Keempat sahabat itu sudah berkumpul di rumah Vira. Maklum saja, ibu Vira adalah ibu paling pengertian sedunia. Selalu bisa memahami bagaimana heboh dan ribetnya kehidupan empat ciwi-ciwi ini. Itulah kenapa mereka sering berkumpul disini.
"Gue tuh, gak bisa ngerti sama bokap gue, gak pernah berhenti ngulangin kesalahan yang sama," decak Rena, tanpa memperlihatkan air muka sedihnya. Tatapannya tajam penuh kebencian.
Rana, Vira, dan Nada dengan penuh perhatian terus mendengarkan cerita Rena sejak tadi. Sesekali menepuk-nepuk pundak cewek itu atau mengelus-elus tangannya sebagai bentuk rasa simpati.
"Kalau emang udah gak cinta, kenapa juga masih dipertahanin? Dari gue kecil ampe gede, gak pernah bisa akur."
"Positif thingking Rey, mungkin mereka gak mau lo hancur," Ujar Nada tersenyum menguatkan.
"Nad, ya kalo emang gitu terus kenapa mereka selalu berantem di depan gue? Bokap gue bahkan dulu sering bawa-bawa perempuan pas gak ada nyokap. Huh! Ini alasan gue kenapa gak pernah punya pacar sampe sekarang. Semua laki-laki sama aja, apalagi bokap gue." Matanya kemudian beralih menatap Rana.
"Ra, lo harus ati-ati sama cowok-cowok yang ngejar-ngejar lo. Termasuk Daniel juga, gue gak mau lo sakit hati cuman gara-gara cinta."
"Enggak kok, Rey, Daniel cowok baik. Kita kan udah temenan lama ama dia," ucap Rana polos. Mana mungkin Daniel yang sebegitu sabar dan perhatian akan tega menyelingkuhinya.
"Jangan terlalu percaya laki-laki, Ra, kita gak tau kedepannya bakal gimana. Lihat aja kalo dia berani nyakitin lo, dia bakal berhadapan sama gue. Dan lo Vir ..." ucapnya kemudian menunjuk Vira yang langsung tertunduk, sudah mengerti apa yang akan dikatakan temannya itu.
"Jangan terlalu sering mainin perasaan orang lain. Gue tau semua laki-laki bajingan, tapi karma masih berlaku di dunia ini."
Vira menunduk sedalam mungkin, tapi bukan untuk meresapi perkataan Rena melainkan untuk menahan tawa karena kalau sudah seperti ini, Rena akan berlagak seolah-olah menjadi ibu bagi mereka bertiga.
"Dan lo Nad ..."
Belum selesai Rena berbicara, tiba-tiba ruangan itu dipenuhi dengan gelak tawa Vira dan Rana. Ternyata, sejak tadi keduanya sudah berkode-kode ria tak tahan mendengar ocehan Rena yang mengalahkan ocehan para emak mereka.
Buk! buk!
Dua tinjuan singkat langsung saja melayang ke lengan kedua cewek itu.
"Orang serius juga," Gerutu Rena sebal, tapi bibirnya tak bisa mengelak untuk tak mengembangkan senyuman.
"Iih ... sakit tau, Rey!" teriak Rana dan Vira memegangi lengannya yang baru saja menjadi korban kekerasan dalam persahabatan.
...💕...
Pria umur 40-an itu mengamati deretan nama di layar monitornya. Sedikit mengerutkan kening melihat daftar siswa yang sudah melakukan aktivitas belajar tatap muka setelah divaksinasi. Ternyata program itu lumayan mendapat respon baik dari para wali murid. Tak butuh waktu lama, hampir seluruh siswa-siswi SMA Tunas Bangsa sudah aktif belajar di dalam kelas. Mungkin, itu karena mereka juga jengah jika terus-terusan belajar online.
"Ini kopinya, Pak," ucap Istrinya, meletakkan secangkir kopi hangat di meja bapak itu.
Bau kopi menguar samar, membuat bapak itu tak perlu aba-aba langsung menyesapnya.
"Mbok hati-hati, Pak. Siapa juga yang akan meminum kopi Bapak?" seloroh sang istri kemudian menghilang dari balik pintu ruang kerja, menuju ke ruang keluarga hendak menonton sinetron kesukaannya.
"Uhuk!" Baru saja ditegur si bapak langsung keselek saja. Tapi akhirnya, ia mengingat nama yang sejak tadi ia tatap di layar monitor.
"Tuh kaaan ... Bapak sih, nggak hati-hati!" teriak sang istri masih tetap fokus dengan sinetronnya.
"Eh, Buk? Rana Puspakarina ini, bukannya anaknya Cipto? Cipto yang murid kesayangan Bapak dulu itu lho," tanyanya tak lupa mengeraskan suara pula.
"Ooooh ... seingat Ibuk sih, iya pak. Ibuk pernah berkunjung ke rumah Cipto dulu. Cantik banget itu anaknya, Pak. Bapak kenapa nanyain itu?" Si ibu menghampiri bapak, mulai tertarik dengan topik yang ditanyakan suaminya itu.
"Ini lho, ternyata anaknya Cipto itu belum divaksin dan masih dalam masa belajar online. padahal dia sudah kelas 2 tahun ini, kan sayang kalau belajarnya tidak maksimal."
"Kalau begitu Bapak tanyakan saja sama Cipto. Telfon saja kalau tidak sempat berkunjung. Bapak masih punya nomer telfonnya, kan?"
"Tentu masih. Nanti coba Bapak hubungi, semoga saja Cipto belum ganti nomer." Ujarnya sembari membenahkan kaca mata kemudian kembali mnyeruput kopi hitamnya lagi.
...💕...
Kamar Rana_08.25
Ruang itu didominasi warna pink cerah. Di desain dengan sangat imut, ciri khas kamar seorang anak gadis. Walau, sayangnya Rana bukan termasuk hitungan anak gadis yang kalem dan suka kerapian.
Dalam hitungan seminggu setelah pengecatan ulang, dinding kamar itu sudah penuh dengan coretan. Bahan dasarnya bermacam-macam, mulai dari pilox, pewarna cair, cat air, cat tembok, cat kayu sampai lipstik pun, jadi korban.
Tulisannya pun bermacam-macam pula, Rana the magic gril, Rana and friends, Rana oh meranaaa..... , Rana orang gila, sampai Rana Niel lope-lope - itu ditulis saat ia baru saja jadian dengan Daniel yang notabennya adalah sahabatnya sejak lama, yang,,, tulisannya masih ada sampai sekarang walau sudah banyak sekali dilakukan pengecatan ulang.
Dengan posisi tengkurap, ia mengecek WhatsApp nya setelah sekian lama Ia anggurkan begitu saja. Hanya ada chat dari Daniel dan tumpukan nomer baru yang meminta agar nomernya di save. Entah siapa, Rana tak kenal. Entah pula dari mana mereka mendapatkan nomernya, malas sekali ia merespon mereka. Oh ya, tak lupa beberapa grup daring yang membuatnya semakin malas membuka aplikasi ini.
Dibukanya chat dari Daniel, sudah menumpuk entah seperti apa. Dibacanya dari yang paling atas sampai bawah. "Nieel ...." ketiknya di keyboard ponselnya, sedikit merasa bersalah sebab jarang sekali ia membalas pesan dari cowoknya itu.
Baru saja ia hendak mengirim pesan itu, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.
"Rana? Ayo makan, Nak! Mami udah masakin makanan kesukaan kamu juga lho," kata seorang wanita menyembulkan kepala dari balik pintu kamar Rana. Suaranya lembut, bibirnya mengembangkan senyum yang amat manis. Benar-benar cantik. Tak heran, kecantikan Rana adalah warisan berharga dari beliau. Walau tidak dengan sikap dan tingkah lakunya.
"Ada Papa gak?" tanya Rana langsung saja.
Mendengar pertanyaan itu, Puspa agak tertegun. Hubungan ayah dan anak itu ternyata masih belum membaik sampai sekarang.
"Ra, ayo makan! Tadi papa bilang pengen bicara sama kamu," ucap Puspa kemudian menghilang dari pandangan Rana. Rasanya getir sekali, tapi nyatanya ia tak bisa menyalahkan Rana jika anak itu masih saja membenci ayah kandungnya sendiri.
Rana mendengus kesal, feelingnya sudah tidak bagus. Dihapusnya pesan yang baru saja ia ketik, kemudian beranjak dari posisi tengkurapnya. Bergerak menuju ruang makan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 217 Episodes
Comments
Lidiawati06
seritanya seru kak🤗
2022-05-03
1