihat Jonathan sudah duduk di sebuah meja di tengah ruangan, mengenakan kemeja motif kota-kotak biru-putih, lengan bajunya digulung sampai siku. Gadis itu mengedarkan padangannya keseluruh ruangan restoran itu. Setiap meja di restoran ditutupi dengan taplak meja motif kotak-kotak merah-putih dan tempat lilin tua antik ditengah meja, tidak ada yang berubah, masih sama seperti sebelumnya. Jonathan melihat kedatangan Jilena, dia berdiri dan melambai padanya, terlihat kemejanya yang tidak diselipkan, tergantung ke bawah celana jins warna biru tua. Penampilannya terlihat santai. Seringai lebarnya menunjukkan bahwa pria itu sangat senang melihatnya.
"Halo," katanya, tersenyum pada pada Jonathan, lalu melirik ke sekeliling ruangan yang familiar. “Menunggu lama?”
"Tidak juga." jawab Jonathan. Menarik kursi dan mempersilahkan Jilena duduk. Sikapnya sangat romantis, membuat gadis itu merasa senang.
Mereka berbasa-basi sebentar, Jonathan menatap Jilena dengan tatapan penuh cinta. Tak lama seorang pelayan menghampiri, setelah memesan makan siang, kembali mengobrol sambil menunggu makanan mereka. Pelayan membawa hidangan mereka dan mengucapkan selamat makan.
Jilena memesan paket nasi bakar komplit, sedangkan Jonathan memesan set ikan bakar.
“Jadi, ceritakan padaku, Jonathan, apa yang kamu lakukan setelah tamat SMA?" sedikit terkejut saat Jonathan ingin menyuapinya “Cobalah, ikan bakar disini paling enak.”
Wajanya merona dengan sikap manis Jonatha, sudah sekian lama dia tidak mendapatkan perlakukan seperti itu dari seorang pria. Dia menyondongkan tubuhnya kedepan, Jonathan menyuapkan makanan kedalam mulutnya sambil tersenyum. Pria itu merasa bahagia hari ini bisa bertemu dan makan siang bersama gadis itu. Gadis yang sudah dikaguminya sejak dulu.
“Aku masuk akademi polisi, atas saran ayahku. Dia bilang itu akan membuatku menjadi pria sejati. Mungkin dia mengira aku seorang pengecut saat itu.” Jonathan kembali menyodorkan makanan kemulut Jilena yang disambut gadis itu. Entah kenapa, Jilena terlihat sangat santai dan tidak merasa keberatan atas perlakuan Jonathan padanya. Terlihat dia bahkan menikmatinya.
"Oh, kamu bukan pengecut, Jo."
“Yah, ya, agak.” Dia menelan. “Begitu saya masuk, saya memutuskan untuk fokus menyelesaikan pendidikan.”
"Itu pelatihan yang cukup melelahkan, bukan?"tanya Jilena.
Dia mengangguk. "Tapi itu membuat saya menjadi seorang pria." Dia menyeringai pada Jilena, meregangkan lengan dan dadanya. Terlihat tubuh kekar dan lengannya yang berotot.
Jilena tertawa kecil. “Ya, tentu saja. Aku hampir tidak mengenalimu waktu itu, hari pertama kali kamu menilangku. Kamu bukan Jonathan yang kukenal masa sekolah dulu. Kamu banyak berubah"
"Aku masih Jonathan yang sama, hanya lebih kuat."tersenyum menatap wajah cantik Jilena.
Jilena tersenyum memikirkan ucapannya. "Jadi apa yang kamu lakukan setelah selesai dari akademi polisi?"
“Begitu banyak pertanyaan.” Sudut mulutnya tertarik membentuk senyuman. “Apa kamu sedang mencoba untuk mengenaliku dan ingin tahu semua tentangku?’
“Kamu yang bilang akan mengejarku.” Jilena mengamati wajah tampan didepannya, menunggu jawabannya. Pria yang memiliki mata cokelat hangat dan ramah, tulang pipinya yang bersudut dan rahang terpancar kekuatan yang tenang. “Selain itu, aku seorang reporter investigasi. Pertanyaan adalah hidupku… jadi ceritakanlah. Aku ingin mendengarnya."
"Oke." Dia mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. “Setelah pendidikan di akademi selesai, aku—pergi ke perguruan tinggi di kota M, melanjutkan kuliah dengan beasiswa. Di sanalah aku bertemu Clarisa, ibu Vino.”
Kami menikah saat aku sudah di semester akhir dan dia juniorku. Saat itu dia hamil—bukan direncanakan — dan dia akhirnya berhenti sekolah setelah Vino lahir. Kemudian, setelah aku lulus, kami pindah ke sini. saya melamar di kepolisian dan diterima.” Dia memutar-mutar sendok diatas piringnya.
"Seingatku, ayahmu adalah seorang polisi, kan?"
Dia mengangguk. “Sudah pensiun sekarang.”
"Jadi, menurutku, kamu dan clarisa tidak lagi bersama." Jilena memandang Jonathan, ia ingin memastikan situasi yang ada, dia tidak mau melibatkan diri pada keadaan yang akan menyulitkannya nanti.
“Apa yang membuatmu mengatakan itu?”
“Yah, pertama, kamu di sini bersamaku, dan juga Ramira pernah bilang sesuatu padaku tentangmu, sebagai ayah tunggal.”kata Jilena menjelaskan denga hati-hati.
“Ya, itu aku. Clarisa membenci kehidupan kota kecil. Dia menginginkan kota besar dan karir besar. Di perguruan tinggi, dia mengambil jurusan perfilman, jadi dia berkemas dan pergi, saat Vino berusia dua tahun, dan pindah ke ibukota untuk membangun karirnya di akting.”
“Bagaimana bisa seorang wanita pergi begitu saja meninggalkan keluarga dan anaknya?”
"Kurasa aku tidak mengenalnya sebaik yang kukira." tatapan Jonatha termenung melayang ke tepi jendela. “Tapi itu bukan semua salahnya. Aku terkadang sangat kaku, dan dia lebih berjiwa bebas. Aku pikir itu yang membuatku tertarik padanya.”
"Apakah dia masih menghubungimu?"tanya Jilena lagi.
"Ya, beberapa kali. Dia menelepon sesekali, mengirim hadiah untuk Vino saat Natal, dan datang
untuk melihatnya di hari ulang tahunnya.”
“Itu pasti sulit,” kata Jilena.
“Terutama pada Vino.” Ada kesedihan yang jelas dalam suara dan wajahnya.
Apakah sulit bagi Jonathan juga? Meskipun sudah tiga tahun sejak wanita itu pergi, apakah dia masih mencintainya? Jilena menyadari kehadiran seseorang yang berdiri di samping meja mereka dan mendengar orang itu berdeham.
“Halo, Jilena. Jonathan.”
Jilena mengenali suara itu dan tubuhnya mendadak membeku. Dia perlahan mengangkat kepalanya. Lagi-lagi dia bertemu dengan pria itu, bagaimana bisa kami selalu bertemu ditempat yang sama? Apa dia mengikutiku? pikiran Jilena tidak tenang dengan kehadiran Noah disana.
“Noah.”
"Hei, Noah," kata Jonathan menyapa, tidak tahu tentang hubungan keduanya dimasa lalu dan tak menyadari adanya ketegangan diantara kedua orang itu. Noah tidak suka melihat Jilena makan siang berdua dengan pria lain.
Noah merasa marah dan kesal pada Jilena atas kebohongan yang dia katakan padanya tadi pagi.
Noah menyilangkan tangannya. “Kupikir kau tadi bilang kau akan makan siang dengan Rami hari ini.”katanya dengan suara datar dan dingin.
“Rencana berubah,” jawab Jilena, meminum jus jeruk, tidak ingin membuat kontak mata kontak dengan Noah.
"Jika kau tidak ingin makan siang denganku, kau seharusnya mengatakannya."
Suasana menjadi canggung dan tidak nyaman. Tatapannya sekilas melirik ke arah Noah, lalu kembali ke bawah. “Kamu benar, aku harusnya bilang padamu. Aku minta maaf." Dia melihat ke seberang meja ke arah Jonathan, yang terlihat bingung dengan situasi disekitarnya.
"Selamat menikmati makan siang." Noah berbalik dan berjalan ke stan di sudut paling belakang restoran. Wajahnya terlihat marah dengan tatapan tajam.
"Maaf tentang itu," kata Jilena, melirik ke bawah saat dia meluruskan serbet linen di pangkuannya. “Aku bertemu dengannya di The Upper Spot pagi ini dan dia—mengajakku makan siang.” Dia meneguk air lagi, lalu menatap sedotan saat dia—mengaduknya di dalam gelas. “Aku benar-benar tidak ingin pergi dengannya. Ramira datang tepat waktu dan menyelamatkanku.”
“Apa yang terjadi pada kalian berdua? Aku ingat ketika aku lulus, hubungan kalian berdua menjadi memanas dan sepertinya ada masalah yang berat.”
"Begitulah kenyataannya." Dia mengangkat wajahnya, dan menatap Jonathan tepat dimata. "Boleh dikatakan, hidupku hancur berantakan setelah itu."
"Kalian terpisah? Apa yang terjadi?" Matanya dipenuhi dengan minat yang tulus. Tatapan Jilena menatap ke sekeliling, memastikan tidak ada seorang pun yang berada dalam jangkauan pendengarannya. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan merendahkan suaranya, tepatnya setengah berbisik. "Aku hamil waktu itu."
Jonathan mencondongkan tubuh ke arahnya dan menjaga suaranya tetap rendah. “Dengan Noah?”
Jilena mengerutkan kening padanya dan menarik kembali, duduk tegak di kursinya. "Sama siapa lagi? Memangnya ada orang lain?
“Tidak, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya terkejut, itu saja.”
“Kami hanya melakukannya sekali.” Dia menyilangkan tangannya di tepi meja. “Aku sangat naif saat itu, aku tidak berpikir kalau aku bisa hamil saat pertama kali berhubungan badan. Dia lanjut ke perguruan tinggi dan aku sangat ... yah, lupakan saja kejadian itu."
"Maafkan aku, Jil." Tangannya terjulur ke seberang meja kecil dan meletakkan tangannya dilengan gadis itu yang bersilang. "Aku tidak tahu apa-apa tentang itu."
"Apakah menurutmu kita bisa pergi dari sini?" dia bertanya. “Aku benci membicarakan ini dengan dia duduk di sudut sana.” kata Jilena yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan Noah ditempat itu. Makan siang yang dipikirnya akan menjadi awal mengenali Jonathan lebih jauh, malah rusak akibat kehadiran orang yang dibencinya.
“Baiklah, aku akan meminta pelayan memasukkan makanan ini ke kotak untuk kita bawa. Kita bisa lanjutkan makan siang kita di taman. Apa kamu mau pesan makanan lainnya.”
“Tidak ada. Ini sudah cukup.”
“Baiklah. Tapi aku mau pesan puding coklat untukmu.” Jonathan memanggil pelayan dan meminta makanan untuk dibungkus. Tatapan Jonathan tak pernah lepas dari wajah Jilena. Dia benar-benar tidak menyangka, sesuatu yang buruk telah menimpa gadis pujaannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
beby
lanjut jo
2023-03-18
1