Rana menatap dirinya di cermin. Matanya sedikit membulat tak percaya, ternyata dari tadi seperti ini modelnya. Benar-benar seperti gembel. Pantas saja tadi ia sempat dikira orang gila oleh cowok jutek itu. Untungnya, ia bukanlah tipe cewek seperti Rena yang selalu menomorsatukan penampilan, jadi ia tak perlu merisaukan perihal itu lebih dalam. Lagipula, kemungkinan besar ia tak akan bertemu cowok itu lagi. Semoga saja.
Ia kemudian melepas jaket yang dikenakannya. Kayaknya, kalaupun ketemu lagi gue harus balikin jaket ini deh, batinnya menyampirkan benda itu di samping lemari pakaian ayahnya.
"Rana!" panggil seorang pria disusul dengan suara pintu yang dibuka. Pria itu adalah Darren, ayah tiri Rana. Pria yang pernah menjadi suami Puspa dalam kurun waktu sekitar empat tahun sejak Rana menginjak usia satu tahunnya.
Saat itu Cipto, ayah kandung Rana, menghilang entah kemana. Padahal di masa itu Puspa benar-benar membutuhkan seorang suami sebagai figur ayah bagi anaknya yang masih balita, juga nafkah untuk kebutuhan sehari-harinya pula.
Darren datang membawa kepingan masa lalu pada Puspa. Seorang mantan kekasih di masa SMA. Mereka menikah. Darren menyayangi Rana melebihi dirinya sendiri. Ia tak pernah menganggap Rana adalah anak tirinya.
Tapi Cipto datang ketika Rana kecil masih berusia 5 tahun. Cipto datang dengan amarah yang menyala-nyala, menyalahkan Puspa akan ketidaksetiaannya, meminta hak asuh Rana sebagai anak kandungnya.
Puspa menyerah, ia tak bisa kehilangan Rana sebab Rana adalah satu-satunya miliknya. Maka, perceraian dengan Darren adalah satu-satunya jalan utama.
"Eh, Papi? Udah bangun? " Rana meringis, menyadari ia sudah mengotori baju bola kesayangan ayahnya, juga menodai kasur putihnya.
"Dari mana aja? kok, pakai baju Papi? " tanya papi Rana dengan wajah suntuk habis bangun tidur.
"Hehehe, abis beli pembalut. Rana lagi PMS nih, Pi, " jawab Rana kemudian membalik badan hendak menuju kamar mandi.
"Ra?"
Merasa terpanggil, Rana membalik badan lagi. Melongo menatap ayahnya dengan tanda tanya besar dimatanya.
"Kayaknya ... kamu udah tembus deh," ujar Papi sedikit menyipitkan matanya yang memang sudah sipit. Memastikan pengelihatan mata kantuknya.
"Haa ..." Bibir Rana membulat. Cewek berambut panjang berombak itu kemudian segera berlari menuju kedepan cermin, membalik badan mengecek kebenaran hal yang barusan dikatakan ayahnya.
Dan benar, ada sedikit noda merah dibagian bokongnya. Rana terkesiap. Matanya melebar. Ia kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan, malu.
"Jangan-jangan, cowok tadi udah liat darah gue," ucapnya lirih, mengingat perlakuan cowok judes tadi yang bersikeras menahannya saat hendak masuk minimarket.
...💕...
Tongkrongan Daniel_SMK Karya Nusantara
Daniel menyesap rokoknya dalam. Ini adalah rokok ketiganya. Sebenarnya, dia ingat jika saja Rana tahu akan hal ini cewek itu pasti akan mengomelinya habis-habisan sebab ia paling tak suka dengan baunya. Tapi biarlah, toh cewek itu juga sedang tak mengacuhkannya.
Tongkrongan itu sedang tidak ramai. Mayoritas penduduknya sedang berada di dalam kelas, mendengarkan dengan suntuk guru-guru pelajarannya mengoceh selama satu jam penuh. Daniel sedang bolos. Guru yang mengisi kelas tehnik saat ini memang guru yang tak ia sukai, membuat ia selalu merasa pengap jika harus berdiam diri dikelas walau semenit saja. Jadi disinilah ia, duduk bersandar bersama seorang teman lawas bernama Regy.
Hening, Daniel menikmati setiap batang rokoknya dengan renungan panjang. Pikirannya melayang kepada Rana. Betapa cewek itu membuatnya nyaris gila.
Daniel bukanlah cowok sembarangan. Di sekolahnya ini, ia cukup terpandang. Banyak cewek yang mengantre ingin menjadi pacar atau sekedar dekat dengannya. Tapi ia selalu tak mengacuhkan. Hanya Rana, walau cewek itu terlalu sering tak memedulikannya.
Suara HP bergetar, ada pesan masuk. Daniel memeriksa sakunya. Ah, ia sedang tak membawa ponsel. Ia kemudian melirik Regy. Cowok itu sedang menatap layar ponselnya. Matanya agak membulat entah mengapa. Mungkin, sedang terkejut atau juga tak menyangka.
Daniel memalingkan wajah malas, ternyata bukan pesan untuknya.
"Nil!" panggil Regy kemudian menggeser duduknya agar lebih dekat pada Daniel.
"Hmm, " respon Daniel tanpa menolehkan kepala.
"Liat nih, Nil! Ini bukannya Rana, ya?"
Mendengar nama Rana disebut-sebut, Daniel seketika menolehkan kepalanya. "Rana? Mana?" tanyanya antusias.
Agak ragu, Regy menyodorkan HP nya. Menunjukkan foto sepasang cowok-cewek sedang berboncengan dari layar ponselnya.
Daniel menyipitkan matanya meneliti. Cowok yang membonceng memakai helm, ia tak dapat mengenalinya. Tapi ia tahu dari mana asal sekolahnya. Dan, cewek di belakangnya ... tak dapat disangkal lagi, cewek itu adalah Rana. Walaupun cewek itu memakai baju yang bukan miliknya, Daniel tentu paham betul perawakannya.
Daniel meremas buku-buku jarinya menahan emosi. Masalahnya, antara sekolahnya dan sekolah SMA Tunas Bangsa sejak dulu memang selalu terjadi pergesekan. Masalah sepele pun, bisa menjadi perkara besar. Ditambah lagi di pancing seperti ini, tentu membuat Daniel semakin geram.
Pantes aja Rana makin cuek ke Gue.
...💕...
Tongkrongan Arka_SMA Tunas Bangsa
Seperti biasa, rombongan cowok-cowok itu selalu berkerumun di tempat itu. Selalu berbagi canda dan tak lupa diselingi gelak tawa. Letaknya juga strategis, dekat dengan parkiran dan tak jauh pula dari kantin Bu Ratih, mama Nada, calon mertua Arsya. Juga, mereka tak perlu repot-repot datang ke kantin untuk memesan makanan. Cukup menyuruh adik-adik kelas untuk melakukannya. Benar-benar keuntungan yang berlipat-lipat ganda bukan?
"Eh, Nada tuh, Sya!" tunjuk seorang cowok sembari menyikut perut Arsya mengkode agar cowok berjaket jins itu melihat tiga orang cewek yang sedang lewat di Koridor depan tongkrongan mereka.
Tak perlu menunggu aba-aba lagi, Arsya langsung bersuit-suit ria. Berharap cewek incerannya sudi menoleh padanya. Tapi tentunya harapan itu hanya sia-sia belaka, karena Nada hanya berjalan dengan pandangan lurus. Dan yang di dapatnya justru lirikan tajam dari Rena yang memang terkenal judes, serta tatapan mengejek dari Vira si Biang Gosip.
"Mandi sana, Sya! Di toilet lagi sepi kok, " seloroh Vira sembari mengibaskan rambut indahnya. Lumayan lah, sekalian tebar pesona.
"Woy, Vir! Dapet salam dari Dio nih, katanya dia pengen minta nomer WA lu!" teriak Arsya mulai mengada-ngada. Mana pernah Dio mengirim salam pada Vira. Tertarik pada perempuan saja, sepertinya tidak. Sebenar-benarnya, hanya makananlah yang bisa menarik perhatiannya.
Bug!
Satu tinjuan langsung melesat mengenai lengan Arsya, membuat cowok itu meringis kesakitan karena pukulan Dio tentu cukup bertenaga, untuk ukuran cowok berbadan gemuk yang hobinya adalah makan.
"Ngawur lo, kontak gue udah full, tau," ucap Dio santai, sembari mengunyah makanannya acuh tak acuh.
Vira yang disebut-sebut tak menanggapi. Ia hanya memalingkan wajah songong. Pasti Dio yang gemuk-gemuk tadi. Batinnya mengira-ngira. Seingatnya, cowok itu adalah teman sekelasnya yang bertingkah lucu saat di kelas tadi. Maklum saja, baru sebulan mereka aktif belajar tatap muka. Maka dari itu ia tak terlalu mengenal teman-teman sekelasnya, terkecuali mereka yang memang sudah satu SMP dengannya dulu. Yah, walaupun dia si Biang Kepo, tapi Dio bukan tipe cowok yang layak di- kepoin.
"Ah, masa iya? " Arsya tak percaya, begitu pula dengan yang lainnya. Dari mana Dio mendapatkan kontak cewek sebanyak iitu? Sampai-sampai kontaknya overdosis, katanya.
"Iya, full, full sama nomernya abang-abang tukang nganterin makanan, " aku Dio apa adanya dengan wajah tanpa dosa.
Tak berselang lama, sebuah motor KLX melesat dan langsung memarkirkan dirinya dengan mulus di tempat parkir andalannya. Benar-benar hari yang sial, batinnya masih gondok dengan cewek yang ditemuinya tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 217 Episodes
Comments