Arka membuang nafas geram, kenapa lagi cewek ini? Bukannya pergi, malah nebeng begini.
"Ngapain lo disitu?" tanyanya tak bersahabat.
"Nebeng," Jawab Rana tanpa terdengar ragu. "Karena lo adalah biang kerok dari kesialan gue hari ini, jadi lo harus bertanggung jawab nganterin gue ke tempat tujuan gue," jelasnya seolah tak punya rasa takut sama sekali.
Arka mendengus kesal, kenapa juga ada mahluk seaneh ini? Kenal saja tidak, sudah berani minta ditebengin.
"Kemana? " tanyanya pada akhirnya. Malas sekaligus dongkol sebenarnya, tapi dari pada ia mendebat cewek ini, lebih baik ia menuruti saja kemauannya.
"Minimarket," jawab Rana girang, sembari menyedekapkan tangannya. Setidaknya, kalau begini ia tak perlu berjalan lebih jauh lagi. Andai saja ponselnya tak tertinggal di rumah pasti ia sudah menelfon Daniel dari tadi.
Arka menggerutu dalam hati. Gimana sih cewek ini? Pengen nebeng tapi tak mau berpegangan. Dikiranya tidak bahaya, apa? Mau disuruh juga Arka malas berbicara, ia tentu tak mau dikira mencari kesempatan dalam kesempitan. Jadi, ia langsung saja mengemudikan motornya menuju ke tempat yang disebutkan cewek itu barusan.
Rana masih menyedekapkan tangannya enggan berpegangan. Dari yang ia pelajari dari kejadian tadi malam adalah ... Daniel tidak akan suka jika ia dekat-dekat dengan cowok lain. Jadi, ia sebagai cewek yang setia, tidak akan tega membuat Danielnya kecewa.
Arka melirik jam tangannya sekilas. Kalau tidak cepat, ia bisa ketinggalan jam pelajaran keduanya. Jadi tanpa pikir panjang ia segera meningkatkan kecepatan motornya melesat laju.
Bruuum....
"Aaa...!" pekik Rana terjingkat lalu spontan menarik baju cowok dihadapannya. Dan ... kreeek, nyaring sekali benda itu menghasilkan suara.
Arka tertegun. Ia langsung saja memberhentikan motornya, kemudian melirik bajunya yang sudah sobek lebar sekali.
"Eh, maaf, maaf, gak sengaja," ucap Rana gugup, jelas sekali ia merasa bersalah.
"Turun gak lo!" titah Arka berang. Sepertinya, hari ini adalah hari tersial baginya.
"Eh, maaf, maaf, gue kan gak sengaja. Entar gue jahitan deh, jahitan gue lumayan rapi kok," rayu Rana dengan seluruh ***** bengek kegugupannya. Tangannya spontan saja mengelus bagian baju yang robek itu. Dan ... tanpa ia sengaja, telapak tangannya menyentuh kulit si cowok.
" Turun gak lo! " Bentak cowok itu semakin sangar.
...💕...
Parkiran SMA Tunas Bangsa
Mobil merah itu memarkirkan dirinya berjajar dengan mobil-mobil lainnya dengan mulus. Tak butuh waktu lama, pengendaranya segera turun beserta kedua temannya. Cukup menarik perhatian tentunya, karena si pengendara adalah anak tunggal seorang Walikota yang penampilannya pun, tak pernah biasa-biasa saja.
"Yuuhuu! Welcome to, SMA Tunas Bangsa! " seru Vira berteriak heboh sekali, semakin membuat mereka jadi pusat perhatian.
"Apaan sih, Vir, alay banget lu," gerutu Rena kemudian melepas kaca mata hitamnya.
"Sekali-kali lah, Rey. Lumayan, kalo gini kan cogan-cogan pada liatin gue, hehehe," kekeh Vira senang.
"Sekali-kali, apa tiap hari?" ucap Rena kemudian mulai berjalan memimpin pasukan.
" Hhh ... bukan Vira namanya kalau gak seheboh ini," Nada mengikuti langkah Rena.
Vira terkekeh lagi kemudian merangkul Nada, mengikuti Rena dari belakang juga. Seolah cewek jutek itu adalah induk mereka.
"Lah, busset! Pagi-pagi gini paling enak dah, lihat ciwi-ciwi cantik begini, " seloroh cowok berbadan gemuk yang seingat Vira, mungkin namanya Doi, Deo, atau mungkin juga Deodoran.
"Gak jelas banget, sih," sinis Rena lirih. Ujung matanya melirik Dio sekilas, kemudian menatap lurus lagi.
"Nad! Mandi dulu, napa, Nad?! Bau badan lo tuh, udah sampai sini tau gak?" teriak Arsya diiringi dengan tawa kerasnya, membuat teman setongkrongannya juga ikut tertawa.
Nada yang menjadi korban kejahilan, hanya melirik tak mau terlalu peduli. Sejak SMP, cowok itu memang sudah sering mengganggu ketenangan jiwanya. Jadi sedikit banyak ia sudah kebal dengan segala jenis gangguan dan pembulian cowok itu.
"Lu aja yang mandi sana, Sya! Gak ngaca, lu? Belek lo tuh, ilangin dulu!" teriak Vira tak Terima sahabatnya diledek seenaknya oleh Arsya.
Mendengar itu Arsya spontan saja mengecek apakah ada kotoran di ujung matanya. Sebuah gerakan yang spontan saja terjadinya.
"Mana sih, emang ada, ya?" tanya Arsya pada teman-temannya yang justru membuat tongkrongan itu di penuhi gelak tawa lagi. Tukang bully, yang kena bully.
"Hhh," kekeh Nada kemudian tersenyum pada Vira. Beruntung sekali temannya ini bersedia membelanya.
"Tu Bocah satu ... kayaknya naksir sama elu deh, Nad," kata Vira tiba-tiba menyimpulkan.
"Ih, ngarang aja kamu, Vir. Namanya juga Arsya, palingan gak tenang hidup dia kalo gak bikin ulah sedetik aja, " ujar Nada mengibaskan tangannya tak acuh.
"Ya abisnya, diantara kita berempat cuma lo yang selalu digangguin. Dari SMP lagi," terang Vira mengingat-ingat masa dimana Nada pernah sampai menangis histeris gara-gara ulah si Kutu Kupret itu.
"Ya ... karena aku jarang bisa ngelawan," ujar Nada karena memang ia hanya bisa melawan Arsya jika mereka hanya berdua saja. Sebab, ia tak mau terlalu menarik perhatian, apalagi kalau hanya gara-gara melawan Arsya di depan umum. Mau tak mau, ia harus mengakui bahwa cowok itu cukup terkenal di sekolah ini. Entah mungkin disebabkan oleh wajahnya yang rupawan, atau mungkin juga lebih karena kebebalannya yang sudah diakui seantero zaman.
Ketiga cewek itu kemudian berhenti di depan sebuah kelas, mengarahkan kepala untuk membaca sebuah ukiran "XI MIPA A" Diatas pintu kelas itu, kemudian segera masuk menuju tempat duduk mereka yang sengaja sekali mereka tempatkan tepat dihadapan guru, berjajar rapih dengan sebuah kursi yang mereka khususkan kosong untuk kemudian menjadi tempat bagi teman mungil mereka.
...💕...
Motor KLX itu akhirnya berhenti di depan sebuah minimarket. Rana bertepuk tangan girang kemudian turun dari motor itu. Beruntungnya, cowok ini tetap mau mengantarkannya ke minimarket, walau sebelumnya ia harus memohon-mohon dengan sangat, walau juga kentara sekali cowok itu terpaksa melakukannya, atau malahan, sangat terpaksa.
Rana berjingkat-jingkat bahagia, sedetik kemudian ia juga menguap sembari mengangkat kedua tangan meregangkan otot-ototnya.
Arka spontan memejamkan mata, kenapa cewek ini pecicilan sekali? Susah payah ia berusaha menutupi noda itu, justru si empunya dengan mudah menyingkapnya.
Cowok itu kemudian turun dari motornya, menahan si cewek tak dikenal agar tak melangkah memasuki minimarket begitu saja. Dari pada lebih banyak yang menjadi korban, lebih baik cewek itu berdiri disini saja.
"Eh, kenapa?" tanya Rana heran, kenapa cowok jutek ini menahannya?
Ahh ... jangan-jangan ni cowok mau minta ongkos. ngutang dulu boleh gak ya, gue kan bawa uang pas.
Arka membuka helm-nya malas. Ditatapnya cewek pendek itu dengan pandangan ganas.
Rana agak melongo, ditanya bukannya menjawab malah menatapnya tajam begini.
"Lo berdiri di sini aja," titah Arka mendorong perlahan cewek itu agar berdiri tepat membelakangi motornya.
"Lah, terus gue belinya gimana?" tanya Rana semakin heran saja.
"Beli apa?" Arka memutar bola matanya jengah, sembari menengadahkan tangannya malas.
Rana terbengong. Masa iya, ia akan menyuruh cowok ini membelikannya pembalut? Apa kata dunia dan kaum wanita? Kenal saja, tidak.
"Gak usahlah, biar gue beli sendiri," ucap Rana hendak melangkah, tapi kemudian malah ditahan lagi oleh cowok didepannya.
"Gak denger lo, ya?" Arka semakin geram. Harusnya, ia membaca doa tadi, supaya tak ketiban sial seperti ini. Terjebak harus direpotkan cewek dengan tipe yang sama sekali tak ia senangi, sungguh terasa begitu menyebalkan.
"Lo disini aja, biar gue yang beli," ujar Arka lagi, memperjelas setiap katanya.
Rana berfikir sejenak. Tak apalah, lagi pula ia juga tak kenal cowok ini. Dan mungkin, kedepannya mereka tak akan bertemu lagi. Toh, cowok ini yang memaksanya.
"Uangnya," Arka mengadahkan tangan malas. Kalau saja bukan karena noda sialan itu, ia tentu tak akan sudi menjadi babu begini.
Rana yang diperlakukan seperti itu segera saja memberikan uangnya yang syukur alhamdulillah, ada. Ia kemudian memberi isyarat agar cowok dihadapannya bersedia mendekat dan menundukkan kepala. Sebab cowok ini terlampau tinggi, untuk ukuran dirinya yang kata orang, jelmaan dari semampai, semeter tak sampai.
Mengerti isyarat cewek dihadapannya, Arka menurut saja. Ia sedang malas berbicara apa lagi mendebat.
"Beliin gue pembalut," bisik Rana, tepat disamping indera pendengar cowok itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 217 Episodes
Comments