Kibo mengedip-ngedipkan matanya mencoba menyaring segalanya. Diusap-usapnya beberapa kali, masih tak percaya dengan pengelihatannya. Ternyata wajah itu asli, bukan hayalan apa lagi mimpi. Oooh ... ternyata itu memang benar adalah bidadari daringnya. Benar-benar cantik, bahkan lebih cantik dari yang ia lihat pada tampilan layar ponselnya.
"Sya! ini dia, Sya, bidadari daring gue," ucapnya pada Arsya, tanpa mengedipkan mata sedetikpun. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa menyaksikan langsung orang yang ia kagumi sampai terbawa mimpi itu.
"Yaelah ... jadi ini, Bo? Ini mah Rana, cewek yang diceritain sama anak-anak pas itu juga."
"Jadi, sebelumnya Dio, Aris, sama Bendon udah pernah ketemu sama Rana? Wah ... bahaya nih, saingan gue bisa banyak kalo begini ceritanya."
"Hus! Mana mau, Rana sama elo. Model lo aja kurus kerempeng gitu."
"Wah ... jangan sembarangan, Sya, gini-gini gue punya pesona tiada tanding."
"Pesona tiada tanding buyut lo! ... jangan ngarep lu, Bo, dia mah udah punya pacar," ucap Arsya. Masih teringat jelas di kepalanya saat Daniel dan anak-anak SMK Karya Nusantara mencari gara-gara dengan mereka. Kalau ada yang berani mendekati Rana, maka sama saja orang itu sedang mengibarkan bendera peperangan, juga menjemput ketidak tenangan dalam kehidupan.
...💕...
Ruang UKS
Arka menyandarkan diri ke dinding. Tangannya bersedekap, matanya dingin menatap Dio yang sedang terbaring lemas sembari memegang perutnya yang kesakitan. Padahal sudah diperingatkan, tapi si gendut itu masih saja makan sembarangan, juga kebanyakan.
"Hehehe, maaf, Ka, jadi ngerepotin," prenges Dio. Sakit diperutnya sudah mulai mereda. Tadi malam ada selamatan besar di rumah barunya, jadi beginilah nasib perutnya gara-gara terlalu banyak muatan.
"Hm."
"Oh ya, Ka, tadi malem kok lo gak dateng sih? Padahal gue sama anak-anak udah nungguin."
"Lagi sibuk."
Dio menghela napas. Kalau dilihat-lihat, sepertinya mood bosnya ini sedang tidak baik. Untung saja ia sudah terlanjur terbiasa dengan sikap dingin Arka. Mau mengantar dan menemani ke UKS saja, sudah merupakan hal yang patut disyukuri.
"Udah baikan, Dio?" tanya Mala si petugas UKS.
"Udah, Mal, thanks ya."
"Sip. Eh, ada yang lambat," ucap Mala. Dari balik jendela UKS, diamatinya empat orang gadis yang sedang berdiri di depan barisan apel.
"Siapa?" Dio bertanya.
Mala menyipitkan matanya, keempat gadis itu hanya terlihat dari belakang saja. Tapi ia mengenal salah satunya, perawakan langsing dan tinggi serta style modelnya, tentu dari jauh pun, Mala bisa mengenali orang itu.
"Rena Dkk," jawab Mala pada akhirnya.
"Oowh."
"Pasti gak bakal di hukum."
"Kenapa?"
"Biasa, anak Walikota," jawab Mala sembari merapikan alat-alat dimeja ruang itu. Siapa yang piket hari ini? Kenapa masih berantakan sekali?
"Iya, sih."
Arka hanya menyimak. Bukan topik yang asing. Tak jarang ia mendengar nama cewek itu dighosipkan dimana-mana.
...💕...
"Kenapa kalian terlambat?" tanya pak Kusma, memokuskan matanya yang seiring bertambah umur semakin tak awas saja.
Nada menundukkan kepala dalam. Malu sekali rasanya, sudah terkenal dengan sebutan murid teladan malah sekarang dipanggil ke depan dengan alasan seperti ini. Terlambat berangkat sekolah saat pak Kusma sedang berpidato, sungguh kasalahan yang fatal sekali. Bisa disuruh lari lapangan yang luasnya bak lapangan terbang, atau bisa juga disuruh membersihkan toilet yang entah ada berapa jumlahnya. Benar-benar merepotkan dan membuat waktu belajarnya berkurang.
Vira menatap lurus ke depan tanpa rasa sungkan. Tak lupa pula ia mengembangkan senyumnya. Harus tetap tampil cantik walau disaat-saat seperti ini.
Rena tetap bersikap tenang. Bukan keinginannya, tapi hal-hal seperti ini bukanlah hal yang merepotkan untuknya. Semendari kecil, semua orang disekitarnya sudah terlanjur memperlakukannya secara spesial. Walau itu tak berlaku untuk sahabat-sahabatnya ini. Tenang saja, semua akan baik-baik saja.
"Lho, kamu murid baru, ya? Siapa namamu?" tanya pak Kusma pada seorang siswi yang terlihat paling mungil diantara keempat gadis yang terlambat itu.
"Rana Puspakarina, Pak," jawab Rana tersenyum sopan, berusaha patuh pada perintah Rena.
Seluruh siswa yang ada sontak ber-owh ria, seolah baru saja menemukann harta karun tersembunyi yang hilang selama ratusan tahun entah kemana. Cantik, enak sekali dipandang. Benar-benar tak membosankan.
Tapi tidak dengan para siswinya. Mereka menatap sinis, jiwa persaingan mereka mulai meronta-ronta. Awas saja kalau cewek itu berani merebut cowok mereka. Mana peduli mereka walau cewek itu adalah teman dekat si anak Walikota. PHO memang harus dibasmi bukan?
Pak Kusma membenahkan kaca matanya lagi, ternyata anak pak Walikota juga ada diantara keempat gadis ini. Dan... nama barusan, sepertinya tak asing lagi.
"Rana Puspakarina ... anaknya Pak Cipto?" tanya Pak Kusma setelah mengingat-ingat.
Rana memaksakan senyum. Mendengar nama ayahnya saja sudah bisa meluluh lantahkan mood-nya yang sedang baik hari ini.
"Iya, Pak."
"Andra, bubarkan barisan! Kalian, ikut bapak ke ruangan!" titah pak Kusma pada si ketua OSIS, kemudian berbalik melangkahkan kaki ke arah ruangannya. Ruang kepala sekolah.
Bella tersenyum puas, semoga saja kali ini mereka tak diloloskan begitu saja.
...💕...
Ruang Kepala Sekolah
"Gimana kabar papa kamu, Rana?" tanya pak Kusma setelah keempat gadis itu duduk di ruangan kesayangannya.
Rasanya Rana ingin bertanya, "Papa yang mana, Pak?" tapi huh, pak Kusma akan semakin bingung dengan pertanyaan itu tentunya.
"Baik, Pak," jawab Rana, walau sebenarnya ia malas membahas ayahnya itu. Tapi tak apalah, jawab saja sesingkat mungkin agar pembahasannya tak bertambah panjang.
"Akhirnya kamu vaksin juga, kemarin bapak yang menghubungi ayah kamu untuk menyegerakan hal itu...."
Ini nih, ternyata biang keroknya.
"... Habisnya bapak kasihan kalau kamu hanya bisa belajar lewat online ..."
Gak papa Pak, wi-fi sama kuota saya selalu aman terkendali kok.
"... sedangkan teman-temanmu sudah belajar tatap muka..."
Ellah Bapak, saya mah gak ditatap juga gak papa.
" ... Bapak hanya tidak mau belajarmu tidak maksimal dan bisa mempengaruhi peringkatmu."
Deg, Rana seketika menelan ludah. Kenapa tiba-tiba membahas masalah peringkat? Tidak tahukah Pak Kusma bahwa mau sampai kapan pun dia daring, itu tak akan mempengaruhi peringkatnya. Nomor satu dari bawah. Selalu begitu, bahkan sejak kecil.
"Ayahmu, Cipto, itu dulu murid kesayangan bapak. Pintar, teladan, dan banyak menyumbangkan piala bagi sekolah ini. Bapak masih sangat mengingatnya, padahal itu sudah lama sekali. Ah, lain kali bapak akan mampir ke rumahmu. Oh ya, kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan-sungkan menghubungi bapak. Bapak selalu ada di ruangan ini."
"Iya, Pak," ucap Rana memaksakan senyum lagi. Apa jadinya jika Pak Kusma tahu bahwa ia tak sepintar ayahnya. Bahkan bisa dibilang, ialah penderita penyakit bodoh stadium 4.
"Oh ya, Rena, Bapak kemarin bertemu ayahmu saat belanja di pasar. Bapak benar-benar bangga, di sekolah bapak yang sederhana ini ada anak seorang Walikota yang baik, rendah hati dan merakyat. Kemarin ayahmu memberikan beberapa bingkisan pada bapak, juga kepada pedagang-pedagang yang ada di sana. Katanya beliau senang anaknya disekolahkan di sekolah ini."
Rena tersenyum singkat kemudian mengalihkan pandangan jengah. Lihatlah kepala sekolahnya ini, tadi sedang sibuk berkoar-koar tentang kedisiplinan dan sekarang, beramah-tamah kepada empat orang siswi yang seharusnya dihukum karena ketidak disiplinan.
"Eh, Vira, bapak kemarin juga mampir di restoran kamu. Bapak baru tahu kalau pemiliknya itu ayah kamu. Kalau tahu begitu, Bapak akan sering-sering mampir ke sana. Makanannya enak, dan ayahmu ramah sekali pada pengunjung."
"Iya, Pak, sering-sering mampir, Pak di restoran saya. Papa saya pasti seneng banget kalau kepala sekolah saya mau berkunjung menyapa orang tua saya." Respon Vira tak kalah cerewetnya. Padahal dalam hati ia sudah terpingkal-pingkal habis-habisan. Pasti, kemarin Pak Kusma habis jalan-jalan keliling kota. Bisa-bisanya bertemu ayahnya dan ayah Rena dalam hari yang sama. Pasti juga, mood Pak Kusma sedang bagus saat ini. Kalau sudah begini, pasti ujung-ujungnya mereka tak akan kena hukuman apapun. Secara logika, Pak Kusma pasti tak akan hendak menghukum cewek -cewek cantik seperti mereka, apalagi salah satunya adalah anak seorang Walikota. Yuhuuuuu!! Yess!
Bella menajamkan pendengarannya. Bicara apa sih, pak Kusma pada mereka? Bukannya segera dihukum lari lapangan, malah enak-enakkan diajak ngerumpi bersama.
Pak Kusma melirik jam tangan. Sudah hampir masuk jam pelajaran pertama. keempat muridnya ini harus segera ke kelas. Tak perlu dihukum pun, tak apa. Yang penting kelihatannya sudah diberi pelajaran.
Nada tertunduk. Senang sekali Pak Kusma membahas kehebatan orang tua ketiga temannya. Rasanya miris sekali, orang tuanya jelas tak sebanding dengan orang tua mereka yang notabennya orang kaya.
"Baiklah, sudah hampir masuk jam pertama. Kalian kembalilah ke kelas!"
Nada menghela nafas samar. Benar saja dugaannya, pak Kusma tak membahas orang tuanya atau dirinya sama sekali. Tak tahukah pak Kusma, seberapa keras ia berjuang untuk diakui? Bukan diacuhkan begini.
"Kita gak dihukum, Pak?" tanya Rena dingin dan tegas. Selama ini ia hanya pura -pura tak tahu, tentang semua orang yang menghosipkan bahwa ia selalu memanfaatkan kekuasaan ayahnya.
"Tidak apalah, Rena. Santai saja, bapak menyuruh kalian ke sini hanya untuk mengobrol kok, bukan untuk menghukum."
Bella masih setia menguping di depan pintu ruang kepala sekolah. Setelah sekian lama menguping akhirnya ia mendengar kata hukum menghukum. Namun, sepertinya Pak Kusma tak akan menghukum keempat musuh bebuyutannya itu. Tapi tak apalah, walaupun begitu ia masih bisa memojokkan mereka dengan cara ia sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 217 Episodes
Comments
Miku
insecure eeee~
Novelnya keren kak! dialog tag nya kesusun rapi, penggambaran ceritanya keren.
Musti belajar banyak nih aku whehehe :3
2022-05-13
1