...(Tahap Kedua Berakhir, maka Tahap Terakhir Dimulai)...
-
“Menjijikkan, apa ini....makanan disini benar-benar tidak normal”
“Huwek......huwek...” seseorang dengan cepat memuntahkan semua isi perutnya, walau tidak sepenuhnya keluar dari mulut.
Disisi lain, Meyla serta keluarganya belum berangkat. Mereka berdiskusi sebentar.
“Kami akan berangkat duluan” ucap salah satu Pamannya yang sudah berdiam dibawah rumah itu dengan berendam didalam air. Sedangkan Paman keduanya juga ikut berdendam didalam. Disisi lain Ayah dan Ibu dan Bibinya berdiskusi dengan dirinya.
“Apa kau tidak ingin menjadi pengawas seperti dulu?” Tanya sang Bibi sambil melangkah menuruni tangga. Melihat hal itu Meyla berusaha untuk membantu.
“Tidak..bukannya Aku memang diundang untuk mengikuti pertandingan ini?” ucapnya dengan santai.
Mendengar perkataannya tidak direspon, Meyla berdiri di tangga kedua kemudian berjongkok untuk memasukkan diri dicelah tangga.
“Lebih baik kau masuk saat sudah tiba digerbangnya. Biar kami yang berenang dari sini” ucap Ayahnya yang kemudian memasuki celah tangga menyusul kedua pamannya.
“Benar...biar kami yang mulai melangkah perlahan untuk mengurangi kekacauan” ucap Bibinya. Ibu Meyla sudah berendam didalam air. Yang kemudian disusul oleh Bibinya.
Karena mendengar perkataan itu, Ia pun menaiki tangga lagi untuk masuk kedalam rumah dan melihat siapa yang menjadi pengawas menara kali ini. Matanya melesat dengan cepat kejendela dengan lebar membentang luas. Itu adalah jendela yang menghadap kedepan dan mereka mulai bergerak maju. Yang menandakan bahwa mereka sudah memasuki tantangan ketiga.
Karena gerakkan cepat itu, ia mencondongkan tubuhnya kejendela untuk mendapati Orang tua, Bibi dan Pamannya yang kini sudah berenang terlebih dahulu. Kecepatan berenang mereka mungkin tidak bisa diikuti oleh Meyla untuk saat ini.
Setelah memandang terlalu lama diluar, Ia beralih masuk untuk melihat kearah kanannya. Terdapat seseorang yang tertidur dengan terlentang. Sedangkan disamping orang itu terdapat anak gadis duduk sambil bermain, ia tidak lain adalah anak Bibinya sendiri. Anak itu tidak melihatnya karena kemungkinan besar bukan dia yang menjadi pengawas menara.
Merasa ada yang salah, ia melirik orang yang berbaring tertidur pulas. Dari kaki yang beralih ke tubuh kemudian tiba di kepalanya. Meski saat ini wajahnya tidak sepenuhnya terlihat. Meyla sudah merasa familiar melihat orang tertidur itu. Karena pakaian serta lekuk lehernya sudah bisa ditebak bahwa dirinya, ia tidak lain adalah pria yang duduk didepan dari awal misi lalu kemudian melindunginya dari berbagai hal. Dan memberinya kenyamanan.
Melihat ini, pandangan itu mulai beralih menyusuri leher, adam apel, dan kemudian Ia berusaha untuk bisa memandang pria itu. Namun belum sempat melihat bagian batang hidung. Meyla dikagetkan dengan suara panggilan.
“Mey!...apa Kau ada didalam?”
Itu adalah suara dari ayahnya. Meyla kembali sadar dan kemudian pergi kepintu untuk menuruni tangga dan bersiap berenang menyusul keluarganya itu.
“Aku masih disini, apa Aku sudah bisa berenang sekarang?” tanyanya.
Dengan anggukkan dari orang tuanya. Meyla masuk melalui celah kedua tangga. Dengan merasakan air yang kini membasahi tubuhnya. Bisa dibayangkan dingin air yang dirasakan. Air itu sedingin es, bisa membuat tubuh membeku ditempat. Namun mereka seperti tidak akan membeku dengan terus berenang tanpa henti.
Disisi lain, Meyla tidak melihat rumah-rumah yang terapung bersama mereka. Ia berguman “sepertinya yang lain sudah sampai terlebih dahulu”
“Tidak...” Pamannya menyela “Tidak ada yang tahu apa yang terjadi saat ini yang pasti didepan kita akan ada dinding besar yang hanya sepuluh pintu masuk untuk bisa masuk kedalam. Dinding itu hanya bisa dimasuki jika memang kita diundang”
Penjelasan Pamannya sulit untuk dicerna saat ini, namun yang pasti untuk masuk harus ada izin. Selain itu ada salah satu diantara mereka yang menjadi pengawas. Dan kemungkinan besar mereka tidak mungkin menjadi pengawas karena mereka ikut dalam pertandingan. Dan pikiran Meyla mulai menebak pria didalam rumah yang mereka tumpangi tadi adalah seorang pengawas menara. Tapi pikiran itu mulai beralih saat Bibinya mengatakan lagi.
“Mey...saat masuk nanti, bisa Kau naik kerumah itu lagi, kemudian membuka pintu seribu terowongan. Kau dulu adalah orang yang pernah mengendalikannya”
Mendengar ini, kerutan alisnya sedikit berkedut. “Bibi..bukannya sudah jelas kalau aku adalah peserta bukan pengawas.” Ucapnya
-
Tujuh tahun yang lalu
Dengan ciiiitttt rumah kecil itu berhenti didepan sebuah rumah yang kini makin kecil adalah tantangan ketiga mereka.
Meyla yang berusia sepuluh tahun berusaha untuk menikmati perjalanan itu. Ia ingin mengunjungi salah satu pasar yang riuh dengan dipenuhi pelanggan yang berlalu lalang.
Salah satu tangan Ibunya menahannya. “Tidak ada gunanya Kau membeli itu”
“kenapa?..bukannya sangat wajar mereka berjualan yang berarti bahwa pengunjung kapan saja datang. Jadi kita bisa sambil mengisi perut saat memasuki tantangan ketiga”
“Tidak Mey..itu bukan makanan yang kamu pikirkan. Semuanya hanya ilusi untuk mengoda para peserta”
“Tapi Ibu”
Ayahnya yang sudah berdiri didepan rumah kecil itu siap masuk melalui celah tangga. Ibu Meyla menariknya dan membawanya masuk duduk dikursi yang kemudian Ia berbicara. “Nanti saat tiba. Kau masuk kecelah tangga kedua kemudian masuk mengikuti kami”
Mendengar hal itu, Meyla yang tadi cemberut kembali ceria. Ia mengangguk. Mendengar itu membuatnya semangat karena dirinya benar-benar bisa ikut menyelesaikan apa yang menjadi tantangan mereka.
Bibi, Paman, dan Orang tuanya berenang dibawah rumah itu. Mereka mengikuti perlahan. Sedangkan Meyla melihat pemandangan didepannya yang tadi tidak terlihat apa-apa. kini, terlihat benteng tinggi yang kokoh berwarna abu-abu. Dan terdapat celah diantaranya yang hanya bisa dimasuki oleh tubuh mereka bukan rumah yang Ia tumpangi.
Karena melihat hal ini. Ibunya memanggilnya dan menyuruhnya untuk berenang. Mendengar panggilan itu. Ia melakukan apa yang disuruh dengan cepat masuk kedalam gerbang kecil yang menyambut. Melihat kesamping kiri dan kanan. Ia melihat bahwa dinding ini saat tebal. Tidak mudah ditembus meski ratusan peluru menembakinya. Karena ketebalan ini setara dengan tubuh lebar dan padat.
Setelah lumayan berenang dengan perlahan. Mereka berlima berhenti. Meyla melihat kemana arah pandangan orang tuanya. Yang ia lihat adalah sebuah terowongan yang berisikan setidaknya lebih dari lima pintu. Sedangkan disamping kanannya terdapat kursi yang bisa dimasuki melalui celahnya.
“Mey..naiki kursi itu dan duduklah” ucap Ibunya. Sedangkan Paman dan Ayahnya sudah mengambil sebuah pelampung dari ban dalam bekas yang entah dari mana asalnya. Intinya pelampung itu dari ban dalam bekas alat berat.
“Baiklah” ucap Meyla, yang kemudian Ia memasukkan tubuh rampingnya kecelah kursi yang dipikirnya tidak akan muat. Namun entah kenapa Ia bisa lolos dengan gampang. Setelah masuk ia berdiri kemudian duduk.
Sedangkan Bibi,dan Paman serta Orang tuanya sudah memasuki salah satu terowongan yang kini tidak melihat keadaan Meyla.
Disisi lain, Meyla menutup mata karena mengantuk. Namun hal itu bukan membuatnya mengantuk. Melainkan mengawasi bagian dalam dari terowongan. Dan mendapati orang tuanya dan Bibi serta Pamannya menghadapi tantangan.
-
Mendengar ini, kerutan alisnya sedikit berkedut. “Bibi..bukannya sudah jelas kalau aku adalah peserta bukan pengawas.” Ucapnya
Dulu dirinya memang menjadi seorang pengawas. Dan sekarang berbeda. Ia sekarang menjadi peserta yang berkewajiban mengikuti misi. Tidak ada yang bisa berubah menjadi peserta kemudian beralih ke pengawas menara.
Bibinya yang mendengar ini sempat memaksa lagi. Karena hanya Meyla yang berpengalaman. Tapi Ia terhalang peraturan, bahwa peserta tidak mungkin menjadi pengawas.
“Lalu....siapa yang membuka kunci dan mengawasi segalanya?” Tanya Bibinya.
“Bukannya itu seharusnya anak Bibi?” ucap Meyla mengingat anak Bibinya bermain didalam rumah.
“Tidak...ia memang pengawas. Tapi bukan pengawas tantangan terakhir. Ia menjadi pengawas tantangan pertama”
Mendengar itu Meyla juga dilanda kebingungan. “Apa mungkin pengawas sudah beralih keorang lain?”
Ibunya menengahi mereka “Tidak..hanya antara kita yang menjadi pengawas. Selebihnya tidak bisa dipastikan dengan jelas apakah bisa berpindah ketempat orang lain”
Setelah mendengar penjelasan itu, mereka mulai kembali fokus berenang untuk melihat bahwa menara dan terowongan masuk sudah didepan mata. Dengan masuk bergiliran. Dan Meyla yang dibagian akhir sempat melirik keluar untuk melihat apakah benar-benar ada pintu masuk lain.
Tapi saat melihat dengan jelas, tidak ada pintu disana. Hanya ada satu pintu masuk. Ia berguman ‘Apa hanya kami yang tersisa untuk menyelesaikan misi?’
Setelah masuk. Seperti dimasa lalu, tujuh tahun yang lalu ada kursi disamping tepat Ia berenang. Kini telah berubah menjadi sebuah kursi kayu yang celah tengahnya semakin kecil. Tidak memungkinkan dirinya bisa masuk kedalam untuk duduk di menara pengawas.
“Bagaimana Aku bisa masuk?..sedangkan celahnya sedikit kecil” ucap Meyla.
“Kursi ini sepertinya telah diubah, Apa dulu kursi ini berwarna kayu?”Tanya Ibunya.
“Tidak Ibu..Aku ingat, kursi yang ku duduki dulu berwarna pink dengan celah yang lebar di kaki kursi. Sekarang kaki kursi ini sudah terlihat sulit untuk dimasukki oleh tubuhku”
“Tidak usah berkecil hati...dulu juga Kau ragu untuk masuk, cobalah” ucap Bibinya.
Setelah meyakinkan hatinya, Ia ingin masuk. Namun tiba-tiba semua gerbang yang terdiri lebih dari lima itu terbuka jelas. Melihat ini Meyla melihat celah kursi yang sekarang diduduki oleh seseorang. Tubuhnya besar seperti Pria. Dengan melihat ini, Meyla tahu bahwa anak Bibinya tidak mungkin dirinya, Ia teringat dengan pria yang tertidur disamping anak Bibinya.
Ingin melihat dengan lebih jelas, Meyla sudah ditarik oleh Bibinya untuk naik keatas ban dalam alat berat yang telah menjadi bekasan.
Dari dulu Ia ingin bertanya kenapa ban bekas ini bisa ada disini, apa mungkin muncul dari permukaan air, atau orang yang melempar dari atas mereka. Yang pasti ia belum menemukan jawaban apa pun.
Setelah duduk dengan tenang. Ia duduk diantara orang tuanya, sedangkan dua Paman dan Bibinya duduk diban bekas yang lain. Mereka masuk keterowongan pertama.
Dengan begitu Seribu Terowongan, tantangan ketiga dimulai. Memasuki terowongan pertama, Meyla melihat dinding berdiri disisi kanan dan kiri. Dulu Ia mengingat bahwa saat orangtuanya masuk terowongan pertama juga begini. Jadi dirinya tidak terlalu terkejut.
“Sekarang biar aliran yang membawa Kita keterowongan kedua” ucap Ayahnya.Yang kemudian tanpa mendayung mengunakan tangan, ban bekas itu bergerak sendiri.
Mereka tidak melihat simpangan atau terowongan lain. Saat ini yang mereka hadapi adalah terowongan satu arah. Ban dalam bekas itu mengalir dengan tenang tidak ada hambatan. Sambil melirik kekanan dan kekiri, Meyla tidak melihat tanda-tanda perjalanan diterowongan pertama akan berakhir.
Setelah sekitar dua jam lebih, terlihat cahaya yang lumayan terang dari cahaya dalam ruangan yang mereka jalani. Cahaya itu menunjukkan bahwa mereka memasuki terowongan kedua.
Jelas tertulis disudut kanan terowongan yang tercetak angka berwarna merah. Dan dengan sekali lihat bahwa angka itu tidak lain adalah angka ‘Dua’.
“Apa setiap terowongan memiliki angka?” tanya Meyla. Ayah dan Ibunya yang mendengar pertanyaan itu hanya mengangguk, tidak menjelaskan lebih detail tentang angka diterowongan.
Meyla yang menerima anggukan dari Orang tuanya sempat ingin bertanya lagi. Namun sesuatu menariknya untuk melirik dan memperhatikan dirinya. Meyla yang kini sudah melewati terowongan itu melihat sekeliling. Dan yang Ia dapati adalah dua terowongan yang tidak bertulisan angka.
“Tadi bukannya Ayah dan Ibu setuju kalau setiap terowongan memiliki angka. Kenapa dua terowongan ini tidak memiliki angka sama sekali?” Tanya.
Kedua Pamannya dan Bibinya melangkah lebih dulu mendekati dua terowongan didepan mereka. Sedangkan Ayah dan Ibunya ikut menyusul.
“Tidak ada yang tahu...Kami juga tidak mengingatnya, yang pasti Kita sudah mulai menghadapi tantangan disetiap terowongan” jelas sang Ibu.
“Tantangan?...apa masih ada tantangan, bukannya tantangan diSeribu Terowongan cuma tiga?” ucap Meyla.
“Kau benar..tapi setiap tantangan ada misinya bukan, jadi kali ini ditantangan terakhir juga memiliki misi”
“Sulit dipercaya, ku pikir akan mudah menyelesaikannya”
“Menurutmu kenapa orang-orang banyak tereliminasi dengan tidak wajar?”
“Karena mereka takut dan melakukan kesalahan”
"Jadi....”
Mendenganr perkataan terakhir Ibunya. Ia sekarang mengerti, setiap tantangan yang mereka masuki, baik tantangan pertama, kedua. Itu merupakan tantangan yang memiliki misi sendiri. Tantangan pertama misinya harus teguh pendirian, jika tidak Kau tertinggal. Tantangan kedua keyakinan, jika kau ragu, Maka maut menjemput mu. Jadi tantangan ketiga ini tidak lain adalah tantangan yang mungkin lebih menguatkan mental dan keadaan.
Setelah mengerti semuanya. Meyla tidak bertanya lagi dan mengalihkannya, “Sekarang Terowongan mana yang akan kita masuki?”tanya-Nya.
“Menurutmu?” Tanya sang Bibi. Meyla mendengar itu hanya mengelengkan kepalanya. Tidak menjawab atau menanyakan lebih lanjut. Karena keputusan saat ini ditentukan bersama.
“Kalau begitu kita masuk di terowongan kiri” ucap Pamannya. Dengan saling menyetujui tanpa berdebat. Mereka memasuki terowongan bagian kiri.
Terowongan yang mereka masuki, sedikit ada cahaya dari bawah yang mudah untuk dilihat. Hal itu membuat Meyla menarik perhatiannya lebih dalam kecahaya itu.
“Kenapa cahaya muncul didasar laut. Seharusnya kan cahayanya dari atas?”
“karena dibawah ada tantangan yang harus kita hadapi” ucap Bibinya.
Tidak perlu penjelasan lanjut. Meyla sudah paham, bahwa mereka harus menyelesaikan misi yang diberikan diTerowongan kiri. Mereka berlima pun menjatuhkan diri kedalam air. Dan berenang menuju kearah cahaya itu.
Keadaan yang mereka lalui terlihat mudah, saat ini saja tidak ada tantangan yang membuat perut sakit atau menutup mata. Melihat bahwa tantangan dibawah air Cuma memutar kunci seperti sebuah kendali untuk menyetir mobil. Kendali itu diputar oleh kedua Pamannya secara bersamaan. Dan setelah merasa puas, mereka memberi kode masing-masing untuk segera naik.
Nafas yang ditahan oleh Meyla memang sudah tidak sanggup lagi ditahan diparu-parunya. Dengan paling dulu Ia keluar dari air.
“Aku pikir.....uhuk..kita akan menghadapi darah” ucapan enteng yang keluar dari mulut Meyla.
Mendengar bahwa keluarganya tidak menjawab, Ia pun memutuskan untuk melihat kemana pandangan Orang tua, Kedua Paman dan Bibinya. Melihat kearah mereka memutar setir kendali. Dibawah sudah terlihat warna merah masuk perlahan. Dan sudah bisa tercium bau darah yang entah dari mana.
“Cepat naik..kita harus masuk keTerowongan ketiga..” ucap Pamannya yang menarik dua ban bekas dan kemudian langsung naik bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments