~ Tak ada kerajaan dibangun dalam semalam, tapi istana bisa hancur dalam semalam ~
Sudut spesial di lantai 9 kini tak lagi menjadi ruang sembunyi untuk Avelia. Ia memutuskan untuk mencari tempat lain. Pantry jauh lebih baik daripada bertemu si Boss pemarah dan berwajah sedingin es itu.
Dua minggu berlalu sejak Ave meninggalkan rumah, lalu Ajie menelpon Avelia. Meminta adiknya untuk menemuinya saat makan siang. Karena tak ingin membuang uang untuk datang ke kantor kakaknya, Ave meminta Ajie menemuinya di cafe dalam mal dekat kantornya.
"Kok ketemunya jauh-jauh banget dari apartemenmu, Ve?" tanya Ajie saat Ave tiba.
"Ave kerja deket sini, Mas. Gedung depan mal ini," kata gadis itu sambil menunjuk gedung tinggi berlantai 28 di depan mal. Ajie menoleh sekilas dan mengangguk. Gedung itu terdiri dari beberapa perusahaan yang namanya terpampang di depan gedung.
"Gimana pekerjaanmu? Menyenangkan?" tanya Ajie sambil meletakkan ponsel di atas meja, menatap adiknya baik-baik. Ave terlihat lebih kurus, tapi matanya berbinar lebih terang dari biasanya. Pekerjaannya pasti cukup menyenangkan untuknya.
Bersandar pada kursinya, Ave malah tersenyum miris. "Becanda ya, Mas? Yang ada Ave stress aja. Heran aja kok Mas dan Papa betah banget kerja kantoran."
Ajie menggeleng-geleng. "Gak semua orang berpikir sebebas dirimu, Ve."
Mendengar kalimat Ajie yang begitu serius, Ave merasa ada sesuatu di balik ucapan itu. Agar tak berlanjut ia pun beralasan. "Ave gak bisa lama-lama, Mas. Masih magang, takutnya ada kerjaan." Ave masih tak ingin berbicara tentang hal lain saat ini.
Ajie melirik jam tangannya. "Masih 40 menit lagi. Kamu jangan lupa makan dan istirahat juga ya, Ve. Bersabarlah! Mas akan coba bicara dengan Papa soal cafemu itu."
"Jangan! Jangan! Walaupun berat, Ave suka kok ngejalaninnya, Mas. It's quite fun. Biar ajalah begini. Nyenengin Papa juga," kata Ave sambil tersenyum manis. Ia harus mengakui itu. Ketimbang di rumah sendirian, ia senang bisa melakukan sesuatu dan bertemu dengan banyak orang. Apalagi di rumah, ia hanya bertemu Papa.
Suara helaan napas terdengar jelas saat Ajie menatap adiknya. Tidak mudah baginya berada di antara dua orang keras kepala yang disayanginya ini. "Papa akan sangat seneng kalo kamu mau dijodohin dengan orang yang dipilihnya, Ve. Bukan dengan begini. Kamu baru berapa minggu udah kurusan gini."
"But I am so happy, Mas! This is my first freedom from all men in our family," serunya penuh semangat. Tak ada Papa, Mas Ajie atau Grandpa Wilson yang bawel. Ia bebas walau hidup dalam keterbatasan.
Ajie hanya menatap adiknya sekali lagi. Mulai mengerti maksudnya. Mungkin sudah saatnya juga bagi dirinya untuk sedikit melonggarkan pengawasan pada Ave. Usia Ave bahkan lebih tua dari istrinya sendiri. Jadi Ajie memutuskan untuk langsung mengatakan tujuan kedatangannya yang sebenarnya.
"Mas datang ke sini mau nitip Lily. Kamu temenin dia kalo lagi periksa ya Ve. Mas harus ke Singapur dan Jerman minggu ini juga. Kebetulan Emak dan dokter udah gak ngizinin Lily naik pesawat kalo gak penting. Emak gak selalu bisa nemenin dia di Jakarta, jadi kalo bisa kamu juga nginep di rumah kami," ujar Ajie.
Ave langsung mengangguk. "Tentu aja, Mas! Tenang aja soal itu. Tapi... mmm, adekmu ini lagi jatuh miskin, jadi bisakah Ave minta sekadar uang transport?"
Ajie tertawa dan mengangguk. "Harus cash ya Ve? Mas dengar dari Papa, no card?"
Bibir Ave bersungut-sungut. "Iya Mas. Cash aja. Gara-gara Papa... Benar-benar pakarnya loan shark. Segalaan kartu kredit dan debit dari anggota keluarga, Ave gak boleh pake. Sadis! Mas Ajie yakin Ave ini anaknya Papa gak sih? Apa kita periksa DNA aja yuk!"
Ajie tersenyum. "Kamu ini... Papa itu begitu karena dia gak tau lagi harus gimana ngadepin kamu. Udah, udah. Ini segini cukup gak? Kalo kurang nanti minta aja sama Lily. Ini gak ada hubungannya sama urusanmu dengan Papa. Jangan kuatir!" Ajie mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah muda pada Ave dari dompetnya.
Ave tertawa saat menghitung uang itu dan mengangguk. "Gak, Mas. Ini sampe Mas pulang juga udah cukup buat naik taksi. Lebih dikit malah. Mayan buat beli pulsa deh. Ya kecuali kalo Ave disuruh naik heli jemput Kak Lily, ya gak cukup."
Ajie tertawa mendengar kata-kata adiknya yang kini tampak seperti gadis pada umumnya. Kuatir pada pengeluaran. Setidaknya Papa berhasil membuat Ave menjadi lebih dewasa dan mandiri.
"Papa sehat-sehat aja kan, Mas? Ave belum sempat pulang. Pulang kerja selalu malam aja," kata Ave usai memasukkan uang ke saku celana panjangnya.
Ajie mengangguk. "Iya, Papa sehat. Rencananya besok Papa juga akan ke Eropa via Singapur bareng Mas, mau liburan katanya. Mas sudah bikin jadwal periksa kesehatan Papa juga di sana. Kamu tenang aja!"
"Wah, berarti malam ini Ave pulang dulu deh. Mau ketemu Papa!"
Ajie mengangguk setuju. "Datanglah! Kebetulan Mas mau jemput Papa juga nih. Nanti Mas info ke Papa. Nanti kalo dateng, jangan ribut lagi! Sekali-sekali ngalah sama orangtua." Lalu sekali lagi Ajie melirik jam tangannya. "Udah itu aja. Nanti tolong telpon Lily biar kalian bisa janjian. Mas juga harus pergi lagi. Masih ada yang mau kamu pesan? Bawa makanan atau... "
Ave menggeleng sambil berdiri. "Gak ada, Mas. Ya udah, Ave pamit."
"Eitts! Sampe lupa nyalamin Mas," tegur Ajie. Pria itu berdiri, merentangkan kedua tangannya dan Ave tergelak lagi sebelum memeluk kakaknya. Untuk sesaat, mereka saling berpelukan membuat orang-orang dalam cafe itu ikut tersenyum melihat kemesraan keduanya.
Ajie mencium dahi adiknya, sambil mengelus rambut adiknya lembut. Gadis ini satu-satunya saudari yang ia miliki. Selisih usia hampir tujuh tahun, membuat Ajie sangat sayang padanya. "Jaga diri baik-baik ya, Ve! Ingat kamu itu cewek. Jangan terlalu menganggap remeh orang. Hati-hati! Ini Jakarta. Beda dengan Sydney. Samanya satu aja. Semua laki-laki itu penjahat kecuali... "
"Mas Ajie!" sambung Ave dan melepaskan pelukan.
Mereka sama-sama berjalan keluar cafe. Tapi Ave tetap bergelayut manja pada kakaknya. Sudah lama ia tak bermanfaat padanya. Baru setelah di depan pintu mal, keduanya berpisah. Ajie bergerak menuju tempat parkir, sementara Ave menyusuri trotoar dan melalui penyeberangan menuju kantornya.
Di dalam cafe, tak jauh dari tempat duduk keduanya tadi, Zaid duduk diam dengan punggung tegak. Wajahnya lebih kelam dari biasanya. Ia tak bisa menyembunyikan kegeramannya.
Ajie sudah menikah. Seluruh dunia tahu, semua orang tahu. Pria itu terlalu terkenal untuk menyembunyikan statusnya. Tapi gadis itu... Gadis bernama Avelia itu sepertinya tak tahu soal itu. Gadis bodoh itu ternyata benar-benar dungunya luar biasa! Entah dari hutan mana, Natasha memungutnya. Bagaimana bisa ia memeluk seorang pria beristri seerat itu? Pakai acara cium dahi segala. Natasha dan dia benar-benar pantas menjadi dua sahabat. Mereka sama-sama bodoh!
"Pak? Pak Zaid?" panggil pria muda yang duduk di depan Zaid.
Pikirannya yang melayang langsung mendarat kembali. Zaid menatap pria di depannya. Untuk sesaat ia berusaha mengingat kembali isi percakapan mereka sebelumnya, tapi matanya tetap kembali ke meja bekas tempat Ave dan Ajie bertemu tadi. Sekarang pikirannya sudah tak lagi bisa digunakan untuk memikirkan hal lain.
"Maaf, saya harus pergi. Nanti saya akan hubungi Anda lagi." Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya yang kebingungan melihat perubahan suasana yang tiba-tiba ini, Zaid berdiri dan berjalan cepat kembali ke kantor.
Ia harus menemui gadis dungu itu. Sudah cukup dulu ia melihat sahabatnya Natasha menangis semalaman karena pria bernama Ajie itu, ia tak ingin melihat lagi ada perempuan dungu lagi yang menjadi korban Ajie. Bahkan setelah bertahun-tahun, hatinya masih mendidih setiap kali mendengar nama itu. Tak salah dulu penilaiannya tentang anak orang kaya. Mereka selalu berbuat seenak perutnya.
"Ave mana?" tanya Zaid begitu masuk ke Management Department dan semua orang tak terlihat. Hanya ada Jenny yang sedang duduk mengetik sesuatu di laptopnya.
Jenny menatap Zaid heran. "Istirahat, Pak!" Gadis itu melirik jam di dinding. Memang masih jam istirahat.
Tentu saja. Ke mana lagi? Gadis itu selalu menghilang di jam istirahat. Zaid pun mencoba mencari gadis itu di ruang pantry dan benar saja... Ave duduk di salah satu kursi sambil menumpu kepalanya di atas kedua tangannya yang terlipat, sepertinya ia sedang mencoba untuk tidur. Ada dua staf lain di situ. Tapi mereka tampak asyik dengan ponselnya sampai tak melihat Zaid.
Zaid mendekatinya. Sesaat ia bingung karena Ave tak menyadari kehadirannya sebelum akhirnya ia mengetukkan jari-jarinya ke atas meja tempat Ave berbaring.
"Hmmm." Dengan malas Ave mengangkat kepalanya. Keningnya berkerut saat melihat Zaid berdiri di depannya.
"Saya lihat kamu tadi ketemu Ajie Al Farizi. Kamu kenal dia?" tanya Zaid tanpa tedeng aling-aling.
Mata Ave kontan terbuka lebar. Ragu-ragu ia mengangguk. Sebersit kuatir muncul di hati Ave, jangan-jangan Zaid tahu tentang hubungan mereka.
"Kamu tau kalo ia sudah menikah?" tanya Zaid lagi. Matanya menggelap.
Ave menatap Zaid. Tak ada apapun yang bisa terbaca di sana. Wajah pria itu masih seperti biasa. Kaku, tanpa senyum, dengan raut wajah dingin. Tapi matanya... menyorot marah. Seperti ada bara di sana.
Senyuman di bibir Ave merekah. Ia mulai paham sesuatu. Sebelum menjawab pertanyaan Zaid itu dengan anggukan pelan. Ave yakin Zaid sedang cemburu. Tentu saja. Siapa yang bisa tahan dengan pesona Avelia?
"Dan kamu memeluknya di depan umum?" tanya Zaid lagi. Ini bukan lagi pertanyaan. Ini pernyataan.
Lagi-lagi Ave tersenyum dan mengangguk. Dua staf Management lainnya, Aam dan Denny juga mulai ikut mendengarkan percakapan mereka. Keduanya jadi salah tingkah sendiri melihat reaksi Zaid yang seperti kekasih yang cemburu. Baru kali ini mereka melihat Zaid berbicara langsung dengan staf perempuan selain Jenny. Pembicaraan bersifat pribadi pula.
"Kalau begitu buat surat pengunduran dirimu sekarang! Saya tidak mentolerir perselingkuhan apapun di perusahaan ini... terutama pada orang itu." Lalu Zaid berbalik meninggalkan Avelia yang tercengang dengan langkah lebar.
Jantung Ave seakan jatuh ke lantai. Benar-benar kalimat yang sama sekali tak ia sangka. Pengunduran diri? Maksudnya? Menganggur tanpa pekerjaan dan itu artinya impiannya...
My Little Kingdom Cafe!!!
Dengan panik, Avelia berdiri dan berlari mengejar Zaid. Ia tak bisa membiarkan itu terjadi saat ini. Tidak saat ini!
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Aqiyu
oooo.... jadi dulu Netty suka sama Ajie
2022-11-12
0
fidivrotary
seru bgt sih thor ceritanya..gk ngebosenin...menarik pisan...suka....suka👍🥰😍😍zaid i love u...
2022-01-21
0
Ife
hadeuuuhh salah paham... bohong salah...jujur juga salah...🤬
2021-01-19
0