Ruang makan
Hening, hanya ada suara gesekan sendok dan piring yang terdengar samar. Rana hanya menatap malas makanan dihadapannya. Ia tak tahu mengapa setiap ada ayahnya, selera makannya hilang seketika. Padahal, semur jengkol dihadapannya pasti sudah dimasak dengan resep markotop rahasia maminya.
"Gimana sekolah kamu, Dhira?" tanya Cipto pada anak keduanya yang masih duduk dibangku kelas 5 SD.
"Baik, kenaikan kemarin peringkatku tetap pertama," jawab Dhira datar, tetap fokus dengan makanannya.
Rana hanya melirik adiknya sekilas, Dhira pasti sudah bukan anak-anak, gerutunya dongkol dalam hati. Bocah itu datar, serius, perfeksionis dan ... tidak pernah terlihat ceria. Benar-benar mirip dengan Cipto, ayahnya. Bahkan ia tampak sama sekali tak mirip dengan Puspa, ibunya.
"Bagus, pertahankan. Jangan sampai ada yang menggeser," ujar Cipto penuh penekanan. Bukan untuk menekan anak keduanya itu, melainkan untuk membuat anak pertamanya sadar bahwa seharusnya ia tak boleh dipermalukan di depan adiknya yang masih kelas 5 SD.
"Rana, bagaimana sekolahmu?" tanyanya kemudian, menatap lurus kepada Rana si sulung. Entahlah bagaimana cara ia bisa membuat bocah itu hengkang dari posisi peringkat terakhirnya yang seolah sudah mendarah daging itu. Ia juga bingung, teramat bingung. Juga malu.
"Baik," jawab Rana tanpa menatap balik ayahnya.
"Kapan kamu vaksin?"
"Nanti."
"Nanti kapan?"
"Nanti, kalau Rana sempet."
"Tadi Bapak Kepala Sekolah sudah nelfon, menanyakan kapan kamu mulai belajar tatap muka."
Rana diam seribu bahasa, terbayang diotaknya rasa sakit saat jarum kejam itu dengan tega mencabik-cabik lengan mulusnya.
"Peringkat berapa, kamu?" Sebenarnya Cipto sudah tahu jawabannya. Hanya saja, kalimat ini adalah salah satu cara untuk membuat anak bebalnya ini mau melaksanakan titahnya.
"Lima puluh lima," jawab Rana singkat tanpa ekspresi, menutupi rasa sesak yang mulai menggelayuti.
"Berapa murid dikelasmu?"
"Lima puluh lima," jawabnya lagi, berusaha terlihat acuh tak acuh.
Cipto menghela nafas berat, sedang Puspa hanya terdiam tak mampu menyuarakan apa-apa. Ia tak heran jika suaminya sampai seperti ini. Beliau adalah tipe orang yang sangat mempedulikan reputasinya, sebagai seorang pengacara terkenal di negeri ini.
"Papa heran sama kamu, dari dulu sampai sekarang gak berubah-berubah. Gak pernah bisa banggain papa, bisanya cuman buat Papa malu," ujar Cipto sinis. Apa yang bisa dibanggakan jika nilai Rana selalu saja dibawah standar? Ia lelah menyokong anak itu dari belakang, juga lelah menahan malu yang disebabkan kebebalan otak anak sulungnya itu.
Rana membuang nafas dongkol. Gadis itu kemudian berdiri dari duduknya dan menatap mata ayahnya lekat. Memangnya cuma Papa apa, yang bisa marah-marah?
"Rana juga heran sama Om Cipto, dari dulu sampai sekarang gak pernah berubah-berubah. Gak pernah bisa bahagiain Rana. Bisanya cuman marah-marah, nyalahin Rana tiap hari. Rana tuh juga manusia Om, punya kekurangan! Gak kayak Om, yang SEMPURNA layaknya malaikat," balas Rana membalikkan kata.
"Rana!" bentak Cipto tersalut emosi, bisa-bisanya anak ini menyebutnya om, seolah ia bukanlah ayahnya sendiri.
"Pa, udah, paa," Puspa menengahi, tak mau keadaan menjadi lebih rumit lagi.
"Papa tuh, cuma pengen dia itu …"
Bla bla bla....
Rana langsung saja meninggalkan meja makan. Perut laparnya saja tak ia hiraukan, apalagi ocehan papanya yang menyebalkan.
Bruak!
Suara pintu yang dibanting menjadi pertanda bahwa malam ini ia tak akan tidur di rumah.
...💕...
Tongkrongan itu tampak ramai seperti biasanya. Kebanyakan, mereka sibuk dengan gedgetnya masing-masing. Game online, memang sedang sangat trand dikalangan cowok-cowok seumuran mereka. Bukan cowok namanya, jika tak lihai beradu lewat dunia maya yang satu ini.
Tidak seperti yang lainnya, Daniel si ketua geng justru termenung menatapi layar ponselnya. Sudah dibaca, tapi tak kunjung dibalas juga. Kalau begini terus perlakuan Rana padanya, maka akan sama saja rasanya, punya dan tak punya pacar.
"Udahlah bro, lu kayak gak tau Rana aja. Mungkin buat dia, lu emang bukan siapa-siapa," ucap Regy menepuk pundak sobatnya itu. Kasihan, punya pacar cantik sekali tapi seperti tak pernah dianggap keberadaanya.
Daniel membuang nafas berat. Ucapan seperti itu sudah tak asing ditelinganya. Bahkan, terkadang terasa benar apa adanya.
Ruang kelas IX_SMP Kertajaya
Daniel *******-***** jemarinya ragu sekaligus gugup. Tepat dibelakangnya kerumunan teman-temannya bersorak ria menyemangati. Ia ragu untuk segera memasuki ruangan ini. Di dalamnya hanya ada Rana. Katanya, ia sedang dihukum membersihkan kelas sendirian karena lagi-lagi tak mengerjakan PR.
Diliriknya ketiga sahabat Rana yang berdiri tak jauh dari kerumunan. Vira dengan keantusiasan menyemangatinya, Nada dengan tatapan khawatirnya, dan Rena dengan tatapan tajam penuh ancaman.
Sebenarnya, mereka sudah melarangnya melakukan ini. Tapi ia sudah menyukai Rana dari semenjak pertemuan pertamanya pada masa orientasi, berteman dekat selama dua tahun, dan ... ia fikir inilah saat yang tepat untuk menyatakan perasaannya.
Daniel kemudian mulai melangkahkan kaki memasuki kelas. Tak mau keraguannya menjadi sebab hilangnya Rana dari genggamannya.
"Niel?" ujar Rana menyadari siapa yang datang. Tangannya hendak menurunkan kursi yang masih setia nangkring diatas meja.
"Sini, biar gue bantu," kata Daniel meraih kursi itu dan segera menurunkannya.
"Tapi, Niel, nanti kalau ada yang liat, gimana? Rana kan lagi dihukum," Rana terbengong, akan repot jadinya kalau pak mustam marah-marah hanya karena Daniel nekat membantunya.
Tanpa menjawab pertanyaan Rana, Daniel justru berpindah ke titik-titik lain dan melakukan hal yang sama. Menurunkan kursi dari atas meja.
"Ra, gue pengen ngomong sesuatu," Ucapnya dengan penuh keyakinan, setelah duduk dihadapan Rana. Peluh di dahinya memiliki 2 sebab kemungkinan. Satu mungkin karena gugup, dan dua, mungkin juga karena kelelahan. Maklum saja, kelas mereka lumayan luas untuk ukuran salah satu sekolah favorit tingkat menengah pertama di kota ini.
"Haa ... ngomong apa?" tanya Rana terbengong lagi.Tiba-tiba ia jadi teringat sinetron-sinetron romantis kesukaannya yang menjadi santapan hariannya sejak masih bocah ingusan.
Daniel meraih kedua tangan Rana, kemudian menggenggamnya. Setahunya, beginilah cara cowok-cowok dalam film menyatakan perasaan mereka.
Rana semakin dibuat ternganga.
"Ra, gue suka sama lo. Lo mau gak, jadi pacar gue?" ungkap Daniel memandang mata Rana lekat. Jantungnya serasa mau copot, menunggu respon dari cewek di depannya ini.
Rana diam seribu kata. Ia tak menyangka jika tebakan ngawurnya barusan, ternyata benar adanya. Benaknya masih berusaha mencerna segalanya.
"Tapi, kita kan temenan, Niel." Susah payah Rana mengatakannya.
"Tapi gue sayang sama lo, Ra. Emang lo gak punya perasaan, sama gue?" tanya Daniel, dengan perasaan harap-harap cemas.
"... sayang ... tapi Rana gak mau kehilangan Niel. Entar kalau kita berantem, terus putus, gimana?" tanya Rana ragu sekaligus polos sekali.
"Janji, kita gak bakal berantem, apalagi sampe putus." Daniel menyodorkan jari kelingkingnya. Senyumnya mengembang, sebab ternyata perasaannya selama ini tak bertepuk sebelah tangan.
Rana tersenyum canggung, kemudian menyambut kelingking Daniel dan mengaitkannya tanpa rasa ragu.
"Janji," ucapnya, tersenyum memperlihatkan lesung pipi indahnya.
Sorak ria semua teman mereka seketika ricuh, meneriakkan cie.... cieeee...!! Ternyata sejak tadi, mereka jadi tontonan gratis buat teman-teman mereka.
Daniel memalingkan pandangannya jengah. Sekelebat kenangan manis dari masa SMP, semoga Rana tak melupakannya begitu saja.
"Bro, mabar, yok!" ajaknya pada Regy, yang langsung disambut antusias oleh temannya itu. Daripada ia galau memikirkan Rana, lebih baik ia menghabiskan malamnya ini dengan mabar sampai pagi menjelang. Setidaknya, itu bisa membuatnya lupa akan posisinya yang seolah tak kasap mata dimata pacarnya sendiri.
Sudah main cukup lama, sedang seru-serunya, tiba-tiba ada chat masuk dari Rana. Tak perlu basa-basi, ia langsung membukanya.
❤Rana Q
Jemput aku dirumah
Sekarang
^^^Anda^^^
^^^Ok^^^
Daniel langsung saja berdiri dari duduknya, bergegas menuju motornya. Tanpa pamit, ia segera melesat ke rumah pacarnya.
Regy hanya bisa terbengong, begitu pula dengan teman-teman se-angkrigannya.
"Kebiasaan banget tuh bocah, orang lagi seru-serunya juga," gerutunya sebal, kemudian mengajak temannya yang lain mabar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 217 Episodes
Comments
Azzkayy
Semangat diriku sendiri 😘😘
wkwk
2024-01-27
1