Selama beberapa jam berikutnya, saat dia mengemudi di jalan raya yang sibuk, Jilena teringat pada sang papa. Sebagai seorang anak, dia ingat seberapa tinggi dan gagahnya sang papa. Dia berusia enam puluh tiga tahun, bertubuh ramping, dengan rambut dan mata hitam. Tante Dewi memiliki rambut dan mata yang sama, yang diturunkan ke Sarah, Meskipun Jilena mewarisi rambut coklat indah ibunya, tapi dia mewarisi mata sang papa yang cerah. Jilena dan sang papa sama-sama lahir di bulan Agustus dan mereka memiliki sifat keras kepala yang sama.
Menyusuri jalan tol, pikiran Jilena mengingatkannya kembali pada kenangan tentang perjalanan keluarga mereka ke tempat-tempat menyenangkan di beberapa tempat wisata di dalam negeri maupun luar negeri. Dia teringat masa kecilnya, sang papa membawanya liburan ke Bali, bermain di pantai membangun istana pasir bersama, berperahu dan memancing di teluk, dan makan kepiting di restoran pinggir pantai. Sang papa telah menjadi seorang ayah yang baik, dan mereka adalah keluarga yang bahagia—setidaknya pada masa itu.
"Oh, papa," desahnya, "mengapa kita harus pindah ke kota kecil itu?"
Saat dia melewati pintu keluar kedua menuju kota Lembayung, hawa dingin melandanya dan dia
menahan air mata yang mulai mengaburkan pandangannya. Di tempat ini, tepat di jalan raya ini tempat ibunya meninggal.
Flashback on
Sehari setelah Natal, ibunya datang ke Jakarta untuk mengunjunginya dan membawakannya hadiah Natal. Jilena pergi ke kota Lembayung sebulan sebelum Natal tahun itu, dan kunjungannya itu tidak berjalan dengan baik dengan sang papa, jadi dia menolak untuk berkumpul dengan keluarganya pada saat Natal.
Setelah tinggal beberapa hari dengan putrinya, Lydia Anouk Ginanjar mengendarai mobilnya menuju kota Lembayung. Kabut tebal yang saat itu menyelimuti jalanan sore itu mengaburkan pandangan para pengendara yang melintasi di jalur bebas hambatan ersebut dan mama Jilena mengalami kecelakaan beruntun dimana mobilnya terhimpit di tengah dua truk. Laporan polisi mengatakan dia mati ditempat saat tabrakan, SUV kecilnya terjepit di antara dua semi-truk.
Berita kematian sang mama telah menghancurkan Jilena. Dia merasa bersalah dan terus menerus menyalahkan diri. Jika dia tidak begitu keras kepala, jika dia menuruti permintaan ibunya untuk menghabiskan Natal bersama di kota Lembayung, sang mama akan tetap hidup. Kalau saja dia bisa memutar waktu kembali dan mencegah semua yang terjadi. Tetapi jika dia bisa melakukan itu, dia akan memutar waktu lebih dari dua belas tahun dan merubah semuanya.
Begitu dia menerima kabar tentang kematian sang mama, Jilena yang saat itu sedang berada ditempat kerjanya, langsung pergi dan kembali ke kota Lembayung. Dia kembali ke rumah orang tuanya dulu, mengharapkan untuk tinggal di sana, berharap untuk menebus kesalahan dengan sang papa, tetapi dia tidak menginginkan Jilena di sana. Sang papa memintanya untuk tinggal di rumah Tante Dewi, diapun menginap disana malam itu.
Flashback off
Malam ini, meskipun, dia akan tinggal di rumah keluarganya, sang papa tidak ada di sana untuk mengusirnya. Mengapa papa harus menghindari dan memperlakukannya seperti gadis nakal? Sarah bahkan melakukan hal yang sama buruknya—atau bahkan lebih buruk—hanya saja Sarah tidak pernah tertangkap basah. Kekecewaan sang papa membuatnya membangun tembok yang tinggi sebagai pembatas di antara mereka, memberi jarak semakin jauh dengan setiap kata-kata kasar, selalu menatapnya dengan tatapan marah tanda tidak setuju.
Sikap sang papa tampak hangat dan peduli terhadap Sarah, dan dia bahkan memperlakukan Ramira layaknya seperti bagian dari keluarga, tetapi tidak dengan Jilena, tidak pernah dia mendapatkan sikap hangat sang papa, sejak dia berusia tujuh belas. Demi Tuhan, itu hanya satu kesalahan — mengapa dia tidak bisa memaafkanku? Tak mampu lagi menahan gejolak dalam dadanya, air mata mengalir deras di pipi putih mulusnya.
Jilena menarik napas dalam-dalam dan menghapus air matanya, namun pikirannya masih kembali mengingat peristiwa di masa lalu, tahun-tahun yang dia lalui di kota kecil Lembayung. Pada saat dia melewati tanda batas kota, terlihat gapura dengan tulisan selamat datang di kota Lembayung, tiba-tiba dia mendengar suara sirene meraung di belakangnya. Melirik ke kaca spion, melihat ada mobil polisi mengikutinya dengan lampu biru berkedip. Ia menepikan mobilnya ke pinggir jalan.
Sejenak dia berpikir apakah dia melamun dan tidak menyadari tanda penurunan batas kecepatan atau dia berkendara melebihi batas kecepatan? Jilena lantas menekan tombol di pintu, menurunkan kedua jendela depan, merasakan terpaan udara dingin dari luar. Kota Lembayung berada di dataran tinggi tepatnya di daerah puncak, sehingga udara ditempat itu dingin.
Jilena mematikan mesin mobil dan mengacak-acak kompartemen depan, mencoba untuk menemukan surat asuransi dan STNK, mengeluarkan SIM dari dompetnya, dan tak lama kemudia terdengar “SIM, STNK, dan asuransinya, Bu,” suara laki-laki yang berat terdengar.
Dia menyerahkan semuanya kepadanya, dia merasa sedikit canggung untuk melakukan kontak mata. "Di STNK anda tertulis atas nama Jilena Margaretha Ginanjar."
"Ya, betul itu saya," jawabnya, masih tetap menunduk. Udara dingin menerpa bahunya yang terbuka, dia lupa memakai jaketnya dan hanya mengenakan kaos dengan bahu rendah yang menampakkan bahu dan leher jenjang yang mulus. Entah kenapa jantungnya berdebar kencang, perasaan aneh akan kehadiran seseorang.
Petugas polisi bertubuh tinggi besar itu, membungkuk di samping mobil sehingga kepalanya berada di jendela. “Saya pernah kenal seseorang bernama Jilena Margaretha waktu di sekolah menengah. Apakah itu kamu?” Jilena melirik ke arah pria itu melepas kacamata hitamnya.
Wajah pria itu terlihat tidak asing baginya, tapi sudah sangat lama sejak ia tamat dari sekolah menengah, dia tidak mengenali sama sekali pemilik wajak tampan ini dan— biasanya remaja cenderung berubah penampilannya saat mereka tumbuh dewasa. Tidak mungkin dia lupa pernah mengenal pria setampan ini jika memang mereka pernah belajar di sekolah yang sama.
“Maaf, sudah bertahun-tahun sejak aku bertemu seseorang dari sekolah menengah. Wajah anda memang terlihat tidak asing, ”katanya, lebih sopan dari sebelumnya. 'Tampan juga, body nya juga bagus' dengan sudut mata Jilena melirik kearah pria itu yang punya tubuh bagus.
"Siapa namamu?"tanya Jilena
"Apa kamu sedang bercanda? Ini aku, Jonathan Benedictus .”
“Jonathan?” Dia terkejut dengan mulut ternganga. Dia nampak berbeda waktu masa sekolah menengah dulu, batinnya. Mereka berteman semasa disekolah menengah, keduanya pengurus mading sekolah, tapi saat itu Jonathan kurus, jangkung memakai kawat gigi dan jerawat seluruh wajahnya. Dia tidak setampan dengan tubuh kekar berotot seperti sekarang.....ya dia keliatan berbeda, belum lagi kulit bersih dan gigi putihnya.
“Maaf ya kalau aku tadi tidak mengenalimu, soalnya sudah bertahun-tahun, kamu sudah banyak berubah. ”
“Tak apa, yang penting aku masih mengenalimu, kamu masih seperti dulu. Cantik.” Jonathan berujar menatap Jilena.
"Gak adil, kamu sudah melihat nama di SIM ku."
“Cukup adil, aku masih mengenalimu. Mata coklat indahmu itu sulit untuk dilupakan.”
Hah? Apakah dia baru saja menggodaku? Batin Jilena. Detak jantungnya semakin kencang....ahhh koq aku deg degan gini ya pikir gadis itu.
“Ada apa? Sepuluh atau dua belas tahun tidak bertemu?” Dia bertanya.
"Sebelas tahun."ujar Jilena
"Apa yang kamu lakukan di kota ini?"tanya Jonathan lagi.
“Ayahku baru saja meninggal.” Kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.
“Oh, maaf ya, aku turut berdukacita. Ayahmu adalah seorang pria yang baik. Dia pengacara di kota, kan?”tanya Jonathan kembali.
“Ya, betul. Terima kasih, tapi maaf aku benar-benar harus pergi. Apa kamu akan memberiku surat tilang?”Jilena.
“Karena itu kamu, Jil, dan kamu punya alasan yang cukup baik kenapa berkendara melebihi speed, kali ini saya akan biarkan kamu pergi tanpa surat tilang.” Tatapan mereka bertemu dan terdiam sejenak. Jonathan menatap intens kewajah Jilena.
“Kita pasti akan bertemu lagi selama kamu berada di kota. Mungkin aku bisa menemanimu berkeliling." Jonathan menyerahkan kembali SIM dan dokumen lainnya pada Jilena.
Dia menerimanya dan mengangguk. "Ya, mungkin."
Jonathan meletakkan tangan di pintu, mundur menjauh lalu berjalan kembali ke mobilnya. Jilena memperhatikannya melalui kaca spion. Itu benar-benar teman sekolahnya dulu Jonathan Benedictus? Dia menaikkan kaca jendelanya dan menyalakan AC penuh, bertanya-tanya apa yang Jonathan lakukan dengan hidupnya selama bertahun-tahun.
Sudah pasti pria itu melanjutkan studi ke perguruan tinggi, dan sekarang dia menjadi polisi. Penyesalan menimpanya, memikirkan bagaimana dia hilang kontak dengan semua teman-temannya sekolahnya dulu, kecuali Ramira. Sudah tidak mungkin untuk mengubah apa yang sudah terjadi, lagipun sudah tidak ada lagi alasan untuk kembali ke Jakarta sekarang, yang terbaik adalah tidak mengulang kembali kesalahan di masa lalu, pikirnya.
Apapun yang terjadi, kini masa depannya ada di kota yang kini tepat di depannya. Kota Lembayung, inilah tempat tinggalnya sekarang, sejenak ia berpikir kemungkinan akan bertemu dengan Noah Arsyanendra? Tersungging senyum penuh harap di wajahnya. Seperti yang sudah dijanjikan, Jilena menelepon Tante Dewi untuk memberi tahu dia bahwa sudah tiba—di sana. Tapi sebelum menuju ke rumah Tantenya, dia memutuskan untuk mampir ke The Upper Spot Bakery & Cafe, toko roti dan kafe populer dikota itu, ia ingin melihat apakah Ramira dan Sarah mungkin masih ada di sana. Ramira dan mamanya Jilena membuka The Upper Spot Cafe sekitar enam tahun lalu.
...*****...
Mama Jilena mengambil kursus kuliner sementara papanya membuka kantor biro hukum di Kota Lembayung, sebelum mereka memiliki bayi. Mamanya suka membuat kue dan menjadi koki kue yang ahli. Dia tidak pernah bekerja untuk orang lain, dia selalu membuat suguhan kue-kue lezat untuk klien suaminya, membuat parcel hadiah berisi kue-kue lezat atau cake ulang tahun pesanan rekan-rekan suaminya. Seringkali orang dari perusahaan memintanya membuat suguhan yang spektakuler untuk pesta klien mereka, dia sangat menyenangi pekerjaannya.
Saat Ramira menghabiskan banyak banyak waktu di rumah keluarga Ginanjar, mamanya Jilena mengajarinya membuat kue kering, cake, roti, dan makanan lainnya. Jilena dan kakaknya Sarah tidak pernah tertarik untuk membuat kue, jadi ibu mereka sangat senang membagikan ilmunya pada Ramira. Setelah Ramira lulus dari sekolah menengah, ibu Ramira seorang pecandu alkohol kabur dengan kekasihnya, Ramira dan mama Jilena menghabiskan lebih banyak waktu di dapur. Akhirnya, mereka punya ide untuk membuka toko roti bersama.
Sang papa mencoba untuk mencegah mereka. Dia tidak suka jika istri bekerja, takut masyarakat akan mengganggapnya tidak bisa menghidupi keluarga—setidaknya itulah yang dikatakan nenek Jilena semasa hidupnya, tugas seorang istri untuk mengurus keluarga dan suami yang bertanggung jawab mencari nafkah. Akhirnya, dia menyerah setelah tak berhasil membujuk istrinya dan The Upper Spot Bakery & Cafe pun lahir.
...*****...
Saat Jilena berkendara ke kota, dia mengamati toko-toko kuno dan toko-toko baru yang berjejer sepanjang Jalan utama. Ada minimart dan Supermarket besar di jalan bebas hambatan, tidak jauh dari universitas, tepat di pusat kota Lembayung, suasana kota masih sama dan menawan seperti yang dia ingat. The Upper Spot Bakery & Cafe terletak di sudut jalan, meja-meja kecil dan kursi diatur di luar di bawah tenda bergaris merah muda-putih dengan nama dicetak dengan tulisan hitam di atasnya.
Jilena berhenti di tempat parkir diagonal di depan toko dan masuk dalam. "Ya ampun, Jilena!" Ramira berseru dengan senyum lebar, mata hitam lebar dan rambut ikalnya tergerai di lehernya. Dia datang dari di belakang meja dan memeluk temannya. “Aku sangat senang melihat Anda."
Ramira lebih pendek beberapa inci dari tubuh Jilena yang ramping. Jilena membalas pelukannya. Dia sangat kesepian di kota besar, memeluk erat sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu, dia bahkan enggan untuk melepas pelukannya.
#Visual Ramira Rahayu....gimana menurut kalian?
“Bukankah ini hal terburuk didunia? Papamu meninggal?” Ramira bicara dengan nanda rendah, suaranya pecah karena kesedihan. "Aku sangat sedih, aku turut berduka ya."
"Terima kasih, Ramira." Jilena menepuk punggung sahabatnya. Sang papa sudah seperti ayah untuk Ramira, juga. "Aku tahu dia menganggapmu sebagai bagian dari keluarga kami."
“Aww.” Ramira melepaskan pelukan Jilena dan menyeka air matanya, lalu menarik napas dalam-dalam.
“Yah, kami baru saja akan tutup hari ini. Sarah sudah pergi ke rumah Tante Dewi. Mereka menunggumu.” Sarah mengurus bagian pembukuan untuk mamanya dan Ramira bekerja paruh waktu setelah mereka membuka bisnis, tetapi sejak mama Jilena meninggal, Ramira meninggalkan pekerjaan tetapnya dan berperan aktif menjalankan tempat tersebut.
“Aku akan pergi kesana nanti,” jawab Jilena. Jilena dan Sarah sama-sama melanjutkan pendidikan di universitas setelah tamat sekolah menengah atas, tetapi Sarah jauh lebih tertarik pacaran dan berpesta daripada pendidikannya. Setelah dua tahun kuliah, Sarah memutuskan tidak melanjutkan kuliahnya. Dia mendapatkan gelar diploma di bidang Bisnis dan itu sudah cukup baginya. Dia pernah bekerja sebagai bank teller dan kemudian menjadi pembukuan untuk kontraktor umum di daerah tersebut. Tetapi Sejak kematian ibunya, The Upper Spot Bakery & Cafe menjadi fokus utamanya. Selain itu, Sarah juga membantu mengurus kebun bunga peninggalan almarhum nenek.
“Mengapa kamu tidak pergi sekarang saja? aku akan menemui kalian setelah aku selesai di sini." Ramira merendahkan suaranya.
“Seharusnya aku menutup toko ini begitu aku mendapat kabar itu, tapi karena aku bukan keluarga, aku pikir lebih baik memberi mereka waktu sendiri."
“Kamu sudah seperti keluarga bagi kami.” Jilena melingkarkan lengannya memeluk sahabatnya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
beby
turut berduka cita
2023-03-17
1