"Ra, Papi anter pulang, yuk! Entar dicariin Mami lho," ajak Darren mengelus-elus kepala Rana yang ditidurkan di pangkuannya.
"Emm ... Rana males, Pi," respon Rana cemberut. Matanya masih fokus mengamati layar televisi di hadapannya.
"Jangan gitu dong, entar kalau papa kamu marah-marah, bisa geger satu Indonesia," kelakar Papi Rana, membayangkan suami mantan istrinya itu ngamuk dengan wajah merah padam bak tomat busuk.
"Hahaha,,, Papi bisa aja. Yaudah deh, Rana nurut, tapi maunya dianterin Papi," kekeh Rena bangkit dari posisi tidurnya yang jujur, terasa nyaman sekali. Yaa ... daripada Om Cipto semakin mencecarnya dengan berbagai macam nasehat unfaedah lagi, lebih baik ia pulang saja secepatnya.
...💕...
"Eh, Pak Budi? Gimana kabarnya, Pak?" sapa Darren tersenyum ramah pada penjaga rumah Rana. Maklum saja, ia tentu tak asing dengan pria berusia separuh abad itu. Toh, ia juga masih sering mengantarkan Rana pulang jika anak gadis itu habis menginap atau sekadar berkunjung ke rumahnya.
"Eh, pak Darren, saya baik, Pak. Nganterin Non Rana, Pak?" tanya Pak Budi segera membukakan pintu gerbang.
"Iya Pak. Kok rumahnya keliatan sepi, Pak? " Tanya Darren lagi. Sedang Rana hanya ngintip dari jendela keadaan rumahnya, yang memang sedang tak ada mobil di dalam garasinya.
"Oh, Bu Puspa sama Pak Cipto sedang pergi, Pak. Katanya, mau menghadiri acara makan-makan keluarga besar pak Walikota," terang pak Budi.
Darren hanya manggut-manggut, seolah tak merasakan kesakitan apa-apa. Padahal, hatinya bagai disayat sebilah pedang nan tajam. Entahlah ... sampai saat ini pun, ia belum bisa melupakan Puspa. Padahal sudah lebih dari sepuluh tahun lalu ia bercerai dengan perempuan bersuara merdu itu.
Mendengar kabar itu, Rana tak ragu langsung keluar dari dalam mobil Papinya. Setidaknya, kalau begini ia bisa sedikit terhindar dari rangkaian kultum harian ayahnya yang menyebalkan.
"ya udah, Pi, Rana masuk dulu, ya, " ucap Rana setelah berdiri disamping Pak Budi
Pak Budi melongo. Matanya melebar, memandangi majikannya itu dari atas hingga bawah. Benar-benar seperti orang-orangan sawah.
"Non Rana ... pakai baju Pak Darren? "
"Hehehe, iya, Pak. Habisnya Rana gak bawa baju pas kesana. Tapi bagus kan, Pak?" kekeh Rana kemudian berputar-putar pecicilan. Semakin memperlihatkan bahwa bajunya sangat kedodoran.
"Ba-bagus sih," respon Pak Budi sembari menggaruk-garuk kepalanya yang sedang tak gatal.
"Hhh, masuk sana, Ra! Memangnya kamu gak ada jadwal daring, malem ini? " Darren mengingatkan. Kalau tidak diingatkan, bisa-bisa bocah itu malah sibuk menonton drama Korea.
...💕...
Rumah sedang sepi, ayah dan ibunya sedang menghadiri acara makan malam, sedang kakaknya di rumah ayah tirinya. Tadinya, ia senang sekali bisa mengerjakan PR dengan tenang tanpa gangguan suara kakaknya yang sering berjingkat-jingkat atau berteriak histeris karena kebaperan setelah nonton drakor. Tapi lihat sekarang, tidak ada orangnya, bahkan handphone-nya saja sudah cukup membuat kesal.
Dhira memijit pelipisnya geram. Sedang mengerjakan soal-soal matematika dengan serius tapi suara nyanyian lagu "Gundul-gundul Pacul" terus saja terngiang-ngiang memekakkan telinganya. Membuat ia tak fokus saja. Pasti itu suara nada dering dari handphone kakaknya.
Akhirnya, Dhira menggebrak mejanya geram. Kalau begini terus otaknya bisa jadi buntu, seperti otak kakaknya. Benar-benar menyebalkan. Ia kemudian berdiri dari duduknya dan segera melenggang menuju kamar super berantakan milik kakaknya.
Ditatapnya ponsel itu tajam. Kalau boleh, ia ingin membanting benda itu sekarang. Tercetak nama "Niel" di layar ponsel itu. Dasar tukang bucin! Gerutunya geram kemudian menolak panggilan dari cowok itu.
"Pantes aja, " ucapnya lagi, tersenyum licik. Kemudian jemarinya dengan lincah memblokir nomor itu tanpa pikir panjang.
Siapa suruh gak mau belajar.
"Dhira?" Tak disangka-sangka, ternyata Rana sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Ia menatap adiknya dengan tanda tanya besar. Sedang apa bocah dewasa itu di sini?
Dhira tak terkejut apalagi salah tingkah. Ia terlanjur pandai mengatur emosi terlebih lagi ekspresi. Jadi, ia hanya memandangi kakaknya dari atas hingga bawah.
Kakaknya terlihat sangat aneh. tapi biarlah, ia sedang tak ingin waktunya terbuang sia-sia. Apalagi jika hanya untuk memedulikan pakaian kakaknya yang super kebesaran itu.
Jemarinya segera menekan tombol kembali pada ponsel kakaknya, menghapus riwayat, dan meletakkannya lagi.
"Dhira, ngapa .... "
"Matiin alarm." Dhira enggan menunggu pertanyaan kakaknya selesai dilontarkan.
"Ooo .... " Bibir Rana membulat. Percaya saja dengan perkataan adiknya.
"Mama sama Papa lagi ada makan malam sama keluarganya Kak Rena," terang Dhira sambil melangkah hendak keluar dari kamar kakaknya.
"Udah tau," sahut Rana kemudian menjulurkan lidahnya. Gemar sekali mengganggu adiknya yang minim ekspresi ini.
"O," singkat Dhira, acuh tak acuh memasuki kamarnya.
"Cuma, O? Dasar nenek-nenek!" ledek Rana lirih, heran sekali adiknya bisa sekaku ini. Seperti orang dewasa. Padahal seingatnya, ia dulu tak begitu. Paling-paling hanya cemberut kalau sudah diceramahi Papa. Itu saja.
"Oh ya, jangan berisik! Aku lagi belajar." Dhira tiba-tiba menongolkan kepalanya lagi. Membuat Rana kaget saja, tapi kemudian masuk lagi tanpa menunggu respon dari kakaknya.
"Huh!" dengus Rana, kemudian memasuki kamarnya, berganti baju dan merebahkan tubuhnya di ranjang.
Matanya menatap langit-langit kamarnya, sedang pikirannya melayang entah kemana. Sejujurnya ia juga bosan jika harus di rumah terus, sementara teman-temannya sedang bersenang-senang di sekolah. Ia rindu masa-masa itu, dimana kesedihannya bisa terlupakan dengan mudah. Walau hanya sementara.
...💕...
Daniel membanting Hp-nya ke kasur. Sudah seharian ini ia sibuk menenangkan pikirannya yang semakin kalut tak keruan. Hari ini ia tidak keluar rumah sama sekali. Padahal biasanya, ia paling tak betah berdiam diri di dalam rumah.
Seharian sudah, ia mencoba menghubungi Rana untuk menanyakan perihal foto itu. Tapi lihat sekarang, tiba-tiba pacarnya itu memblokir nomornya. Benar-benar membuatnya semakin geram. Secuek-cueknya Rana, semalas-malasnya cewek itu membalas pesannya, bahkan juga sering menolak panggilannya, ia sama sekali tak pernah memblokir kontak cowoknya sendiri.
Pasti, pasti ini ada apa-apanya. Tak mungkin tak ada alasan untuk hal sejanggal ini.
Daniel segera bangkit dari posisi duduknya. Disambarnya kunci motor dari atas meja disebelah ranjangnya. Ia harus menemui Rana sekarang juga.
"Hahaha,,, jadi ya, begitulah, Rena ini sudah mulai sekolah tatap muka dari sebulan lalu. Dan dari yang saya lihat, semuanya berjalan lancar," celoteh Pak Wijaya, ayah Rena sembari menepuk-nepuk pelan pundak anak tunggalnya.
Rena hanya tersenyum singkat, kemudian memasang wajah datar lagi. Seperti biasa, ayahnya pasti sedang pencitraan mengenai kedekatannya dengan keluarganya. Maklum saja, makan malam kali ini tak cuma dihadiri keluarga besarnya tapi juga dihadiri teman-teman lama ayahnya yang terhitung orang-orang terpandang di negeri ini. Termasuk Om Cipto, ayah Rana. Ahh, basi!
Tak hanya sampai disitu, bahkan ayahnya sejak tadi terus menggenggam atau mengelus-elus punggung tangan ibunya. Mengumbar kemesraan seolah tak terjadi apa-apa diantara mereka.
"Oh ya, Cip, mana Rana dan Dhira? Kenapa tidak hadir di acara malam ini?" tanya pak Wijaya.
"Dhira sedang belajar tadi, dan dia tak ingin waktu belajarnya tersita. Kalau Rana, ya ... kau tau sendirilah, dia sedang bersama teman-temannya. Biasa, anak muda, " dusta Cipto sebab sangat tak mengenakkan jika mengatakan anak itu sedang berada dirumah mantan ayah tirinya. Apa kata semua orang? Bisa-bisa, ia dicap sebagai ayah yang kurang memperhatikan anaknya. Padahal ia sudah sering menasihati, sangat malahan. Awas saja jika sepulang dari acara ini anak itu masih belum berada dirumah. Ia sudah siap mendatangi Darren si kurang ajar itu.
Rena menggerutu dalam hati. Dimana sih, Rana? Kenapa bocah itu gak dateng? Masa iya, dia jalan-jalan sama yang lain. Huh! Ini curang namanya.
"Emm, permisi, Pa, Rena mau ke toilet dulu, " ujarnya kemudian melenggang menuju ke luar ruang pertemuan. Bodoh amat jika ada orang yang memperhatikannya dan mengetahui kebohongannya soal izin ke toilet itu.
"Ra?" panggilnya setelah sukses menelfon Rana.
"Ya, sayang!" sahut Rana girang. Pas sekali karena ia sedang gabut dan akunnya juga sepi.
"Gue lagi di acara makan malem nih, kok lo gak deteng sih? Bokap Lo bilang, lo lagi jalan-jalan bareng temen. Bener, tuh? "
"Ha? Jalan-jalan? Bareng temen? Enggaklah, orang gue baru aja pulang dari rumah Papi, kok."
"Oo ... gue kira kalian jalan-jalan gak ngajak gue. Udah dulu ya, Ra, gue izinnya ke toilet ini tadi," kata Rena tanpa bertele-tele segera menutup telfonnya. Sebenarnya, bukan karena ingin secepatnya kembali, tapi ia hanya ingin sendiri. Jika saja tidak segera dimatikan, Rana pasti akan langsung berceloteh tentang adegan-adegan pada drama korea yang sedang ditontonnya saat ini.
Dan disinilah ia sekarang, duduk merenung sendiri di teras ruang pertemuan.
Mungkin, jika dilukis ia akan menjadi pemandangan yang indah. Gaun merah yang berkesan mewah, dan rambut bergelombang indah yang ditata dengan sedemikian apik. Dandanannya pun, tentu tak kalah cantik.
"Hai, Rena!" sapa seorang cowok tiba-tiba sudah duduk di samping Rena. Membuatnya agak terkejut karena ia tidak mengenal siapa laki-laki itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 217 Episodes
Comments